MD3,
Pelanggengan Parlemen Korup
Umbu TW Pariangu ;
Dosen Fisipol Universitas Cendana, Kupang
|
KORAN
JAKARTA, 14 Juli 2014
Demokrasi benar-benar dalam ujian pascapilpres. Selain skandal hitung
cepat pilpres 9 Juli, sejumlah polster membuat rakyat urut dada karena
sebagian hasilnya kontroversial. Sehari sebelumnya, di Senayan, rakyat banyak
tak sempat menyaksikan anggota DPR bermanuver. Mereka mengubah poin-poin
penting undang-undang dasar terkait keterwakilan politik lewat proses sidang
paripurna pengesahan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3).
Suasana sidang keruh malam itu diwarnai aksi walk-out, tak ada aklamasi. Anggota partai-partai sibuk
bergerombol dalam faksionalisasi untuk mengegolkan pendapatnya dengan
mengandalkan suara mayoritas. Mereka mengklaim revisi MD3 sebagai bagian dari
tonggak sejarah penyelamatan demokrasi.
Tetapi, apakah demokrasi benar-benar dipahami sebagai basis kebenaran
dan pelegitimasian kehendak masyarakat? Yang utama dari spirit persidangan
kemarin adalah upaya menjustifikasi politik kuantitatif, menang-kalah, dalam
proses demokrasi sehingga MD3 bukan lagi sebuah produk politik berkualitas,
upaya sistematis hegemoni sekelompok elite politik koalisi yang menganggap
mandat rakyat hanya instrumen politik untuk menunjukkan eksistensi kelompok
kepentingan masing-masing faksi.
Adapun poin-poin krusial undang-undang yang direvisi ialah mengubah
ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat dari tiga perempat menjadi dua
pertiga saja, anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa guna
penyidikan tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa izin presiden, partai
pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi ketua DPR, melainkan dipilih
dengan suara terbanyak, dan ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan
perempuan dihapus, khususnya terkait dengan alat kelengkapan DPR (AKD).
Pengubahan kuorum diduga terkait dua pasangan capres-cawapres dalam
Pilpres 2014. Kubu Prabowo-Hatta didukung tujuh partai politik: Gerindra (73
kursi), Golkar (91), Demokrat (61), PAN (49), PKS (40), PPP (39), dan PBB
(0). Sedangkan pasangan Jokowi- JK didukung lima partai politik: PDIP (109
kursi), PKB (47), Nasdem (35), Hanura (16), dan PKPI (0).
Dengan dukungan 353 (63,04 persen) kursi di parlemen, koalisi (kerja
sama) pasangan Prabowo-Hatta melebihi kursi Jokowi-JK yang hanya 207 kursi
(36,96 persen). Itu berarti sebelum revisi UU ini, koalisi Merah Putih
tinggal memerlukan 67 suara untuk mencapai kuorum tiga perempat atau 420
suara. Namun, setelah Undang-Undang MD3 direvisi, mereka cuma butuh 21 suara
lagi untuk mencapai kuorum dua pertiga. Ini akan menjadi jalan cepat bagi
mereka untuk meloloskan atau menolak UU apa pun dengan tujuan tertentu.
Padahal di ruang inilah terjadi banyak jual beli keputusan, penggelapan
pasal-pasal menyangkut hajat hidup orang banyak yang melibatkan “sindikat”
ekonomi swasta yang bermain, mengegolkan kepentingannya. Itu berarti nasib
konstitusi kini ada di ujung tanduk. Butuh penyelamatan strategis segera dari
politisi-politisi yang merasa masih memiliki kehendak baik dan hati nurani.
Selain itu, sangat mengkhawatirkan ketentuan mengenai pemeriksaan dan
penyidikan tindak pidana anggota DPR yang diindikasi korupsi harus izin
presiden. Proses pemberantasan korupsi akan tersendat karena berpotensi
memunculkan kompromi politik belakang layar antara legislatif dan eksekutif.
Ini bisa memaksa presiden mengambil sikap mengizinkan atau menolak
pemeriksaan berdasarkan intensi politis, bukan lagi resensi moral.
Dengan kata lain, pola hegemoni koalisi yang sedemikian masifnya di
sidang kemarin menjadi pertanda awal terbentuknya kanal-kanal politik baru
yang berupaya mereduksi penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih, tanpa
cacat. Bukan pola kooperatif yang diperlihatkan, tapi pembentengan diri DPR
dari kontrol dan imunitas penegakan hukum.
Korupsi
Berlanjut
Hal ini bisa dipahami karena pola kerja DPR yang cenderung korup dan
cacat moral masih akan berlanjut pada periode 2014–2019. Apalagi kualifikasi
performa DPR kali ini tak berbeda jauh dengan DPR periode 2009–2014 karena
sebagian besar anggota DPR lama terpilih lagi di pemilu legislatif kemarin.
Itu berarti pola-pola transaksional dalam adu gagasan dan kebijakan
dalam kaitannya dengan penguasaan ekonomi untuk kepentingan perut partai tak
mungkin sepenuhnya sirna di parlemen “berwajah
baru.”
Revisi MD3 juga telah menghapus tradisi politik keterwakilan
berkali-kali dalam pemilu. Kini, partai pemenang pemilu tidak lagi otomatis
menduduki ketua DPR. Tentu jawabannya mudah diperoleh di sini. Revisi
tersebut dilakukan persis saat dua kubu politik sedang bersaing dalam
kontestasi pilpres.
Suasana kompetitif, adu strategi, bahkan rivalitas destruktif yang
memicu pecahnya konflik terpendam di grass
roots membuat politik perebutan kekuasaan menjadi prestise, harga mati,
tanpa menghargai prosesnya. Pola rivalitas inilah yang terbawa dalam atmosfer
parlemen sehingga muncul keinginan kubu kontra untuk menjegal penguasaan
suara di DPR oleh PDI-P lewat pembatasan syarat otomatis posisi ketua DPR.
Dengan begini, segera terlihat bahwa bukan semangat demokratislah yang
melandasi revisi syarat pemilihan ketua DPR, tetapi semata-mata semangat
perseteruan dan dendam politik yang membuncah dan membunuh demokrasi tanpa
pertimbangan rasional. Bahayanya, mentalitas seperti ini sulit dihindari dan
terus menjadi kultur laten bagi para politisi dalam interaksi-interaksi
kebijakan, terlebih jika yang digodok agenda yang menyangkut hidup mati
rakyat.
Selain itu, sulit dimengerti dasar penghapusan ketentuan yang
menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait dengan AKD.
Ini seperti memperunyam manifestasi kesetaraan politik perempuan di parlemen.
Padahal sebelumnya, sudah disepakati representasi perempuan sebagai bagian
dari penguatan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk lewat kebijakan afirmatif
kuota 30 persen.
Berbagai persoalan ketidakadilan dan kemiskinan yang menyandera bangsa
ini antara lain disumbang ketimpangan peran dan penguasaan hak ekososbud
antara laki-laki dan perempuan. Jangan-jangan demokrasi keadilan dan
representatif di tangan DPR periode baru nanti justru mundur menakutkan hanya
karena makin awetnya benturan politik kompromistik yang bersifat pragmatis
dan jauh dari penggenapan kehendak publik.
Inilah poin-poin rawan yang bakal mengancam demokrasi ke depan.
Semuanya makin runyam ketika faksionalisasi politik yang bersumber pada
atmosfer kompetisi pemilu legislatif dan pilpres lalu terus terpelihara.
Politik saling mengancing dukungan bakal terjadi dalam lima tahun ke depan.
Semuanya butuh kehendak politik untuk keluar dari kebekuan dengan komitmen
bersama membangun iklim politik rekonsiliatif, kerja sama berkualitas dan
konstruktif bagi penghormatan hak daulat politik rakyat. Semoga pengajuan revisi RUU MD3 ke MK nantinya bisa memberi hasil
positif bagi kebangkitan demokrasi dan parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar