Demokrasi
Jahiliyah
Saharuddin
Daming ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Mantan
Komisioner Komnas HAM
|
REPUBLIKA,
05 Mei 2014
Salah
satu pilar penting demokrasi tidak lain adalah pemilihan umum sebagai sarana
pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam memilih penyelenggara negara di
lingkup eksekutif (tanfidziyah) dan
legislatif (asyariyah). Namun,
pemilihan umum anggota legislatif (pileg) yang kita gelar 9 April lalu bukan
saja meninggalkan tumpukan artefak politik yang penuh noda dan dosa sebagai
karakter utama peradaban jahiliyah, tetapi pileg tersebut juga menyeret
sistem demokrasi Indonesia ke lembah prahara.
Sejumlah
caleg bahkan parpol terli- bat konflik secara sporadis sehingga hasil Pileg 2014
terancam batal atau dilakukan pileg ulang. Hal ini terjadi karena sebagian
besar masyarakat pemilih kita dalam pileg terserang endemik penyakit suap
politik. Entah kapan dan siapa yang pertama kali mengajari masyarakat menjadi
pengemis musiman dan pecandu angpapolitik.
Tragisnya,
hampir semua pemilih tak malu menjadi golput (golongan penunggu uang tunai).
Sehingga, tak akan memilih caleg yang enggan ber-money politics meski ia adalah keluarga dekatnya. Tak pelak lagi,
caleg yang kebetulan memiliki deposit energi yang melimpah tapi rendah kadar
integritas dan kapasitas sangat diuntungkan dengan kondisi demikian. Mereka
rela bahkan berani berkorban apa saja demi memenangkan pertarungan meski
harus menodai kesucian demokrasi.
Tradisi
kehidupan jahiliyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuan merupakan hal yang legal, bahkan menjadi strategi favorit dalam pileg.
Tidak salah jika sejumlah pengamat menyimpulkan bahwa pesta demokrasi 2014 merupakan
pileg terkotor sepanjang sejarah. Perjuangan merebut kursi legislator di
kekinian sangat tidak sehat. Selain membutuhkan biaya yang sangat mahal, juga
harus melintasi gugusan permainan kotor yang sangat parah.
Tak
hanya dituntut untuk sikut para kompetitor antarpartai, sejumlah caleg juga
melakukan kanibalisasi dengan memakan potensi caleg separtainya sebagai korban
pencurian dan penggelembungan suara. Mereka tak segan lagi melakukan
manipulasi, perampasan suara, hingga money
politics tanpa peduli jika hal tersebut merupakan hal yang terlarang
sebagai calon pejabat negara.
Sebagaimana
halnya masyarakat jahiliyah, konstituen kita di kekinian, juga merasa sangat
bangga dan senang dengan kesalahan dan dosa-dosa. Semua aturan yang tidak
memihak pada keuntungan materi akan menghadapi pembangkangan massal.
Masyarakat pemilih benar-benar telah terhipnotis menjadi pecandu angpao politik.
Beberapa
daerah di Sulsel misalnya angpaopolitik dalam bentuk uang, sembako, dan
sejenisnya dikenal dengan sebutan "bom". Di sinilah terjadi anomali
karena jika suatu wilayah akan dijadikan sebagai objek serangan
"bom" dalam dunia militer, warga pasti akan menolak atau mengungsi.
Namun, serangan \"bom\" dalam pileg justru disambut gembira.
Tak
heran jika hampir semua tempat pelaksanaan pileg terlihat secara vulgar aksi
pengeboman besar-besaran. Tindakan yang menodai kesucian kenduri demokrasi
tersebut berlangsung pada masa kampanye hingga masa tenang dan pada hari
pencoblosan. Hebohnya lagi karena hal itu justru berlangsung secara
terang-terangan di beberapa TPS yang disaksikan oleh para penyelenggara pileg
sendiri tanpa tindakan apa pun karena dianggap sebagai hal yang sudah lumrah.
Ini benar-benar
ironi karena reformasi yang kita capai melalui tetesan darah para mahasiswa
pascatumbangnya orde baru rupanya gagal mewujudkan sis tem politik yang
bersih dan bebas KKN. Penyelenggaraan pileg sebagai ajang seleksi legislator
andal dan berintegritas justru berubah menjadi pasar murah yang
mentransaksikan kepentingan jangka pendek dan aneka kecurangan lainnya.
Bagaimana mungkin negeri ini bisa bebas dari KKN jika legislator yang
terpilih dalam pileg sebagian besar dicapai dari hasil kecurangan.
Sejumlah
pihak menilai hal itu sebagai konsekuensi dari penerapan demokrasi pada
masyarakat miskin dan nonrasional. Anggapan ini tak sepenuhnya benar sebab dalam realitas politik, praktik pecandu
angpaodemokrasi, tak hanya diburu oleh kaum udik dan miskin, tetapi kaum
rasional dan berpunya pun ternyata juga doyan angpaopolitik. Anehnya karena
sejumlah caleg dan konstituen yang berlatar belakang intelektual,
profesional, dan agama justru menjadi aktor utama dalam praktik kecurangan
itu.
Semua petuah luhur yang diserukan petinggi parpol seperti "Ganyang
Korupsi" oleh SBY, "Restorasi Indonesia" oleh Surya Paloh,
"Bersihkan Indonesia Wahai Garudaku" oleh Prabowo Subianto, "Moncong
Putih Melibas Koruptor" oleh Megawati, "Saatnya Melakukan Taubat
Nasional" oleh Anis Matta, "Suara Golkar Suara Rakyat" oleh
Abu Rizal Bakrie, semuanya tinggallah menjadi onggokan sampah politik. Sebab,
sebagian besar kader parpol yang dirilis sejumlah pihak sebagai pemenang
pileg justru melakukan hal yang bertolak belakang dengan jargon-jargon
politik dari petinggi partainya. Paradoksnya karena sebagai caleg, mereka
semua telah menandatangani pakta integritas yang pada intinya melarang mereka
terlibat segala apa pun yang berbau korupsi dan kecurangan.
Determinasi
pilihan pada caleg dan parpol dalam pileg pada masa Orde Lama dan Orde Baru
masih berpegang pada ideologi sekalipun ada intimidasi. Namun, determinasi
pilihan dalam pileg di kekinian, konstituen hanya mengerti satu bahasa, yaitu
"angpaopolitik". Soal ideologi, integritas, dan kapasitas caleg
sama sekali tak laku dalam strategi marketingpileg.
Seandainya
ada caleg yang baru saja melakukan kejahatan keji di depan umum atau
menyatakan dirinya sebagai ateis maka ia tetap dipilih asal mampu memberi
angpaopolitik. Ancaman Rasulullah SAW bahwa
pemberi dan penerima sogok sama-sama penghuni neraka, cenderung diabaikan
kalau bukan dikafiri asal terpilih dalam pileg. Semua ini terjadi sebab rasa
malu yang diajarkan dalam agama maupun etika bangsa, sudah luluh lantak oleh
ambisi duniawi. Kemuliaan sistem politik
dan demokrasi yang kita anut selama ini benar-benar telah roboh dan
terdistorsi gaya hidup jahiliyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar