Kian Tertib,
Sucikan Haji dan Pungli
Nadjib Hamid ; Sekretaris
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim dari Tanah Suci
|
JAWA
POS, 24 Oktober 2012
HAJI
kali ini merupakan pengalaman kedua saya, setelah pada 1998 berangkat sebagai
petugas kloter lima puluh dua. Nuansanya kini berbeda sama sekali, baik
ketika di perjalanan maupun di Tanah Suci. Kini jamaah jauh lebih tertib dan
rapi. Jamaah haji sekarang secara keseluruhan memang jauh lebih dewasa
dibanding dulu. Setidaknya saya mencatat tiga hal yang berbeda.
Pertama, kini tidak ditemukan lagi jamaah yang membawa rokok berlebihan seperti dulu hingga lebih dari 20 slop. Kalaupun ada, paling hanya dua slop. Pak Jamali, misalnya. Jamaah dari Tulangan, Sidoarjo, yang semula perokok berat, itu membawa dua slop. Tapi, setelah seminggu di Madinah dia bisa hidup tanpa rokok, tobat. Di depan istrinya, dia menyatakan tidak akan meng-"hisap" lagi. Ini bukti bahwa untuk berhenti merokok tidaklah sulit, asalkan ada kemauan. Kedua, soal pembagian kamar di pemondokan. Pengaturannya relatif gampang, tidak memerlukan waktu lama. Mereka sudah tahu cara menyiasati untuk bisa kembali sekamar dengan keluarga atau regunya. Dulu, masalah ini bisa berlangsung berjam-jam, lantaran takut dipisah dengan keluarga. Ketiga, di pesawat. Tidak ditemukan lagi penumpang yang berebut tempat duduk di depan, tapi langsung mencari kursi sesuai nomor masing-masing. Padahal dulu, mereka baru mau pindah setelah dibujuk pramugrari bahwa yang di depan tidak turun di Makkah. Kecuali soal penggunaan toilet. Karena memang sebagian besar berusia lanjut, dan kurang familier dengan teknologi modern, tidak heran jika toilet menjadi masalah bagi mereka. Beberapa orang, misalnya, terlihat gelisah. "Perut saya sakit, mau kencing tidak berani masuk toilet," ujar seorang ibu saat minta diantar dan ditunggui di depan toilet. Ada pula yang nekat kencing di lantai toilet. Mestinya tata cara bertoilet di pesawat dan di pemondokan perlu disampaikan saat bimbingan manasik. Ini karena air kencing dan kotoran bisa mengganggu keabsahan ibadah. Hal ini jauh lebih penting daripada mengajari jamaah tentang kiat bisa membawa pulang air zam-zam lebih banyak, dengan cara dibungkus sajadah, yang rawan pecah di pesawat, dan akan mengganggu keselamatan bersama. Selama di Madinah (5-13 Oktober), saya menyaksikan antusiasme luar biasa orang salat berjamaah di Masjid Nabawi, terutama pada Jumat. Sampai-sampai di toilet pun penuh jamaah karena tidak kebagian tempat. Antusiasme yang lain klasik, yakni berbelanja. Semangat jamaah kita boleh dibilang setara dengan hasrat mereka untuk bisa berdoa di Raudlah (tempat mustajabah yang terletak di antara mimbar dan bilik Rasulullah). Setiap saat mereka rela berdesakan untuk berburu oleh-oleh, membeli segala rupa barang, yang sebenarnya mudah didapat di kampung halaman. Sabtu pagi (13 Oktober) kami menuju Makkah. Tiba di pemondokan pukul 16.30 waktu setempat. Setelah berbagi kamar dan menempatkan barang bawaan, para jamaah pun tidak sabar lagi ingin segera ke Masjidilharam menunaikan tawaf dan sai umrah. Sekitar pukul 20.00 mereka berangÂkat dan baru rampung selepas pukul 24.00, karena jamaahnya memÂbeludak. Bahkan, pada Jumat berikutnya, semua jalan di terowongan disesaki jamaah. Sementara saya, baru bisa mengerjakan kedua amalan tersebut menjelang duhur, menunggu kondisi kesehatan ayahanda memungÂkinkan untuk bisa diajak ke masjid. Mungkin ini keadilan Tuhan. Jika malamnya para jamaah perlu waktu sekitar empat jam untuk merampungkan tawaf dan sai, pada siang yang panas itu saya dapat menyelesaikannya dalam tempo kurang dari dua jam. Orang tua membawa berkah. Dengan peralatan kursi roda, saya dibantu istri, bukan hanya dapat membawa ayah kami keliling tujuh kali di dekat Kakbah dengan relatif mudah, tapi juga dinunuti perempuan tua dari Turki yang merasa aman berpegangan kursi roda bersama kami hingga tawaf usai. Sehari kemudian, di pemondokan para jamaah saling mengisahkan perÂjaÂlanan umrahnya dengan beragam ekspresi. Ada yang semringah karena merasa bisa menunaikannya dengan sempurna dan hampir bisa mencium Hajar Aswad. Tapi, ada pula yang sedih, meragukan keabsahan umrahnya, lantaran baju ihram yang dipakai terlepas saat tawaf. Juga ada yang tidak bisa langsung sai karena tidak tahu tempatnya, akibat terpisah dari ketua rombongan. Berbeda dengan ibadah lain, banyak orang yang baru belajar pengetahuan ibadah haji menjelang berangkat. Karena itu, ketika di lapangan muncul persoalan, banyak yang kebingungan. SebeÂnarÂnya di setiap kloter sudah ada petugas untuk memÂbanÂtu mengatasi hal-hal dimaksud, baik dari Kemenag (Kementerian Agama) maupun KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji). Sayangnya, peran mereka belum optimal. Di luar manasik, perlu dibenahi manajemen haji yang belum transparan. Saya sendiri perlu informasi soal biaya mutasi. Ceritanya, keberangkatan kami sekeluarga melibatkan tiga kantor KemeÂnag. Kedua orang tua kami mendaftar di Lamongan. Sementara saya dan istri di Surabaya. Karena kami ikut KBIH Jabal Nur Sidoarjo, kami harus mutasi ke Sidoarjo. Untuk itu, perlu surat pengantar dari dua kantor Kemenag asal. Ketika saya mengurus surat di Kemenag Lamongan, pejabat di sana bilang, "Ada biayanya, Mas! Tolong diurus dengan staf saya." Lalu stafnya memberi tahu Rp 550.000 (lima ratus lima puluh ribu rupiah). "Ada tanda terimanya, Pak?" tanya saya sambil menyerahkan uang. "Tidak ada," jawab dia. Padahal, di Surabaya, ketika saya mengurus surat yang sama, tanpa biaya. Ada keluhan di tempat lain. Misalnya, soal antrean haji, ternyata masih ada jamaah haji titipan yang bisa berangkat tanpa harus antre. Mestinya ibadah mulia ini suci dari ketidaktransparanan seperti ini. Sementara itu, Anis Hambali, mukimin asal Jombang, mempertanyakan soal pemondokan yang dinilainya tidak sesuai dengan harga kontrak. "Mengapa menggunakan jasa makelar dan tidak disentralkan di satu kawasan sehingga standar pelayanannya sama dan pengawasannya mudah?" tanya pria yang sejak 1991 di tinggal di Makkah ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar