Blusukan
Jokowi dan Kemandirian Pangan
Kadir ;
Bekerja
di Badan Pusat Statistik
|
TEMPO.CO,
03 Mei 2014
Kalau
kita perhatikan iklan politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di
layar kaca menjelang pemilihan legislatif beberapa waktu lalu, pesannya
sangat jelas: negeri ini harus berdaulat dalam soal pangan. Artinya, kita
harus mandiri dengan mengandalkan pangan yang dihasilkan petani kita sendiri.
Komitmen
PDIP itu tampaknya bukan hanya sebatas iklan politik. Saat blusukan ke Bogor
beberapa waktu lalu (27 April), calon presiden yang diusung PDIP, Joko Widodo
(Jokowi), mengobral janji bakal membebaskan negeri ini secara gradual dari
impor pangan dalam empat atau lima tahun mendatang, bila terpilih sebagai
presiden (Tempo.co, 28 April 2014).
Untuk
mewujudkannya, Jokowi menyampaikan sejumlah solusi teknis, seperti
meningkatkan produktivitas melalui penggunaan pupuk dan varietas unggul,
perbaikan jaringan irigasi, pengendalian laju konversi lahan sawah ke
penggunaan non-pertanian, dan revitalisasi mesin-mesin yang ada di pabrik
gula. Inti dari semua ini adalah menggenjot kapasitas produksi.
Boleh
dibilang, semua yang disampaikan Jokowi ini cenderung normatif dan klise.
Pasalnya, rezim berkuasa saat ini juga berjanji bakal melakukan hal yang
kurang-lebih sama ketika berbicara soal kemandirian dan kedaulatan pangan,
dulu, sebelum berkuasa. Tapi hasilnya hanya isapan jempol.
Tren
perkembangan impor pangan negeri ini memang semakin merisaukan. Hal itu
tecermin, antara lain, dari defisit perdagangan pangan yang kian menganga.
Pada 2011, defisit sudah menembus US$ 6,439 miliar. Artinya, negeri ini lebih
banyak mengimpor pangan ketimbang mengekspor.
Impor
pangan yang kian melambung memberi konfirmasi bahwa selama ini pemerintah
tidak mampu meningkatkan produksi pangan nasional secara berarti. Padahal,
pada saat yang sama, permintaan terhadap pangan terus meningkat dengan laju
rata-rata 5 persen per tahun. Hal itu merupakan konsekuensi dari peningkatan
daya beli masyarakat dan pertumbuhan kelas menengah.
Sebetulnya,
persoalan impor pangan bukan hanya melulu soal bagaimana meningkatkan
kapasitas produksi, tapi juga soal komitmen dan keseriusan. Pasalnya,
mewujudkan kemandirian pangan bukanlah pekerjaan mudah, melainkan butuh kerja
keras. Sebaliknya, impor pangan lebih menggoda, dan tentu saja menggiurkan.
Impor
adalah solusi paling mudah dan murah untuk menstabilkan harga pangan. Meski,
jalan pintas ini sejatinya bakal mematikan petani dan merusak sektor
pertanian kita. Impor pangan juga sangat kental dengan perburuan rente
ekonomi. Secara faktual, impor menjanjikan margin yang sangat besar karena
selisih harga yang cukup jomplang. Kedelai, misalnya, diimpor dengan harga Rp
5.600 per kilogram. Tapi ketika dijual di dalam negeri, harganya bisa
mencapai Rp 9.000 per kilogram.
Celakanya, perburuan rente ini acap kali bukan hanya melibatkan
pengusaha (importir), tapi juga partai politik, bahkan pejabat pemerintah,
seperti yang terjadi pada kasus impor sapi beberapa waktu lalu. Karena itu,
untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan, ketegasan, keseriusan,
dan kesungguhan pemerintah mutlak diperlukan. Hal itu harus ditunjukkan,
melalui political will yang kuat,
oleh Jokowi atau siapa pun yang bakal memimpin negeri ini dalam lima tahun
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar