Pendidikan
untuk Daya Saing
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta;Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
02 Mei 2014
Dewasa
ini, entah disadari atau sekadar latah, hampir dalam setiap wacana mutu
pendidikan kita muncul gagasan tentang pentingnya daya saing.
”Mewujudkan bangsa yang berdaya saing” malah
menjadi misi kedua dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025. Atas dasar itu, Kemdikbud merumuskan visi Pembangunan Pendidikan
Nasional Jangka Panjang 2005-2025, ”Menghasilkan
insan Indonesia cerdas dan kompetitif”.
Istilah
daya saing sejatinya berakar dalam pemikiran darwinisme sosial. Teori ini berusaha
mengekstrapolasi konsep-konsep biologi seleksi alam (natural selection) dan survival
of the fittest ke dalam sosiologi dan politik. Paham ini kemudian
melahirkan ”ideologi kekuatan” yang sebelum Perang Dunia II memacu perlombaan
senjata dan perkembangan kapitalisme sebagai upaya bangsa-bangsa untuk sintas
dalam alam yang konkuren.
Sekarang,
istilah daya saing seperti jadi obsesi dalam merespons globalisasi.
Globalisasi telah menjadikan dunia sebagai arena dan pasar terbuka yang dalam
perspektif konkurensi ditafsir seolah hanya untuk bertarung dan saling
mengalahkan. Padahal, sebenarnya globalisasi juga membuka peluang ”bersulang”
atau berbagi dan saling bekerja sama atas dasar mutualisme, kesederajatan,
dan saling percaya.
Disorientasi dan pemborosan
Bagi
Pemerintah Indonesia, sebagaimana tertera dalam RPJPN, berdaya saing tinggi
adalah kunci tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Pembangunan sumber
daya manusia harus diarahkan pada pengembangan kemampuan kompetitif yang
tinggi (tentunya) menurut ukuran-ukuran global. Hanya dengan daya saing
tinggi Indonesia akan siap dan mampu bertahan menghadapi tantangan-tantangan
global. Benarkah demikian?
Paul
Krugman—peraih Nobel bidang ilmu ekonomi 2008—pernah menyatakan daya saing
sebagai gagasan yang berbahaya. Dalam satu artikelnya, ”Competitiveness: A Dangerous Obsession” (1994), Krugman
mengingatkan bahwa berpikir dalam term daya saing, langsung ataupun tidak
langsung, akan membawa pada pemborosan, proteksionisme dan konflik,
serta kebijakan pemerintah yang buruk.
Dalam
konteks pendidikan nasional, paradigma daya saing telah menyebabkan kebijakan
pendidikan selama 10 tahun terakhir makin buruk. Pertama, munculnya gagasan
sekolah bertaraf internasional dan universitas kelas dunia yang tak jelas
arahnya. Ide daya saing merasuk—meski telah dibatalkan Mahkamah
Konstitusi—hingga ke dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 Ayat
(3), yang mengharuskan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional pada
semua jenjang di setiap daerah. Ketentuan ini sempat memicu berdirinya
rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan ”demam” universitas kelas
dunia yang menyebabkan pemborosan.
Kedua,
obsesi terhadap daya saing telah melahirkan sindrom standardisasi yang
ditandai perilaku hobi menguji. Evaluasi seolah menjadi tujuan tertinggi dari
penyelenggaraan pendidikan, bukan bagian dari proses penyempurnaan untuk
mencapai tujuan sesungguhnya. Upaya pendidikan jadi sekadar rangkaian dril
dan tes untuk mencapai target-target kognitif dari mata pelajaran tertentu. ”Soal UN tahun ini (2014) berstandar
internasional,” kata para pejabat Kemdikbud dengan bangga. Demi
menyelaraskan dengan standar internasional, terjadilah dikotomi dan
marjinalisasi terhadap mata pelajaran bermuatan budaya dan kepentingan bangsa
yang justru jadi alasan adanya sistem pendidikan nasional.
Ketiga,
berkembangnya pola pikir kuantitatif mengabaikan substansi. Meski ada
manfaatnya, berbagai program internasional, seperti gerakan Education for All (EFA) dan Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG) yang menekankan indeks partisipasi dalam
pendidikan, yang juga dibarengi berbagai program pengukuran internasional,
seperti PISA, TIMSS, PIRLS, telah mengalihkan pandangan dan mendorong
penyelenggara pendidikan untuk mengejar gelembung angka-angka tanpa
kesungguhan membangun kualitas. Di antara contohnya adalah mendirikan akademi
komunitas untuk meningkatkan angka partisipasi perguruan tinggi, memperbanyak
karya ilmiah tanpa membangun budaya ilmiah, dan kecenderungan mengatrol
persentase kelulusan ujian nasional.
Pemikiran
tentang daya saing kiranya telah menjadikan pendidikan kita mengalami
berbagai anomali. Pertama, disorientasi dan pemborosan. Bangsa ini selain
memiliki berbagai perangkat normatif yang seharusnya menjadi rujukan, juga
memiliki fakta tentang sumber daya yang dapat memberikan arah yang jelas bagi
operasi pendidikan nasional. Namun, karena terpesona daya saing, kebijakan
pendidikan dibuat sambil melihat keluar (outward
looking) mengabaikan tujuan, realitas, dan kepentingan bangsa. Kita ”menari atas kendang orang lain,” kata
Profesor Sri-Edi Swasono (Kompas,
15/1/2014). Kenyataan ini makin memperparah kesenjangan yang terjadi
akibat selama ini jalan pendidikan kita hanya meneruskan begitu saja konsep
yang dibuatkan pemerintah kolonial.
Disorientasi
pendidikan telah dan akan terus menimbulkan pemborosan yang semakin besar
seiring anggaran pendidikan yang kian meningkat. Pemborosan terjadi karena
program-program yang dijalankan membias tak keruan sehingga apa yang
dikerjakan dunia pendidikan tak bersambung dengan permasalahan dan kebutuhan
bangsa. Oleh karena itu, tepat sekali ungkapan dalam Tajuk Rencana harian
ini, (3/4/2014), yang menganjurkan ”Reorientasi pembangunan” karena ternyata
hasil kajian sejumlah lembaga penelitian bahwa pilihan strategi pembangunan
setelah reformasi tidak menjawab permasalahan Indonesia.
Kedua,
proses pendidikan mengalami dehumanisasi dan dekontekstualisasi. Tersebab
berorientasi kuantitatif bertaraf internasional, proses pendidikan menjadi
naif, tak menyentuh aspek mendalam kemanusiaan murid, yaitu akal budi dan
spiritualitas.
Para
murid dijejali pengetahuan ”asing” yang tak berkaitan dengan kepentingan
diri, lingkungan alam dan budaya, serta kebutuhan hidupnya sebagai manusia.
Murid-murid tercerabut dari humanitas dan lingkungannya lalu bertumbuh sebagai orang sengsara di
negerinya yang kaya; jadi immoral dalam bangsanya yang bergebyar ritual
agama, nirjati diri dalam bangsa yang beragam budaya.
Dari milik kita
Pemerintahan
baru yang akan datang hendaknya menyadari lalu mereformasi situasi pendidikan
nasional yang tak memajukan bangsa ini. Seperti kata Daoed Joesoef, (Kompas, 7/4/2014), kita harus memikir
ulang pendidikan, suatu konsep pendidikan yang menyeluruh diperlukan sekarang
dan di sini.
Menyusun
kembali sistem pendidikan nasional harus dimulai dari apa yang kita miliki.
Kita mempunyai tujuan bernegara ”mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang seharusnya jadi sumbu bagi gerak sentrifugal
pembangunan kesejahteraan dan kebudayaan bangsa. Kita juga mempunyai Pasal 31
UUD 1945, UU Sisdiknas, dan UU Guru dan Dosen yang harus dielaborasi dan
diimplementasikan dengan benar.
Selain
berlandaskan garis-garis normatif yang ada, strategi pembangunan pendidikan
nasional juga harus dan tidak boleh mengabaikan realitas kebangsaan kita.
Kita punya tanah yang subur, perairan luas, sinar matahari sepanjang tahun,
ada tambang dan berbagai kekayaan lainnya seperti keanekaragaman hayati,
agama dan budaya, dan penduduk yang toleran luar biasa.
Berangkat
dari perangkat normatif dan kekayaan yang dimiliki, pendidikan kita harus
dirancang sedemikian rupa agar bangsa ini jaya dan bahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar