Kamis, 18 Oktober 2012

Memotong Reproduksi Kekerasan Mahasiswa

Memotong Reproduksi Kekerasan Mahasiswa
Kacung Marijan ;  Guru Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud
KOMPAS, 17 Oktober 2012
 

Belum senyap perbincangan mengenai perkelahian antarsiswa di Jakarta, kita kembali melihat perkelahian menggunakan instrumen kekerasan oleh mahasiswa di Makassar.

Dua mahasiswa tewas. Yang mengerikan, keduanya justru tewas di rumah sakit saat mengunjungi kawan-kawannya yang sedang dirawat karena terluka.
Kekerasan yang melibatkan mahasiswa memang cukup unik di Makassar. Selain frekuensi cukup tinggi, pola kekerasannya pun berbeda dengan apa yang terjadi di banyak daerah lain.

Di banyak tempat, kekerasan biasanya terjadi antara mahasiswa dan aparat keamanan, misalnya saat mahasiswa sedang berdemonstrasi menentang ketidakadilan. Di Makassar, tidak hanya demikian. Kekerasan acap terjadi antarmahasiswa di dalam satu perguruan tinggi. Yang menyedihkan, kekerasan seperti ini terkesan direproduksi dan tidak ada pemotongan rantai informasi sehingga terus berulang.

Dari 1992 sampai 2011, paling tidak terdapat 69 kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa di Makassar. Dari jumlah ini, 41 persen terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), 28 persen di Universitas Hasanuddin (Unhas), 9 persen di Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan 21 persen di kampus-kampus lain.

Pemicu terjadinya kekerasan sebagian besar tidak berkaitan dengan gerakan ideologis sebagaimana terjadi di banyak gerakan mahasiswa, misalnya menentang kebijakan tertentu yang mereka anggap tidak memihak kepada rakyat. Sebagian besar, 29 persen, dipicu oleh permasalahan antarfakultas/program studi disusul oleh permasalahan pribadi (23 persen). Kekerasan akibat kebijakan hanya 9 persen.

Reproduksi

Baik yang terjadi di UNM maupun Unhas, dua kampus yang sering menjadi tempat terjadinya kekerasan, terdapat pola yang sama. Kedua kampus itu selalu melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan fakultas nonteknik. Di UNM, lebih banyak melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan fakultas bahasa dan seni, sedangkan di Unhas lebih banyak melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.

Kekerasan yang memola ini tidak lepas dari adanya reproduksi yang belum terputus. Para mahasiswa baru memperoleh ”sosialisasi” dari para senior, bahkan alumni, tentang siapa yang menjadi ”musuh”. ”Sosialisasi” semacam ini biasanya terjadi saat penerimaan mahasiswa baru.

Pemahaman tentang ”musuh” kolektif ini acapkali menjadi minyak pada konflik-konflik yang sebetulnya sangat kecil. Misalnya, ada mahasiswa dari fakultas teknik yang sedang berselisih dengan mahasiswa fakultas bahasa dan seni untuk masalah yang sangat personal dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan kolektif. Namun, tawuran terjadi begitu mahasiswa yang bertikai itu membawanya ke wilayah kolektif.

Memotong

Pertikaian semacam itu memang tidak masuk akal, tetapi inilah realitas yang terjadi. Para petinggi kampus juga tak kurang-kurang berupaya mengatasi masalah yang sangat memalukan itu. Di UNM pernah dibuat ”Tembok Berlin” yang memisahkan fakultas teknik dengan fakultas bahasa dan seni. Namun, upaya ini tidak cukup efektif. Unhas bahkan memindahkan fakultas teknik ke daerah lain.

Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini memang perlu diapresiasi. Namun, upaya yang lebih sistematis dan terintegrasi harus terus-menerus dilakukan. Upaya ”memisahkan” kelompok mahasiswa yang berkonflik, misalnya, pada akhirnya hanya bersifat temporer karena mereka masih bisa bertemu di ruang lain yang lebih terbuka.

Ujung dari semua upaya yang dilakukan adalah bagaimana memotong reproduksi kekerasan yang melibatkan mahasiswa sehingga tidak akan terulang di kemudian hari. Semua pemangku kepentingan, mulai dari mahasiswa, alumni, dosen, komunitas lain yang terakhir, harus sama-sama memiliki kesadaran bahwa konflik kolektif itu harus menjadi catatan hitam dan catatannya harus ditutup. Semua pihak harus menyadari bahwa kekerasan semacam itu tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga akan merugikan diri sendiri, korps mahasiswa, dan institusi.

Pandangan Negatif

Seorang kawan dari Makassar dalam suatu kesempatan bercerita tentang branding mahasiswa yang jelek di mata masyarakat. Suatu hari seorang tukang becak mendapati dua kawannya sedang bertikai dan hendak berkelahi. Tukang becak itu berkata kepada temannya, ”Kalian bertengkar kayak mahasiswa saja!”

Memang, memangkas reproduksi kekerasan semacam itu tidak mudah dilakukan. Selain berkaitan dengan kegiatan dan organisasi mahasiswa, pemangkasan itu juga tidak lepas dari kurikulum yang kita ajarkan.

Untuk kurikulum, misalnya, perlu kita pikirkan untuk merumuskan ulang nilai-nilai keberagaman, toleransi (terhadap perbedaan identitas dan keilmuan), dan resolusi konflik serta perdamaian di dalam mata kuliah pengembangan kepribadian dengan melibatkan universitas dan fakultas. Kurikulum semacam ini diharapkan bisa menjadi pembunuh semangat kolektif yang tidak masuk akal selama ini.

Melihat realitas bahwa pertikaian antarmahasiswa di Makassar sering melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan fakultas nonteknik, perlu dipikirkan penataan organisasi fakultas teknik.

Di dua universitas itu, fakultas teknik bercorak tunggal, melibatkan program studi dan mahasiswa yang cukup besar. Ke depan perlu dipikirkan upaya memecah fakultas teknik ke dalam dua atau lebih fakultas. Dengan demikian, kesadaran kolektif yang berlebihan di fakultas yang bercorak macho tersebut bisa diredam dan tawuran pun dihentikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar