Urgensi
Akuisisi Bank BTN
Dody Agoeng S ;
Pengamat Properti dan Praktisi Perbankan
|
KORAN
SINDO, 02 Mei 2014
Beberapa
pekan terakhir perhatian kita disibukkan oleh berita seputar akuisisi Bank
BTN oleh Bank Mandiri. Adalah surat dari Kementerian BUMN yang meminta
manajemen Bank BTN untuk memasukkan tambahan agenda dalam rapat umum pemegang
saham luar biasa (RUPSLB) tentang persetujuan prinsip perubahan pemegang
saham sebagai awal dari prahara bergulirnya isu akuisisi tersebut.
Pemerintah
melalui Menteri BUMN memberikan argumentasi perlunya akuisisi BTN untuk
menyelamatkan bank BUMN yang saban harinya mengurusi pembiayaan rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah itu. Bank BTN ”dianggap” tidak mampu
mendukung program pemerintah, terbukti dengan jumlah backlog rumah yang sangat besar. Likuiditas Bank BTN ”dianggap”
bermasalah karena loan to deposit ratio
(LDR) dan biaya operasional-pendapatan operasional (BOPO) yang tinggi.
Kapasitas
kredit yang dapat disalurkan Bank BTN pun ”dianggap” terlalu kecil. Sementara
dari sisi perbankan, langkah akuisisi kepada Bank BTN ”dianggap” perlu untuk
mendukung konsolidasi perbankan dalam menyambut MEA yang akan diberlakukan
tahun 2015. Pada saat MEA, struktur perbankan Indonesia harus kuat untuk
dapat bersaing dengan bank-bank asing yang bakal masuk ke Indonesia.
Konsolidasi itulah yang akhirnya menjadi perlu untuk dilakukan akuisisi
terhadap Bank BTN tersebut.
Dua
tujuan dengan dua pandangan yang diajukan memang semuanya benar, baik itu
dari sisi kepentingan pemerintah ataupun keperluan perbankan. Tapi apakah
memang itu merupakan sebuah kebenaran sehingga patut semua orang di negeri
ini harus mendukung untuk menggiring pemerintah dalam mengambil keputusan
yang tidak populis dengan meloloskan akuisisi terhadap Bank BTN? Paparan
kinerja Bank BTN per 30 Maret 2014 tidak sedikit pun terlihat cacat sehingga
pemerintah tidak perlu malu mengakui kinerja perusahaan ini bagus.
Pertumbuhan
kredit dan dana di atas rata-rata industri nasional masing-masing berada pada
angka 20,24% dan 17,44%. Asetnya juga tumbuh 14% dan saat ini menjadi sebesar
Rp137 triliun. Bank ini ternyata punya secondary reservedi angka lebih dari
Rp12 triliun.
Artinya
walaupun LDR-nya tinggi (karena kredit yang disalurkan besar dan tidak semua
komponen dana dimasukkan dalam hitungan LDR) dan BOPO-nya tinggi, bank ini
terus bergerak pasti. Bank BTN bukan bank sakit yang harus diamputasi
sebenarnya. Bank ini memang aneh karena karakter bisnisnya beda dan tidak
terukur oleh ukuran yang berlaku bagi bank umum.
Pemerintah
tidak pernah mau belajar untuk bekerja lebih banyak dalam setiap kesempatan
yang ada. Selalu saja muncul kebijakan di publik yang bertolak belakang dari
apa yang sudah menjadi keputusan dari pemimpin masa lalu. Lagi-lagi selalu
kesalahan itu berulang karena tidak adanya sikap pemerintah sendiri dalam
menghadapi masalah ini.
Sikap
ini terlihat jelas dari pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam atas
instruksi Presiden untuk menjadi dasar kepada semua menteri terutama Menteri
BUMN untuk ”menunda” proses akuisisi Bank BTN tersebut. Inilah bukti
ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi masalah yang sangat urgen untuk
pengambilan keputusan strategis. Tidak ada satu pihakpun entah itu mewakili
kepentingan pemerintah ataukah organisasi perbankan bahwa isu akuisisi ini
jika terus dibiarkan akan mengganggu sistem ekonomi Indonesia.
Tidak
sebanding dengan permasalahan pada masa Bank Century barangkali karena hanya
melihat Bank BTN dengan sebelah mata. Tapi supaya diketahui bahwa baik Bank
BTN atau pun BankMandiri sama-sama sebagai perbankan dengan status sebagai
perusahaan terbuka. Hal paling sulit dalam jasa perbankan itu adalah untuk
mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pemerintah mestinya menghitung risiko
atas isu seperti ini.
Apalagi
Serikat Pekerja (SP) BTN mengancam akan mogok nasional jika Kementerian BUMN
tidak mencabut surat akuisisi dan tetap memaksakan agenda perubahan pemegang
saham pada RUPSLB BTN 21 Mei mendatang. Beredarnya isu ini mau tidak mau dan
suka tidak suka pasti mengganggu ketenangan masyarakat. Terutama para pemilik
dana. Sudah pasti Bank BTN harus kerja keras untuk meyakinkan pemilik dana
untuk tidak menarik dananya.
Dana
pihak ketiga Bank BTN per 30 Maret 2014 tercatat sebesar Rp102 triliun lebih.
Sebuah perjuangan keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat degan
perolehan dana sebesar itu. Tapi itu tidak akan sebanding jika masyarakat
takut dan tidak percaya hingga pada akhirnya menarik dananya, rush dari sistem perbankan BTN.
Mengapa
akuisisi terhadap Bank BTN mendapat penolakan yang luar biasa dari
pihak-pihak yang justru berasal dari luar Bank BTN? Tapi soliditas pegawai
Bank BTN yang menyatu dari ujung Sabang sampai Merauke perlu menjadi
pertimbangan khusus bagi pemerintah. Pasti ada sesuatu yang pemerintah
dianggap telah salah jika melakukan pembiaran akuisisi terhadap Bank BTN.
Ya
memang pemerintah harus tegas menyikapi ini. Bank BTN sudah diciptakan sejak
lahir untuk mengurusi rumah rakyat. Penunjukan kepada bank ini pun sudah
sangat jelas sejak 1974 sebagai bank pendukung program pemerintah dalam
penyediaan rumah rakyat. Makanya jangan heran jika namanya Bank Tabungan
Negara, tetapi justru aset terbesar bukan berada pada tabungan melainkan
justru pada perumahan.
Berdasarkan
data per 30 Maret 2014, kredit yang disalurkan Bank BTN sudah mencapai
sekitar Rp103 triliun. Bank BTN sendiri sudah merumahkan lebih dari 3.600.000
masyarakat di Indonesia. Jika satu rumah diisi sekitar 4 orang atau lebih,
setidaknya kredit yang disalurkan Bank BTN saat ini telah dirasakan
manfaatnya oleh lebih dari 15.000.000 juta masyarakat Indonesia. Bisa jadi
kita menjadi bagian dari yang pernah menikmati fasilitas KPR Bank BTN tersebut.
Di
sinilah sebetulnya pemerintah harus segera mengambil sikap tegas.
Undangundang telah memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengurusi rumah
bagi rakyat. Berdasarkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dengan
jelas dinyatakan, ”Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.”
Kemudian
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan: ”Setiap
warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau
memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur.”
Di sisi
lain sesuai dengan fungsinya, perbankan berperan sebagai lembaga intermediasi
dalam perekonomian. Perbankan diperlukan perannya untuk membantu program
pemerintah dalam penyediaan rumah, khususnya KPR, bagi pembiayaan perumahan
untuk masyarakat menengah bawah. Sayangnya, walaupun mempunyai kekuatan yang
luar biasa untuk melakukan intervensi, pemerintah tetap saja tidak dapat
memaksa perbankan untuk menyalurkan KPR kepada masyarakat, khususnya
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Ini
lebih dilatarbelakangi kepentingan bisnis bahwa penyaluran KPR kepada
masyarakat golongan tersebut kurang menguntungkan bagi perbankan. Menyadari
peran strategis pemerintah di dalam memberikan stimulus bagi berjalannya
ekonomi bangsa sebagai mediator dalam memuluskan roda pemerintahan,
diperlukan adanya dukungan politik pemerintah dalam mewujudkannya.
Pemerintah
bisa saja mengambil kebijakan antara lain bidang-bidang usaha yang sudah
diminati pasar, sebaiknya kepemilikan dan pengelolaannya diserahkan kepada
swasta sehingga tidak perlu dimiliki dan dikelola pemerintah. Pemerintah
dalam hal ini hanya bertindak sebagai regulator yang mengatur dan
memfasilitasi swasta dalam menjalankan usaha pihak swasta.
Dengan
paparan yang sudah disampaikan di atas, jelas ada pesan untuk pemerintah
bagaimana mengambil sikap atas masalah akuisisi BTN tersebut. Yang pertama
pemerintah harus tegas dan cepat mengambil sikap atas nama UU untuk tetap
menguasai industri terkait yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kedua
pemerintah perlu mendorong perbankan agar memberikan dukungan dalam
pembiayaan rumah bagi rakyat.
Yang
ketiga perlu dukungan pemerintah sebagai pemegang fungsi pengendali di dalam
ekonomi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan dukungan perbankan, sudah
seyogianya mulai digagas adanya regulasi yang bersifat sebuah kewajiban bagi
perbankan guna mendukung program pemerintah. Pemenuhan kebutuhan rumah rakyat
adalah salah satu program pemerintah.
Oleh
karena itu pemerintah bisa saja membuat suatu aturan yang mewajibkan
perbankan untuk mendukung programnya meskipun untuk itu dibutuhkan adanya
stimulus atau reward sekalipun agar perbankan dapat memberikan dukungan.
Dalam kaitannya pemerintah sebagai pemegang fungsi pengendali sekaligus
selaku pemegang saham mayoritas BUMN, dapat saja pemerintah memosisikan Bank
BTN sebagai policy bank tanpa harus bersusah payah dan membuang waktu hanya
untuk memikirkan bagaimana mengembangkan bank ini.
Bisnis
Bank BTN itu unik yang tidak bakal bisa diukur dengan rumus bank umum.
Housing bank di negara-negara maju juga memiliki karakter yang sama.
Pemerintah cukup membiarkan bank ini berkembang secara alamiah sesuai dengan
kemampuannya, maka jaminan bagi MBR untuk memiliki rumah akan tetap terbuka.
Di
samping itu pemerintah akan tetap memiliki bank yang khusus menangani
perumahan untuk memenuhi kewajiban politiknya kepada rakyat sesperti halnya
di Thailand. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar