Nasionalisasi
dan Nasionalisme Ekonomi
M
Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 Mei 2014
SEJAK
masa sebelum kemerdekaan tahun 1945, dua tokoh proklamator, Soekarno dan
Hatta, telah menulis bahwa demokrasi politik harus didasarkan pada demokrasi
ekonomi. Pandangan itu sejalan dengan pandangan seorang sosialis Inggris
kontemporer, Ralph Miliband, ketika menanggapi pandangan Francis Fukuyama
mengenai Demokrasi Liberal dan Kapitalisme sebagai puncak pemikiran manusia
dalam pengelolaan negara dan masyarakat.
Sejalan
dengan pandangan dasar itu, sejak awal kemerdekaan, para pemimpin Indonesia
yang duduk di pemerintahan, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjafruddin
Prawiranegara, sejak awal telah mengikuti penegakan kedaulatan politik dengan
penegakan kedaulatan ekonomi guna mencapai kemerdekaan politik dan ekonomi
sekaligus.
Sesudah
proklamasi kemerdekaan, tindakan strategis yang dilakukan dalam penegakan kedaulatan
ekonomi adalah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing.
Namun, ini dilakukan tidak secara total dan seketika, tetapi secara selektif
dan bertahap yang dimulai dari sektor keuangan, khususnya perbankan yang
menghasilkan berdirinya BI, BRI, BNI, dan BDN. Tindakan nasionalisasi secara
besar-besaran baru dilakukan Bung Karno pada 1957.
Akan
tetapi, tindakan tersebut ditentang oleh Sjafruddin Prawiranegara, juru
bicara ekonomi Partai Masyumi, padahal ia sejak 1952 sudah ditunjuk memimpin
Bank Sentral, Bank Indonesia yang dinasionalisasi dari De Javaschebank, milik
perusahaan swasta Belanda. Ia berpendapat bahwa nasionalisasi total itu
merupakan tindakan yang keliru besar.
Alasannya
adalah, pertama, pemerintah masih membutuhkan anggaran yang besar untuk
pembangunan, tetapi dana harus dikeluarkan untuk membeli saham
perusahaan-perusahaan asing dalam mata uang asing sehingga juga menguras
cadangan devisa yang ia kelola melalui BI.
Kedua,
Indonesia masih kekurangan dana domestik sehingga harus memanfaatkan modal
dari luar, tetapi modal asing yang telah masuk malah harus diusir.
Ketiga,
ia meramalkan, jika tenaga-tenaga perusahaan-perusahaan asing yang
profesional digantikan dengan tenaga birokrat, maka akan terjadi salah kelola
(mismanagement) sehingga produksi
nasional akan merosot. Sebagai alternatif yang ia lakukan di BI adalah tetap
mempertahankan tenaga dari negara asing Belanda dan kelompok etnis Tionghoa
yang profesional dan sejalan dengan itu ia melakukan tindakan ”Indonesianisasi”
dengan mendidik tenaga-tenaga profesional.
Di luar
posisinya di BI, ia bersama-sama dengan Pastor Romo Kadarman dan Anwar
Harjono mendirikan Lembaga Pendidikan Manajemen (LPM) guna menyiapkan
tenaga-tenaga profesional yang kelak akan melakukan ”revolusi manajemen” (managerial revolution) sebagaimana
telah terjadi di Amerika Serikat sejak awal abad ke-20 guna menguasai
perusahaan-perusahaan besar asing dan milik negara.
Namun,
pada dasarnya ia menyetujui modal asing dan menganjurkan untuk mengundangnya,
tetapi didasarkan pada Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA). Itulah yang
dilaksanakan pemerintahan Orde Baru dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang PMA.
Kebijakan
ini dilakukan bersama-sama dengan utang luar negeri dari lembaga-lembaga
keuangan internasional secara multilateral dan negara-negara pemilik modal
secara bilateral guna memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Pada pokoknya, pemerintah Orde Baru mulai melakukan pembangunan
dengan modal asing, baik di sektor swasta maupun negara.
Kebijakan
dasar itu masih tetap dilaksanakan hingga sekarang. Sampai 2013, utang luar
negeri sudah mencapai sekitar Rp 3.000 triliun. Realisasi POMS hingga Oktober
2013 mencapai Rp 100,5 triliun, Rp 67 triliun di antaranya adalah PMA atau
dua kali lipat dari PMDN yang sebesar Rp 33,5 triliun.
Kian dominan
Analisis
ekonomi dewasa ini mensinyalir kecenderungan makin dominannya peranan PMA,
termasuk dalam perbankan syariah. Kecenderungan ini berlawanan arah dengan
cita-cita kemandirian ekonomi atau berdiri di atas kaki sendiri di bidang
ekonomi. Ekonom Mubyarto berpendapat bahwa nasionalisme ekonomi merupakan
pilar ketiga Sistem Ekonomi Pancasila.
Kemandirian
ekonomi tersebut diusung sebagai salah satu platform politik dalam Pemilu 2014, terutama oleh PDI-P,
Gerindra, dan Nasdem, sebagai bagian dari ideologi kerakyatan sebagai
transmutasi dari ideologi sosialisme.
Namun,
tidak ada satu partai pun yang secara terang-terangan mengagendakan
nasionalisasi karena akan menggelisahkan kekuatan modal asing dan
negara-negara yang mengusung haluan pasar bebas dan globalisasi ekonomi.
Partai-partai
kerakyatan tidak akan meninggalkan nasionalisme ekonomi. Hanya saja, hal itu
akan dilakukan dengan model yang berbeda-beda.
Pertama,
dengan memperkuat daya saing perekonomian nasional. Model ini tidak mudah
untuk dilaksanakan karena syaratnya adalah menghapuskan biaya ekonomi tinggi.
Kedua,
dengan mencapai kemandirian ekonomi, terutama dengan membangun ekonomi rakyat
dalam usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan BUMN.
Ketiga,
pembelian saham-saham perusahaan-perusahaan asing secara berangsur-angsur.
Keempat,
menguasai manajemen dengan tenaga-tenaga profesional domestik, melalui
pembinaan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kelima,
dengan mencapai kedaulatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok,
terutama pangan dan energi.
Keenam,
dengan memproduksi bahan-bahan baku industri dan teknologi tepat guna
berbasiskan sumber daya alam.
Dan
ketujuh, dengan pembentukan pasar domestik melalui peningkatan pendapatan
masyarakat dan jaminan sosial yang komprehensif.
Kesemuanya
itu harus dicapai berdasarkan semangat nasionalisme yang kuat. Nasionalisasi
bisa pula dilakukan dengan cara lunak dan demokratis, yaitu dengan melakukan
negosiasi, perjanjian-perjanjian yang dinilai bertentangan dengan UUD dan
merugikan kepentingan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar