Sabtu, 03 Mei 2014

Urgensi Akuisisi Bank BTN

Urgensi Akuisisi Bank BTN

Dody Agoeng S  ;   Pengamat Properti dan Praktisi Perbankan
KORAN SINDO, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Beberapa pekan terakhir perhatian kita disibukkan oleh berita seputar akuisisi Bank BTN oleh Bank Mandiri. Adalah surat dari Kementerian BUMN yang meminta manajemen Bank BTN untuk memasukkan tambahan agenda dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) tentang persetujuan prinsip perubahan pemegang saham sebagai awal dari prahara bergulirnya isu akuisisi tersebut.

Pemerintah melalui Menteri BUMN memberikan argumentasi perlunya akuisisi BTN untuk menyelamatkan bank BUMN yang saban harinya mengurusi pembiayaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah itu. Bank BTN ”dianggap” tidak mampu mendukung program pemerintah, terbukti dengan jumlah backlog rumah yang sangat besar. Likuiditas Bank BTN ”dianggap” bermasalah karena loan to deposit ratio (LDR) dan biaya operasional-pendapatan operasional (BOPO) yang tinggi.

Kapasitas kredit yang dapat disalurkan Bank BTN pun ”dianggap” terlalu kecil. Sementara dari sisi perbankan, langkah akuisisi kepada Bank BTN ”dianggap” perlu untuk mendukung konsolidasi perbankan dalam menyambut MEA yang akan diberlakukan tahun 2015. Pada saat MEA, struktur perbankan Indonesia harus kuat untuk dapat bersaing dengan bank-bank asing yang bakal masuk ke Indonesia. Konsolidasi itulah yang akhirnya menjadi perlu untuk dilakukan akuisisi terhadap Bank BTN tersebut.

Dua tujuan dengan dua pandangan yang diajukan memang semuanya benar, baik itu dari sisi kepentingan pemerintah ataupun keperluan perbankan. Tapi apakah memang itu merupakan sebuah kebenaran sehingga patut semua orang di negeri ini harus mendukung untuk menggiring pemerintah dalam mengambil keputusan yang tidak populis dengan meloloskan akuisisi terhadap Bank BTN? Paparan kinerja Bank BTN per 30 Maret 2014 tidak sedikit pun terlihat cacat sehingga pemerintah tidak perlu malu mengakui kinerja perusahaan ini bagus.

Pertumbuhan kredit dan dana di atas rata-rata industri nasional masing-masing berada pada angka 20,24% dan 17,44%. Asetnya juga tumbuh 14% dan saat ini menjadi sebesar Rp137 triliun. Bank ini ternyata punya secondary reservedi angka lebih dari Rp12 triliun.

Artinya walaupun LDR-nya tinggi (karena kredit yang disalurkan besar dan tidak semua komponen dana dimasukkan dalam hitungan LDR) dan BOPO-nya tinggi, bank ini terus bergerak pasti. Bank BTN bukan bank sakit yang harus diamputasi sebenarnya. Bank ini memang aneh karena karakter bisnisnya beda dan tidak terukur oleh ukuran yang berlaku bagi bank umum.

Pemerintah tidak pernah mau belajar untuk bekerja lebih banyak dalam setiap kesempatan yang ada. Selalu saja muncul kebijakan di publik yang bertolak belakang dari apa yang sudah menjadi keputusan dari pemimpin masa lalu. Lagi-lagi selalu kesalahan itu berulang karena tidak adanya sikap pemerintah sendiri dalam menghadapi masalah ini.

Sikap ini terlihat jelas dari pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam atas instruksi Presiden untuk menjadi dasar kepada semua menteri terutama Menteri BUMN untuk ”menunda” proses akuisisi Bank BTN tersebut. Inilah bukti ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi masalah yang sangat urgen untuk pengambilan keputusan strategis. Tidak ada satu pihakpun entah itu mewakili kepentingan pemerintah ataukah organisasi perbankan bahwa isu akuisisi ini jika terus dibiarkan akan mengganggu sistem ekonomi Indonesia.

Tidak sebanding dengan permasalahan pada masa Bank Century barangkali karena hanya melihat Bank BTN dengan sebelah mata. Tapi supaya diketahui bahwa baik Bank BTN atau pun BankMandiri sama-sama sebagai perbankan dengan status sebagai perusahaan terbuka. Hal paling sulit dalam jasa perbankan itu adalah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pemerintah mestinya menghitung risiko atas isu seperti ini.

Apalagi Serikat Pekerja (SP) BTN mengancam akan mogok nasional jika Kementerian BUMN tidak mencabut surat akuisisi dan tetap memaksakan agenda perubahan pemegang saham pada RUPSLB BTN 21 Mei mendatang. Beredarnya isu ini mau tidak mau dan suka tidak suka pasti mengganggu ketenangan masyarakat. Terutama para pemilik dana. Sudah pasti Bank BTN harus kerja keras untuk meyakinkan pemilik dana untuk tidak menarik dananya.

Dana pihak ketiga Bank BTN per 30 Maret 2014 tercatat sebesar Rp102 triliun lebih. Sebuah perjuangan keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat degan perolehan dana sebesar itu. Tapi itu tidak akan sebanding jika masyarakat takut dan tidak percaya hingga pada akhirnya menarik dananya, rush dari sistem perbankan BTN.

Mengapa akuisisi terhadap Bank BTN mendapat penolakan yang luar biasa dari pihak-pihak yang justru berasal dari luar Bank BTN? Tapi soliditas pegawai Bank BTN yang menyatu dari ujung Sabang sampai Merauke perlu menjadi pertimbangan khusus bagi pemerintah. Pasti ada sesuatu yang pemerintah dianggap telah salah jika melakukan pembiaran akuisisi terhadap Bank BTN.

Ya memang pemerintah harus tegas menyikapi ini. Bank BTN sudah diciptakan sejak lahir untuk mengurusi rumah rakyat. Penunjukan kepada bank ini pun sudah sangat jelas sejak 1974 sebagai bank pendukung program pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat. Makanya jangan heran jika namanya Bank Tabungan Negara, tetapi justru aset terbesar bukan berada pada tabungan melainkan justru pada perumahan.

Berdasarkan data per 30 Maret 2014, kredit yang disalurkan Bank BTN sudah mencapai sekitar Rp103 triliun. Bank BTN sendiri sudah merumahkan lebih dari 3.600.000 masyarakat di Indonesia. Jika satu rumah diisi sekitar 4 orang atau lebih, setidaknya kredit yang disalurkan Bank BTN saat ini telah dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 15.000.000 juta masyarakat Indonesia. Bisa jadi kita menjadi bagian dari yang pernah menikmati fasilitas KPR Bank BTN tersebut.

Di sinilah sebetulnya pemerintah harus segera mengambil sikap tegas. Undangundang telah memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengurusi rumah bagi rakyat. Berdasarkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dengan jelas dinyatakan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kemudian berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan: ”Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.”

Di sisi lain sesuai dengan fungsinya, perbankan berperan sebagai lembaga intermediasi dalam perekonomian. Perbankan diperlukan perannya untuk membantu program pemerintah dalam penyediaan rumah, khususnya KPR, bagi pembiayaan perumahan untuk masyarakat menengah bawah. Sayangnya, walaupun mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk melakukan intervensi, pemerintah tetap saja tidak dapat memaksa perbankan untuk menyalurkan KPR kepada masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Ini lebih dilatarbelakangi kepentingan bisnis bahwa penyaluran KPR kepada masyarakat golongan tersebut kurang menguntungkan bagi perbankan. Menyadari peran strategis pemerintah di dalam memberikan stimulus bagi berjalannya ekonomi bangsa sebagai mediator dalam memuluskan roda pemerintahan, diperlukan adanya dukungan politik pemerintah dalam mewujudkannya.

Pemerintah bisa saja mengambil kebijakan antara lain bidang-bidang usaha yang sudah diminati pasar, sebaiknya kepemilikan dan pengelolaannya diserahkan kepada swasta sehingga tidak perlu dimiliki dan dikelola pemerintah. Pemerintah dalam hal ini hanya bertindak sebagai regulator yang mengatur dan memfasilitasi swasta dalam menjalankan usaha pihak swasta.  

Dengan paparan yang sudah disampaikan di atas, jelas ada pesan untuk pemerintah bagaimana mengambil sikap atas masalah akuisisi BTN tersebut. Yang pertama pemerintah harus tegas dan cepat mengambil sikap atas nama UU untuk tetap menguasai industri terkait yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kedua pemerintah perlu mendorong perbankan agar memberikan dukungan dalam pembiayaan rumah bagi rakyat.

Yang ketiga perlu dukungan pemerintah sebagai pemegang fungsi pengendali di dalam ekonomi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan dukungan perbankan, sudah seyogianya mulai digagas adanya regulasi yang bersifat sebuah kewajiban bagi perbankan guna mendukung program pemerintah. Pemenuhan kebutuhan rumah rakyat adalah salah satu program pemerintah.

Oleh karena itu pemerintah bisa saja membuat suatu aturan yang mewajibkan perbankan untuk mendukung programnya meskipun untuk itu dibutuhkan adanya stimulus atau reward sekalipun agar perbankan dapat memberikan dukungan. Dalam kaitannya pemerintah sebagai pemegang fungsi pengendali sekaligus selaku pemegang saham mayoritas BUMN, dapat saja pemerintah memosisikan Bank BTN sebagai policy bank tanpa harus bersusah payah dan membuang waktu hanya untuk memikirkan bagaimana mengembangkan bank ini.

Bisnis Bank BTN itu unik yang tidak bakal bisa diukur dengan rumus bank umum. Housing bank di negara-negara maju juga memiliki karakter yang sama. Pemerintah cukup membiarkan bank ini berkembang secara alamiah sesuai dengan kemampuannya, maka jaminan bagi MBR untuk memiliki rumah akan tetap terbuka.

Di samping itu pemerintah akan tetap memiliki bank yang khusus menangani perumahan untuk memenuhi kewajiban politiknya kepada rakyat sesperti halnya di Thailand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar