Menolong
Jeritan Senyap
Reza
Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne,
Anggota World Society of Victimology
|
KORAN
SINDO, 06 Mei 2014
Kemurkaan
publik seperti kobaran api yang menyapu sarang-sarang binatang buas. Deras,
kasus demi kasus kejahatan seksual terhadap anak berhamburan dari tempat-tempat
yang selama ini tersembunyikan, dan langsung diringkus oleh kepolisian serta
berbagai kalangan yang menaruh kepedulian.
Simpati
diulurkan masyarakat kepada korban anakanak dan keluarga mereka. Bantuan
disodorkan agar anak-anak itu bisa kembali ke masa penuh riang gembira. Di
situ pula muncul kebutuhan agar anak-anak yang menjadi korban kekerasan
seksual tidak tumbuh dewasa menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian
hari. Sebaliknya, terhadap pelaku, masyarakat menaruh kebencian sekaligus
kengerian mendalam.
Seorang
kenalan saya, misalnya, bertubi-tubi mengirim pesan singkat berisi derai tangis
dan kalimat-kalimat bengis. Ia menggelari pelaku dengan berbagai kutukan
yang, sayangnya, tetap tidak membuatnya tenang menghadapi bayang-bayang andai
tragedi yang sama dialami darah dagingnya. Menjelmanya orang normal menjadi
predator seksual terhadap anak-anak diyakini khalayak sebagai proses yang
didahului dengan pengalaman serupa. Seorang anak yang telah mengalami trauma
hebat akibat kebejatan seksual sehingga berstatus sebagai korban, kelak
melakukan kekejian yang sama dan menyandang status baru: pelaku.
Penjelasan
tersebut sebenarnya mengandung kepedihan yang amat sangat. Seorang anak, yang
tidak berdaya, ditimpa kemalangan. Bagian tubuhnya yang sejatinya sakral,
dijajah oleh pemangsa berusia dewasa. Si anak meronta, menahan sakit, dengan
batin yang tercabik-cabik. Sangat mungkin ia lalui itu sendirian. Tidak ada
orang tempatnya berbagi cerita. Andai orang tua sudah menyimak kisah derita
si anak, orang tua memintanya untuk lagi-lagi diam. Pengalaman viktimisasi
berkembang menjadi sumber aib keluarga yang harus ditutup serapat-rapatnya.
Itu
karena anak dianggap ”tidak lagi utuh”, dan demi masa depannya, anak harus
diam. Proses hukum yang panjang pun sangat mungkin mendatangkan ketakutan
tersendiri, yakni ketika anak diminta untuk mengulang-ulang cerita pilunya,
lalu dihadap-hadapkan dengan manusia jalang yang telah memangsanya, dan
”diakhiri” dengan hukuman maksimal lima belas tahun penjara. Sungguh tak
sebanding dengan ingatan traumatis yang tak lekang oleh masa. Atau bisa saja
si anak baru tersadar bahwa ia sesungguhnya adalah korban, justru sekian
tahun sesudah peristiwa jahanam itu berlangsung.
Semasa
kecil, ia memaknakan sentuhan- sentuhan itu sebagai ekspresi physical affection. Ditambah lagi
dengan kata-kata manis yang diumbar oleh sosok dewasa yang terus
menyambanginya. Akal sehat si anak masih belum cukup matang untuk memahami,
apalagi waspada, bahwa segala bentuk ”kebaikan” itu sesungguhnya jalan untuk
membiusnya. Karena si anak mengenang, begitu ia percaya pada ”si om” ataupun
”si tante” itu, saat itu pula ia dieksploitasi secara seksual.
Masa
berganti. Ketika kesadaran akan viktimisasi seksual baru muncul, sosok dewasa
durjana itu sudah menghilang. Ditautkan dengan proses hukum, barang bukti tak
lagi ada, saksi pun entah di mana. Alhasil, tidak ada gunanya mencari
pertolongan. Lagi-lagi, hanya satu yang bisa dilakukan: menjerit dalam diam.
Begitulah gambaran sebagian bocah korban kekerasan seksual. Yang ia tahu, ada
sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya. Amarah, muak, sakit hati, malu,
jijik, kesumat, sedih, yang tak henti-henti menggedor sekat antara sadar dan
bawah sadarnya.
Kompensasinya,
kalau bukan menyakiti diri sendiri, ia pilih untuk menistai orang lain. Siapa
orang lain itu? Siapa lagi kalau bukan mereka yang juga rapuh, juga mudah
dikendalikan, dan juga bisa dipaksa bungkam: anak-anak. Bisa pula, perilaku
seksual hina itu adalah cerminan betapa pelaku tidak kuasa melepas dirinya
dari obsesi akan serbaseks. Terpapar pada seksualitas sejak usia sangat
belia, kepala dan hatinya terjerat dalam dorongan untuk mengekspresikan
hasrat seks berulang kali (sexualization
of behavior).
Nyata;
sebagian pelaku kejahatan seksual mengarungi waktu belasan atau bahkan
puluhan tahun dengan beban yang dipikulnya sendirian. Pada titikitulah dunia
semestinya mafhum, meski sama sekali tidak berarti menjustifikasi, bahwa di
balik perilaku predator seksual yang kejam ternyata ada erangan rasa sakit
yang tak terperikan. Dan ini bukan ironi viktimisasi alias permainan
psikologis untuk menggeser pelaku ke posisi korban.
Atas
dasar itu, kegagalan anak-anak korban kekerasan seksual mencari pertolongan
sesungguhnya juga merupakan ketidakberhasilan kita menolong mereka
secepat-cepatnya. Akibatnya, sekali lagi, semut rangrang terlanjur bermutasi
menjadi tiranosaurus seksual.
Pelurusan Selekasnya
Manusia
tidak dihakimi atas apa yang ada di dalam kepalanya, melainkan atas
perbuatannya. Ungkapan semacam itu kiranya relevan sebagai dasar pemberian
bantuan kepada orang-orang dewasa yang pernah menjadi korban dan kemudian
memiliki impuls untuk melakukan perbuatan serupa.
Anggaplah
bahwa pemunculan dorongan untuk ”menyentuh” anak-anak bisa sekonyong-konyong
menghantui bahkan bersemayam selamanya, namun pengungkapan dorongan itu ke
dalam tingkah laku nyata pasti dan harus bisa dicegah. Dan memberikan kesempatan
lebih luas—bahkan menetapkannya sebagai kewajiban— agar orang-orang dengan
dorongan semacam itu selekasnya mencari bala bantuan, membutuhkan kesiapan
pula.
Baik
kesiapan berupa penanganan psikologis maupun kesiapan pendekatan kimiawi guna
memodifikasi kondisi faalnya sehingga impuls-impuls seksual liarnya bisa
terbendung. Prakarsa pemerintah semisal jaminan kesehatan bagi masyarakat
marjinal bisa diperluas cakupannya dengan menyasar kelompok korban kekerasan
seksual.
Paling mendasar, pemberian garis bawah
terhadap ”minat seksual terhadap
anak-anak, apa pun motifnya, sebagai sesuatu yang tidak bisa dibenarkan”
menuntut kesiapan untuk menerima fakta adanya orangorang dewasa dengan
abnormalitas seperti itu di sekitar masyarakat sendiri.
Tanpa itu,
para korban kebiadaban seksual, yang telah melalui episode traumatis, akan
terus hidup terlunta-lunta ke usia dewasa, dengan potensi bahaya sebagai
(calon) pelaku yang berlipat ganda. Allahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar