Jumat, 23 Mei 2014

Restorasi Status UUD 1945

Restorasi Status UUD 1945

Krishna Djaya Darumurti  ;   Dekan Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
SUARA MERDEKA,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
’’ANEH’’, itulah kesan yang menggelitik pikiran saya ketika membaca tulisan Sdr Bambang Sadono berjudul ’’Amendemen Ulang UUD 1945’’ (SM, 10/5/14). Apa yang aneh? Begitu meyakinkan dia membangun suatu pendapat hukum (legal opinion) supaya perlu bongkar ulang suatu produk hukum (UUD). Pertanyaannya, apakah status produk hukum itu (UUD) masih ada atau sudah tiada.

Dia tampaknya sangat menyakini bahwa ’’nama’’ dan bahkan substansi, andai tak mau disebut ’’konsep’’ UUD 1945 itu masih ada. Padahal —dan inilah tanggapan atas artikel tersebut— penelusuran keilmuan dalam bidang hukum di bawah ini; terutama kajian dari sudut pandang teknik perundang-undangan (legal drafting) atas apa yang dinamakan UUD 1945 itu memperoleh temuan spektakuler. Bahkan melawan ’’arus besar’’ . Mereka, termasuk Sdr Bambang, yang masih percaya bahwa status UUD 1945 itu masih ada, ternyata keliru, andai tak mau dikatakan fallacy.

Sejatinya UUD 1945 itu sudah tiada. Berikut di bawah ini, saya merasa perlu menunjukkan rasio logis di balik dalil bahwa UUD 1945 itu ternyata sudah tiada kepada sidang pembaca. Pasal 3 UUD 1945 asli, dalam pengertian UUD 1945 yang belum berstatus Ketetapan (Tap) MPR melalui perubahan sebanyak 4 kali oleh MPR, yakni amendemen I pada 19 Oktober 1999, II pada 18 Agustus 2000, III pada 9 November 2001, dan IV pada 10 Agustus 2002 di dalamnya berisi suatu kaidah ketatanegaraan bahwa, ’’Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan undang-undang dasar (UUD) ... ’’ Rumusan kaidah (the rule of law) di dalam Pasal 3 UUD 1945 asli berstatus UUD itu memberi isyarat tegas bahwa manakala MPR sudah menggunakan kekuasaan untuk menetapkan UUD maka produk hukum yang tadinya masih berstatus/berkedudukan UUD 1945 berarti sudah tidak lagi berstatus tersebut.

Dengan kata lain, sekali UUD itu ’’ditetapkan’’ oleh MPR maka kedudukan hukum yang tadinya bernama UUD 1945 berubah bentuk dan bernama UUD. Penelitian saya menemukan fakta hukum bila MPR tidak menggunakan kekuasaannya untuk menetapkan UUD seperti diamanatkan dalam Pasal 3 UUD 1945 asli itu setelah menunggu waktu yang cukup lama untuk ditetapkan supaya bisa menyudahi sifat sementara UUD 1945. MPR justru ’’meloncati’’ kekuasaan pertamanya, yaitu MPR seharusnya terlebih dahulu menetapkan UUD 1945 asli itu.

Mengambil ’’jalan’’ Pasal 37 Ayat (1) & (2), MPR justru mengubah (amendemen) UUD 1945 asli itu yang sebenarnya belum pernah menjadi UUD-nya RI; bukankah masih bersifat sementara dan belum pernah ditetapkan menjadi UUD. Namun, ’’loncatan’’ yang dilakukan tidak disengaja itu, yaitu MPR tidak menetapkan lebih dahulu UUD 1945, tetapi justru mengubah UUD 1945 asli itu, dapat ’’ menyelamatkan’’ UUD 1945 asli dari kepunahan status sebagai UUD. Perubahan status seperti itu berakibat perubahan ’’derajat’’ (tata urutan/ kedudukan) produk hukum yang satu terhadap produk hukum lainnya.

Bukankah secara ilmiah yang disebut dengan the supreme law of the land itu adalah UUD, dan bukan Tap MPR? Bila UUD sudah ditetapkan dan menjadi Tap MPR, tidakkah itu berarti secara teori negara kita tak lagi memiliki groundnorm? Bagaimanakah pembuktian atas UUD 1945 yang belum ditetapkan tapi malah sudah kali keempat diubah, kemudian melalui ’’ kecelakaan tak terhindarkan’’ ditetapkan dan berakibat tidak terelakkan, yaitu perubahan status hukum dari UUD menjadi Ketetapan MPR tersebut dapat dibuktikan? 

Ada baiknya pembaca memperhatikan indikator berikut ini. Pertama; setelah Pasal 21 Naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang antara lain memuat pernyataan bahwa naskah perubahan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, sebelum diteken oleh ketua MPR dan 7 wakil ketua MPR, di atas tulisan ’’ tanggal 19 Oktober 1999’’ itu, dapat ditemukan penempatan kata ’’ditetapkan’’ di Jakarta.

Jadi Tap MPR

Penempatan kata ’’ditetapkan’’ mengandung pengertian yang seturut dengan Pasal 3 UUD 1945 asli bahwa naskah perubahan pertama UUD 1945 yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 asli tersebut, nyatanya sudah bukan lagi berstatus UUD melainkan sudah berubah menjadi Tap MPR. Kedua; mengagetkan, tidak terdapat kata-kata pada naskah perubahan kedua ’’ merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah UUD 1945” tetapi langsung diterakan kata ’’ditetapkan’’, kemudian diteken.

Implikasinya, secara legal drafting, perubahan kedua itu juga tidak ’’nyambung’’ dengan perubahan pertama dan karena ditetapkan maka status perubahan kedua itu juga menjadi ’’hanya’’ Tap MPR. Ketiga; kesalahan teknis pada perubahan kedua di atas yang mungkin sudah disadari kemudian diralat dengan cara mengikuti rumusan sama seperti yang ada di dalam Perubahan Pertama, Pasal 21.

Klausula aneksasi perubahan ketiga yang bersifat memasukkan perubahan ke dalam UUD 1945 asli itu ditempatkan dalam Pasal 24C Ayat (6), sebelum kata ’’ditetapkan’’ dan kemudian diteken. Dengan penempatan kata ’’ditetapkan’’ dalam perubahan ketiga itu maka status perubahan dan UUD 1945 asli ikut juga menjadi Tap MPR. Keempat; sama dengan sebelumnya, ada kata ’’ditetapkan’’ .

Atas dasar itu, saya berpendapat: jauh lebih fundamental bila langkah pertama Sdr Bambang sebagai anggota DPD mengamendemen ulang UUD 1945 itu, adalah mengembalikan dulu (merestorasi) status UUD 1945 sebagai UUD. Bukan seperti sekarang, yaitu ketika UUD 1945 masih bersifat sementara, belum merupakan UUD tetap. Demikian pula saat ini perubahan-perubahan yang telah dilakukan belum menyentuh statusnya sebagai UUD, namun ’’hanya’’ sebagai Ketetapan-Ketetapan MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar