Menerima Perbedaan,
Menghargai Kesetaraan
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Juli 2014
SEBUAH konstruksi sosial
dan budaya lewat perubahan kata dalam bahasa ternyata belum mampu mengubah
atau setidaknya menurunkan sikap diskriminatif kita terhadap perbedaan. Ambil
contoh kata difabel, yang berasal dari singkatan berbahasa Inggris diffable dan merupakan kependekan dari
differenly able atau yang juga
sering disebut sebagai different
ability. Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan
istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda).
Dengan istilah difabel,
masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula
memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau
ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan
kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian
yang berbeda pula.
Wacana penggunaan istilah
difabel dimaksudkan untuk memberi sikap positif yang menekankan pada
perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau
kecacatan baik fisik maupun mental. Karena itu setiap sikap yang
diskriminatif, terutama di bidang pendidikan, bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 31(1) yang menjamin bahwa `setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan'. Bahkan secara lebih khusus, undang-undang sistem pendidikan
nasional Pasal 5 menjelaskan bahwa `setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu', serta `warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus'.
Namun, kata `pendidikan
khusus' dalam UU Sisdiknas nyatanya masih setengah hati dijabarkan
pemerintah, mengingat faktanya para difabel belum memperoleh layanan
pendidikan yang setara dan berkeadilan. Harus diakui bahwa masalah keadilan
dan kesetaraan dalam tata kelola pendidikan kita dalam tiga dekade terakhir
tidak pernah bisa diselesaikan secara baik dalam kerangka sistem pendidikan
nasional. Bukan hanya di Indonesia, isu soal keadilan dan kesetaraan dalam
pendidikan juga menjadi isu yang tak kunjung selesai dibicarakan seluruh dunia.
Kebingungan itu salah satunya bisa jadi bermula dari definisi kesetaraan
pendidikan itu sendiri, yaitu apakah kesetaraan bermula dari keterbatasan
input sumber daya terhadap sekolah atau kesetaraan dari output di luar
sekolah.
Akses
luas
Jika kesetaraan dilihat
dari aspek input sumber daya sekolah, seluruh kebutuhan yang menjadi
prasyarat terciptanya sebuah sekolah yang nondiskriminatif seperti guru yang
berkualitas, sarana dan fasilitas yang memadai, serta manajemen pengelolaan
yang transparan dan akuntabel haruslah dirasakan oleh seluruh siswa dalam
setiap aspek pelayanan. Termasuk kategori ini ialah akses terhadap anak
berkebutuhan khusus dalam pelayanan pendidikan bagi para penyandang difabel.
Selama ini disediakan
fasilitas pendidikan khusus bagi anak-anak difabel, disesuaikan dengan
derajat dan jenis difabelnya, yaitu sekolah luar biasa (SLB). Disadari atau
tidak, sistem pendidikan SLB itu telah membangun tembok besar eksklusivisme
bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan yang terpisah dari
pendidikan reguler sudah barang tentu menghambat proses saling mengenal
antara anak-anak difabel dan anak-anak pada umumnya. Kelompok difabel menjadi
komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial masyarakatnya. Mereka merasa
keberadaan mereka bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Sementara itu, masyarakat
umum juga menjadi tidak begitu akrab dengan persoalan-persoalan kehidupan
kelompok difabel. Masalah akses pendidikan bagi difabel dan mereka yang
berkebutuhan khusus memang menjadi persoalan di seluruh dunia. Di banyak
negara, 50%-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2%-3% anak difabel masuk
sekolah. Itulah sebabnya, badan dunia seperti UNESCO memberi perhatian serius
mengenai persoalan ini. Dalam Penyataan Salamanca (UNESCO, 1995) misalnya,
ditekankan hal-hal yang berkaitan dengan hak para difabel seperti memperoleh
penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah sebagaimana halnya
anak-anak normal.
Pemerintah semestinya
memikirkan secara khusus anggaran pendidikan yang tidak diskriminatif dalam
mengejar ketertinggalan anak-anak difabel. Selain itu, pemerintah perlu
memikirkan masalah kesetaraan yang bersumber dari output sekolah. Tingkat
kemampuan ekonomi orangtua dan cara lingkungan tempat siswa difabel berada
juga merupakan masalah serius yang harus diselesaikan dan harus menjadi
faktor pertimbangan pemerintah dalam mengerjakan kebijakan nondiskriminatif
itu. Tentu terdapat banyak sekali ketimpangan yang luar biasa dan menyebabkan
anak-anak difabel menjadi sema kin jauh dari isu kesetaraan dalam menerima
pendidikan yang berkualitas, seperti terbatasnya kemampuan negara untuk
menjadikan mereka sebagai penduduk yang sejahtera, dengan faktor kebutuhan
khusus dan kemiskinan hanya dieksploitasi sebagai kebutuhan politik semata.
Dalam buku Politics, Language, and Culture: A
Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) memastikan bahwa
dalam setiap sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya tak
akan pernah bisa menghindari isu RAS, bahasa, dan budaya, karena isu-su
tersebut selalu berkaitan dengan persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access), dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah.
Untuk itulah, perlu dipikirkan dan dibuat rancang bangun mekanisme yang
terintegrasi terhadap proses pendidikan, antara anak-anak difabel dan
anak-anak yang normal. Kapan? Sebaiknya sekarang, dan kita berharap
pemerintahan baru akan mewujudkan pendidikan inklusif itu dengan
sungguh-sungguh, bukan setengah hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar