Jumat, 02 Mei 2014

Efek Pileg terhadap Pilpres 2014

Efek Pileg terhadap Pilpres 2014

Ummi Salamah  ;   Psikolog; Kandidat Doktor Komunikasi FISIP UI
KOMPAS, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Keputusan pemilih untuk membedakan pilihan antara partai politik dan calon presiden dapat dipahami sebagai rute pengambilan keputusan yang berbeda terkait entitas parpol dengan capres (Lau, 2003). Perbedaan ini dapat ditelaah dengan menggunakan konsep brand politik dan psikologi kognitif.

Beberapa hari terakhir media massa banyak mengangkat efek pemimpin (baca: capres) terhadap perolehan suara parpol yang berlaga dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April lalu. Perolehan suara PDI-P, Gerindra, dan PKB yang masuk kategori empat besar ditengarai dipengaruhi oleh efek Jokowi, efek Prabowo, dan efek Rhoma Irama. Mereka adalah capres yang diusung oleh masing-masing parpol.

Analisis lebih jauh tentang hubungan antara pemimpin dan parpol dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan brand. Meski relatif ada keengganan dari sementara akademisi untuk menerapkan konsep ini dalam politik yang sarat pertarungan ideologi, konsep brand yang lahir dari rahim ilmu pemasaran mampu memberikan insight dalam menjelaskan fenomena ini.

Lagi pula politik Indonesia telah banyak mengadopsi konsep ilmu pemasaran dengan maraknya penggunaan pollster atau lembaga survei, konsultan politik, dan manajemen media yang kian lama kian terintegrasi. Praktik ini menunjukkan kedigdayaan pemasaran politik dalam praktik kampanye politik di Indonesia.

Dalam kerangka brand, parpol adalah brand perusahaan yang memiliki berbagai produk yang masing-masing memiliki brand tersendiri. Program, platform, policy (kebijakan), politisi, dan pemimpin adalah contoh beberapa produk yang dihasilkan oleh parpol. Brand parpol berfungsi sebagai payung yang menaungi brand produk-produk yang dimilikinya. Laiknya sekumpulan brand dalam satu payung, brand produk parpol ini saling menguatkan dan bertujuan menonjolkan atribut positif dari brand parpol yang menjadi payungnya.

Pileg merupakan momentum pengambilan keputusan oleh pemilih terkait parpol dan politisi yang hendak menduduki kursi legislatif. Brand pemimpin politik jelas memengaruhi pengambilan keputusan ini. Namun, dalam pileg pemilih diminta menelaah entitas lebih kompleks ketimbang sosok seorang pemimpin.

Parpol dapat dipersepsi memiliki sejumlah asosiasi dan karakteristik yang unik. Namun, proses ini menjadi sulit karena pemilih diminta menelaah asosiasi dan karakteristik yang dimiliki oleh entitas nonmanusia. Sementara pemimpin (baca: capres) adalah manusia yang dengan mudah ditelisik unsur-unsur kepribadiannya. Selain itu, memilih politisi untuk menjadi wakil rakyat juga bukan hal yang sederhana, baik dari segi kuantitas maupun variasi kualitas caleg yang disodorkan oleh parpol.

Hasil perolehan suara pada Pileg 2014 menunjukkan kinerja brand parpol dan brand politisi yang dimilikinya. Akan halnya brand capres akan diuji dalam mekanisme pilpres pada Juli mendatang. Perbedaan hasil perolehan suara parpol dengan hasil survei capres menjadi wajar karena obyek yang dinilai berbeda. Dan fenomena nyaris serupa juga pernah terjadi pada Pemilu 2004. Saat itu Partai Demokrat sebagai partai baru peserta pemilu meraih 7,45 persen suara. Pada Pilpres 2004, pasangan SBY-JK yang diusung mampu mengungguli pesaing-pesaingnya.

Keputusan pemilih

Saat menentukan pilihan, pemilih sebagai individu tengah mengambil keputusan berbasiskan pada beberapa prinsip (Lau, 2003). Prinsip tersebut antara lain adalah obyek yang lebih dikenal akan lebih dipilih sehingga parpol dan capres yang lebih populer dan pernah mengikuti pemilihan sebelumnya akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan pesaingnya.

Parpol dan capres yang mendapatkan evaluasi positif juga cenderung mendapatkan banyak suara. Tak heran jika media darling seperti Jokowi memiliki kemungkinan memperoleh suara lebih tinggi daripada capres lain karena tingkat keterkenalan yang tinggi dan asosiasi positif yang terbentuk melalui pemberitaan media massa.

Prinsip lainnya adalah pilihan yang dibuat berdasarkan pada schemata. Schemata merupakan bentuk jamak dari skema, pola kognitif yang dimiliki individu terkait kategorisasi dan hubungan antarkonsep. Ia membantu kita membentuk struktur mental terhadap suatu gagasan, membantu melakukan organisasi dan interpretasi informasi, serta jadi penyaring untuk informasi berikutnya yang datang.

Schemata politik seperti ideologi dan politik aliran merupakan faktor yang memengaruhi pilihan politik karena informasi yang diterima semata digunakan untuk memperkuat pilihan dan sebaliknya informasi yang tidak sesuai dengan pilihan akan dibuang. Schemata juga bersifat personal, khususnya terkait sosok capres yang meliputi usia, jender, suku, agama, dan penampilan fisiknya.

Selain berbasis pengetahuan dan proses kognisi, pemilih juga dapat memilih rute yang lebih ”ringan” untuk mengambil keputusan. Pemilih akan mendengar masukan dari berbagai pihak dalam mengambil keputusan politik berdasarkan alasan praktis, yaitu membiarkan orang lain mencari tahu lebih dulu dan lebih banyak untuk membantu menentukan pilihan.

Pemilih juga cenderung memilih kandidat yang berpeluang menang. Prinsip ini menunjukkan pilihan politik merupakan perpanjangan ego dari pemilih dan ekspresi kebutuhan untuk mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang solid dan kuat.

Saat dihadapkan kepada situasi yang relatif sulit, proses yang bersifat semiotomatis justru menjadi pilihan. Pemilih akan cenderung memilih rute yang berbasis pada kebiasaan, identifikasi politik, dan kemungkinan untuk menang dalam mempertimbangkan brand parpol. Hal ini menjelaskan mengapa, misalnya, PKB mampu menaikkan suara secara signifikan. Kaum nahdliyin memutuskan memilih partai yang secara tradisional mewakili kepentingannya. Dukungan terhadap Demokrat dari pemilih nasionalis cenderung beralih ke Nasdem, Gerindra, dan PDI-P yang memiliki garis ideologi yang kurang lebih sama. Golkar tetap bertahan karena dipilih berdasarkan kebiasaan.

Tantangan terbesar parpol pengusung capres kemudian adalah mengatasi schemata dan perilaku pemilih. Kondisi ini membuat peluang setiap capres tetap terbuka walaupun disadari ada capres yang berdasarkan survei terakhir berada pada posisi dominan. Karena itu, kesalahan memahami schemata dan perilaku pemilih ini dalam memilih mitra koalisi dapat saja memperkecil peluang kemenangan masing-masing capres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar