Cawapres
Common Denominator
M
Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional,
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 06 Mei 2014
Konstelasi
politik koalisi pilpres masih menunjukkan adanya skenario yang serba belum
pasti. Terutama siapa yang akan muncul sebagai cawapres, Jokowi (PDIP) atau
Prabowo Subianto (Gerindra), dua capres populer yang menghiasi media massa.
Partai-partai
politik yang mengitari koalisi kedua belah pihak pun rupanya tidak mengajukan
cawapres definitif, dalam arti siapa sosoknya. Kalaupun ada, kemungkinan
sosok itu dinegasikan oleh partai lain yang turut berkoalisi cukup besar.
Pemberitaan media massa kerap berbeda dengan realitasnya. Si A yang
diberitakan tinggal tunggu waktu berpasangan dengan salah satu capres
tertentu, ternyata didera ke-tidakpastian. Inilah yang membuat peluang
nama-nama lain, seperti si B hingga si F masih tetap berpeluang.
Dari
sini muncullah apa yang saya sebut cawapres common denominator, atau dalam
matematika bilangan pembagi yang menyamakan, alias bisa diterima oleh semua
segmen partai koalisi. Sosok ini bisa datang dari partai lain di luar peserta
koalisi atau nonpartai. Tapi, prinsipnya, ia bisa diterima dan menjadi
perekat semua peserta koalisi. Fenomena demikian berbeda dengan sebelumnya,
baik ketika kontes pilpres 2004 maupun terutama 2009 yang lalu.
Yang
terakhir itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai capres Partai Demokrat
demikian kuat elektabilitasnya, sehingga rumor bahwa ia dipasangkan dengan
sandal jepit pun bisa menang, segera dapat dipahami. Boediono sebagai orang
diajak mendampingi SBY, adalah sosok yang tidak terlampau dipertimbangkan
dari segi elektabilitas. Namun kini SBY tidak maju, dan persaingan tajam
antarcapres tidak semata-mata karena kekuatan ekstra elektabilitas capres,
tetapi juga oleh kelebihan cawapresnya.
Karena
itu, rumus sandal jepit sebagaimana rumor di atas, tidak bisa diterapkan
karena sangat berisiko. Cawapres harus magnetis, punya kontribusi menambah
suara karena dapat diterima semua kelompok masyarakat dan punya basis-basis
dukungan nyata. Kalau hanya sekadar mengandalkan popularitas atau
elektabilitas capres saja, memang cukup berisiko bisa kalah, apalagi melihat
kekuatan pasangan lawan berikut strategi politik elektoral yang dikembangkan.
Cawapres
common denominator ialah yang memiliki derajat irisan representasi yang
tepat, dan punya kecakapan politik yang bisa diterima segmen-segmen masyarakat
pemilih. Indonesia negara plural, tetapi variabel Jawa dan luar Jawa,
keagamaan, usia, jenis kelamin, kemoderatan, hingga penerimaan pasar,
tampaknya lazim menjadi bahan cermatan kajian-kajian strategis kepolitikan
elektoral.
Tentu
saja bukan isu SARA, manakala ada kajian soal potensi penerimaan di ranah
agama atau etnisitas, misalnya. Karena, yang demikian hanya untuk mengukur
potensi elektoral sang sosok.
Dimensi Ikonografi
Cawapres
common denominator juga perlu
ditilik dari perspektif ikonografi politik, yakni referensi ikon-ikon
ketokohan -yang muncul dalam budaya populer masyarakat. Partai-partai koalisi
akan menerima sosok dari luar diri mereka, apabila memang mereka memahami
bahwa sosok yang dilekatkan pada capres itu pantas. Derajat kepantasannya
sedikit banyak juga hadir dari sejauh mana masyarakat terbiasa dihadapkan
pada deretan sosok baik atau jahat dalam wayang atau cerita-cerita rakyat.
Masyarakat
sudah punya referensi ikonografi yang jelas, kalau seorang capres mereka
identifikasi sebagai salah satu tokoh dalam Pandawa, maka cawapresnya jangan
yang menyerupai tokoh di sisi Kurawa dan para raksasa jahat. Masyarakat juga
akan melihat, siapa cawapres yang, dalam istilah Jawa ”nggege mongso” alias tidak mengindahkan etika politik atau
terlampau menampakkan ambisi politiknya.
Di ranah
orang banyak juga akan mencermati siapa saja sosok bakal cawapres yang bisa
mengimbangi capresnya, bukan yang menyainginya. Karakter Kurawa ialah yang
tidak empan papan, yang mau ambil semua dan meninggalkan capresnya. Maka
sosok yang demikian perlu diwaspadai. Lagi, sosok cawapres juga mesti yang
selesai dengan kepentingannya sendiri alias yang berdimensi negarawan.
Ikonografi nega-rawan inilah yang perlu dicari dan diterapkan.
Jangka Panjang
Tentu
saja kebutuhan cawapres tidak sekadar ditentukan oleh variabel-variabel
jangka pendek, tetapi yang jauh lebih penting adalah kepentingan stabilitas
pemerintahan. Indonesia memang menganut sistem pemerintahan presidensial,
tetapi disertai oleh sistem multipartai. Akibatnya, praktik-praktik
parlementer sering pula mengemuka, terutama apabila pemerintah berurusan
dengan parlemen.
Parlemen
tidak bisa menjatuhkan presiden, tetapi pada praktiknya bisa cukup merepotkan
dan memprakondisikan suatu mosi tidak percaya. Maka kalau yang terjadi adalah
hubungan pemerintah dan parlemen yang buruk, jalannya pemerintahan pasti
tidak akan menarik dan kurang efektif. Cawapres, karenanya bukan sekadar ban
serep. Ia adalah sosok yang proaktif berfungsi sebagai administrator dan
pemecah masalah yang andal, termasuk dalam mengelola hubungan pemerintah
dengan parlemen sedemikian rupa.
Ini
penting karena, nyaris semua capres kuat yang ada kini bertipe populis.
Populisme kepemimpinan politik berisiko tekor pengelolaan pemerintahan yang
stabil, terutama ditandai dengan baiknya hubungan parlemen dan pemerintah.
Dari sinilah kriteria fungsi integrasi-politik atau manajemen politik sosok
cawapres penting. Pengalaman dan rekam jejak kepiawaian komunikasi politik
menjadi penting untuk dilihat.
Sebab,
kalau tidak, sosok yang kemampuan komunikasi politiknya diragukan, bisa
menjadi bumerang instabilitas politik ke depannya. Tantangan Indonesia ke
depan memang kompleks, maka variabel geostrategi tak boleh dilupakan, juga
konteks internasional. Namun, siapa pun pasangan yang terpilih kelak, mereka
akan dituntut untuk segera menyelaraskan dengan perkembangan.
Cawapres,
dalam konteks ini, tentu yang berwawasan dan mampu merespons pula perkembangan
regional dan internasional. Tetapi, tentu prioritas utama adalah stabilitas
dan pembangunan dalam negeri, karena perkembangan domestik akan menentukan
jenis-jenis respons terhadap perkembangan luar negeri.
Indonesia negara besar, maka tentu rakyat
tidak akan terima manakala pemerintahnya menggadaikan negara ini ke pihak
asing begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar