Penambahan
Jumlah Penyidik KPK
Herie
Purwanto ; Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas
Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 23 Mei 2014
PADA tahun 2014, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki 19 perkara, menyidik 12 perkara,
menuntut 13 perkara, menetapkan inkracht
3 perkara, dan mengeksekusi 13 perkara. Dengan demikian, total penanganan
perkara tindak pidana korupsi (tipikor) dari tahun 2004 hingga 2014 adalah
penyelidikan 604 perkara, penyidikan 365 perkara, penuntutan 290 perkara,
menetapkan inkracht 246 perkara, dan eksekusi 260 perkara. Kemerebakan kasus
orupsi di Indonesia berakar dari pejabat pemerintahan atau pegawai negeri sipil
(PNS) yang berkongkalikong dengan pihak luar.
Karena itu, pemberantasan
korupsi di Indonesia, dalam kondisi menumpukan harapan pada KPK yang sekarang
ini hanya memiliki 75 penyidik, terasa tidak efektif. Rasio antara penyidik
KPK dan jumlah PNS saat ini adalah 1 : 45.000. Sebagai pembanding, penyidik
KPK di Hong Kong sebagai model negara yang berhasil dalam pemberantasan
korupsi, memiliki rasio dengan PNS adalah 1 : 200.
Dengan perbandingan yang
mendekati ideal itu, korupsi di negara tersebut bisa diberantas dalam waktu
30 tahun. Meskipun tahun 2013 KPK telah merekrut 26 penyidik eksternal,
ditambah 56 penyidik dari Polri, dibanding laporan yang masuk ke komisi
antikorupsi tersebut maka penambahan sejumlah penyidik itu masih jauh dari
yang diharapkan. Karena itu, KPK perlu didorong supaya segera menambah jumlah
penyidik.
Kehadiran Wakapolri Komjen
Polisi Badrodin Haiti ke KPK dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan komisi
itu untuk membahas penambahan penyidik Polri di lembaga antirasuah tersebut
(16/5) layak mendapat apresiasi. Bila dikaitkan dengan komitmen pemberantasan
korupsi, hal itu menjadi langkah strategis. Setidak-tidaknya ada tiga alasan
yang mendasari. Pertama; kehadiran Wakapolri menjadi pemecah kebekuan
hubungan sinergis yang beberapa saat lalu sempat terjadi.
Publik sangat paham, ada ìtarik
ulurî permasalahan keberadaan penyidik Polri di KPK setelah penangkapan Irjen
Pol Djoko Susilo. Hubungan dua instansi penegak hukum tersebut menjadi panas
dingin, ditambah dengan langkah KPK yang kemudian memilih merekrut penyidik
ekternal.
Meski dalam kondisi kekurangan
penyidik, masalah ini sepertinya menjadi status quo. Kedua; komitmen Polri
yang siap menambah penyidik di KPK menjadi upaya produktif bila dilihat dari
efektivitas dan efisiensi kinerjanya dalam memberantas korupsi. Hal itu bila
kita membandingkan bila KPK memilih merekrut penyidik eksternal. Penyidik
Polri yang selama ini bekerja di KPK terbukti mampu menjaga netralitas dan
indepensi sehingga profesionalisme penyidik benar-benar terjaga.
Pemaksimalan Kinerja
Menjadi penyidik harus melalui
sebuah proses panjang, tidak bisa serta merta mengingat aspek pengalaman dan
jam kerja menjadi variabel yang siginifikan. Karena itu, komisi antikorupsi
tersebut mutlak membutuhkan penyidik yang ready
for use, bukan penyidik yang melalui tahapan magang ataupun belum pernah
memberkas perkara korupsi.
Ketiga; memberikan kesempatan
kepada penyidik Polri yang memiliki integritas tinggi, sejalan dengan visi
dan misi KPK. Dalam konteks ini, penyidik bisa lebih memaksimalkan kinerjanya
karena didukung oleh regulasi, sarana dan prasarana, hingga menerima
kesejahteraan yang lebih tanpa harus keluar dari institusi Polri.
Kesempatan
bertugas di KPK akan menjadi sebuah pembelajaran berharga yang kelak setelah
selesai melaksanakan tugas di komisi itu dan kembali ke Polri, bisa
memperkuat barisan penyidik tipikor Polri.
Andaikata dilakukan survei, bisa
jadi di atas 90% penyidik tipikor Polri berharap bisa berkarier di KPK. Ini
menunjukan bahwa sejatinya penyidik tipikor Polri apabila didukung oleh apa
yang diterima oleh KPK, bisa bekerja maksimal dalam pemberantasan korupsi.
Selama ini, meskipun sudah didukung anggaran yang sama dengan KPK, untuk tiap
kasus yang ditangani, belumlah bisa menambah greget penyidik tipikor Polri.
Belum ada tunjangan khusus bagi
penyidik tipikor Polri sebagaimana diterima penyidik KPK. Penyidik tipikor
Polri masih harus berjuang untuk memenuhi kesejahteraan keluarga, di tengah
ia melakukan penyelidikan dan penyidikan. Tentu kondisi yang berbeda, ketika
penyidik KPK melaksanakan tugas. ia tidak lagi memikirkan uang untuk
keluarganya. Pasalnya take home pay
yang ia terima bisa lipat lima hingga sepuluh dari yang diterima penyidik
tipikor Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar