Selasa, 06 Mei 2014

Demokrasi Jahiliyah

Demokrasi Jahiliyah

Saharuddin Daming  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Mantan Komisioner Komnas HAM
REPUBLIKA,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Salah satu pilar penting demokrasi tidak lain adalah pemilihan umum sebagai sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam memilih penyelenggara negara di lingkup eksekutif (tanfidziyah) dan legislatif (asyariyah). Namun, pemilihan umum anggota legislatif (pileg) yang kita gelar 9 April lalu bukan saja meninggalkan tumpukan artefak politik yang penuh noda dan dosa sebagai karakter utama peradaban jahiliyah, tetapi pileg tersebut juga menyeret sistem demokrasi Indonesia ke lembah prahara.

Sejumlah caleg bahkan parpol terli- bat konflik secara sporadis sehingga hasil Pileg 2014 terancam batal atau dilakukan pileg ulang. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat pemilih kita dalam pileg terserang endemik penyakit suap politik. Entah kapan dan siapa yang pertama kali mengajari masyarakat menjadi pengemis musiman dan pecandu angpapolitik.

Tragisnya, hampir semua pemilih tak malu menjadi golput (golongan penunggu uang tunai). Sehingga, tak akan memilih caleg yang enggan ber-money politics meski ia adalah keluarga dekatnya. Tak pelak lagi, caleg yang kebetulan memiliki deposit energi yang melimpah tapi rendah kadar integritas dan kapasitas sangat diuntungkan dengan kondisi demikian. Mereka rela bahkan berani berkorban apa saja demi memenangkan pertarungan meski harus menodai kesucian demokrasi.

Tradisi kehidupan jahiliyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan merupakan hal yang legal, bahkan menjadi strategi favorit dalam pileg. Tidak salah jika sejumlah pengamat menyimpulkan bahwa pesta demokrasi 2014 merupakan pileg terkotor sepanjang sejarah. Perjuangan merebut kursi legislator di kekinian sangat tidak sehat. Selain membutuhkan biaya yang sangat mahal, juga harus melintasi gugusan permainan kotor yang sangat parah.

Tak hanya dituntut untuk sikut para kompetitor antarpartai, sejumlah caleg juga melakukan kanibalisasi dengan memakan potensi caleg separtainya sebagai korban pencurian dan penggelembungan suara. Mereka tak segan lagi melakukan manipulasi, perampasan suara, hingga money politics tanpa peduli jika hal tersebut merupakan hal yang terlarang sebagai calon pejabat negara.

Sebagaimana halnya masyarakat jahiliyah, konstituen kita di kekinian, juga merasa sangat bangga dan senang dengan kesalahan dan dosa-dosa. Semua aturan yang tidak memihak pada keuntungan materi akan menghadapi pembangkangan massal. Masyarakat pemilih benar-benar telah terhipnotis menjadi pecandu angpao politik.

Beberapa daerah di Sulsel misalnya angpaopolitik dalam bentuk uang, sembako, dan sejenisnya dikenal dengan sebutan "bom". Di sinilah terjadi anomali karena jika suatu wilayah akan dijadikan sebagai objek serangan "bom" dalam dunia militer, warga pasti akan menolak atau mengungsi. Namun, serangan \"bom\" dalam pileg justru disambut gembira.

Tak heran jika hampir semua tempat pelaksanaan pileg terlihat secara vulgar aksi pengeboman besar-besaran. Tindakan yang menodai kesucian kenduri demokrasi tersebut berlangsung pada masa kampanye hingga masa tenang dan pada hari pencoblosan. Hebohnya lagi karena hal itu justru berlangsung secara terang-terangan di beberapa TPS yang disaksikan oleh para penyelenggara pileg sendiri tanpa tindakan apa pun karena dianggap sebagai hal yang sudah lumrah.

Ini benar-benar ironi karena reformasi yang kita capai melalui tetesan darah para mahasiswa pascatumbangnya orde baru rupanya gagal mewujudkan sis tem politik yang bersih dan bebas KKN. Penyelenggaraan pileg sebagai ajang seleksi legislator andal dan berintegritas justru berubah menjadi pasar murah yang mentransaksikan kepentingan jangka pendek dan aneka kecurangan lainnya. Bagaimana mungkin negeri ini bisa bebas dari KKN jika legislator yang terpilih dalam pileg sebagian besar dicapai dari hasil kecurangan.

Sejumlah pihak menilai hal itu sebagai konsekuensi dari penerapan demokrasi pada masyarakat miskin dan nonrasional. Anggapan ini tak sepenuhnya benar sebab dalam realitas politik, praktik pecandu angpaodemokrasi, tak hanya diburu oleh kaum udik dan miskin, tetapi kaum rasional dan berpunya pun ternyata juga doyan angpaopolitik. Anehnya karena sejumlah caleg dan konstituen yang berlatar belakang intelektual, profesional, dan agama justru menjadi aktor utama dalam praktik kecurangan itu.

Semua petuah luhur yang diserukan petinggi parpol seperti "Ganyang Korupsi" oleh SBY, "Restorasi Indonesia" oleh Surya Paloh, "Bersihkan Indonesia Wahai Garudaku" oleh Prabowo Subianto, "Moncong Putih Melibas Koruptor" oleh Megawati, "Saatnya Melakukan Taubat Nasional" oleh Anis Matta, "Suara Golkar Suara Rakyat" oleh Abu Rizal Bakrie, semuanya tinggallah menjadi onggokan sampah politik. Sebab, sebagian besar kader parpol yang dirilis sejumlah pihak sebagai pemenang pileg justru melakukan hal yang bertolak belakang dengan jargon-jargon politik dari petinggi partainya. Paradoksnya karena sebagai caleg, mereka semua telah menandatangani pakta integritas yang pada intinya melarang mereka terlibat segala apa pun yang berbau korupsi dan kecurangan.

Determinasi pilihan pada caleg dan parpol dalam pileg pada masa Orde Lama dan Orde Baru masih berpegang pada ideologi sekalipun ada intimidasi. Namun, determinasi pilihan dalam pileg di kekinian, konstituen hanya mengerti satu bahasa, yaitu "angpaopolitik". Soal ideologi, integritas, dan kapasitas caleg sama sekali tak laku dalam strategi marketingpileg.

Seandainya ada caleg yang baru saja melakukan kejahatan keji di depan umum atau menyatakan dirinya sebagai ateis maka ia tetap dipilih asal mampu memberi angpaopolitik. Ancaman Rasulullah SAW bahwa pemberi dan penerima sogok sama-sama penghuni neraka, cenderung diabaikan kalau bukan dikafiri asal terpilih dalam pileg. Semua ini terjadi sebab rasa malu yang diajarkan dalam agama maupun etika bangsa, sudah luluh lantak oleh ambisi duniawi. Kemuliaan sistem politik dan demokrasi yang kita anut selama ini benar-benar telah roboh dan terdistorsi gaya hidup jahiliyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar