Kriminalisasi
Adrianus Meliala ; Kriminolog
FISIP UI;
Komisioner
pada Komisi Kepolisian Nasional
|
KOMPAS,
24 Oktober 2012
Istilah ”kriminalisasi”
akhir-akhir ini begitu populer terkait dengan upaya Polri menangkap penyidik
Polri yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK, yang diwakili
pernyataan komisioner Bambang Widjojanto, berpendapat bahwa urusan hukum yang
bersangkutan sudah selesai. Karena itu, melihat langkah Polri terhadap
Komisaris Novel Baswedan adalah kriminalisasi bagi KPK. Perlu segera dibahas
apakah ”kriminalisasi” sekadar istilah atau sebenarnya suatu terminologi
akademik dengan pengertian ketat.
Pada dasarnya
”kriminalisasi” adalah terminologi akademik tentang upaya negara memperla-
kukan suatu perilaku, yang pada awalnya adalah perilaku bebas, menjadi
perilaku yang dianggap jahat serta menyimpang dan dilanjutkan dengan
pengenaan pidana atasnya.
Alhasil, seseorang yang
tadinya bebas-bebas saja melakukan suatu perbuatan, maka setelah perbuatan
itu dijadikan perbuatan pidana, ia akan memperoleh sanksi pidana jika
melakukannya.
Dengan demikian,
kriminalisasi mengacu pada bentuk perilaku tertentu, bukan orang.
Kriminalisasi juga kewenangan negara, khususnya yang dimiliki lembaga pembuat
hukum, bukan sekadar aparat pelaksana hukum. Memang di sini bisa terjadi de-
bat, apakah sanksi yang terdapat dalam suatu peraturan daerah, misalnya, juga
bisa dianggap sebagai kriminalisasi atau tidak.
Jika negara pada suatu
ketika menganggap tidak perlu lagi melihat suatu perilaku sebagai perilaku
jahat atau perilaku pidana, maka dapat dilakukan dekriminalisasi. Perilaku
itu lalu menjadi perilaku bebas yang dapat dilakukan semua orang tanpa
khawatir memperoleh sanksi.
Hampir mirip dengan
kriminalisasi adalah legalisasi, menun- juk suatu upaya guna menjadikan suatu
perbuatan atau keadaan di- anggap sah secara hukum. Secara prinsip, dengan
demikian, krimi- nalisasi adalah bagian dari lega- lisasi. Jika demikian
penjelasannya, dapat dipastikan bahwa konteks diucapkannya kriminalisasi
dalam berbagai kesempatan akhir-akhir
ini pada dasarnya adalah sekadar istilah populer saja.
Penyangkaan
Menarik memang bahwa
institusi hukum, yang seolah-olah
tak pernah salah, seperti KPK pun menyebut kriminalisasi sebagai suatu
istilah. Seyogianya institusi hukum memelopori penggunaan terminologi
akademik yang tepat dan bukan menggunakannya dalam konteks yang salah.
Konteks yang selama ini
dimengerti secara populer adalah bahwa kriminalisasi itu sama dengan
penyangkaan atau menjadikan seseorang sebagai tersangka. Lebih ekstrem lagi,
dipilihnya kata kriminalisasi dikaitkan dengan persepsi bahwa orang yang
ditersangkakan itu ”dijadikan”, minimal tengah diupayakan untuk dijadikan,
kriminal atau penjahat.
Jadi, wajar apabila
istilah kriminalisasi lebih banyak dimunculkan dalam konteks negatif. Pihak
yang merasa diri benar tetapi dijadikan tersangka oleh kepolisian menyebut
dirinya tengah dikriminalisasikan. Pihak lain yang percaya bahwa tersangka
tak melakukan perbuatan sebagaimana ditersangkakan juga menyebut bahwa telah
terjadi kriminalisasi.
Dengan demikian, di balik
penggunaan istilah itu implisit tersirat suatu tuduhan kepada negara cq
lembaga hukumnya seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK. Lembaga-lembaga
itu dianggap telah bertindak tidak adil, seenaknya saja mengecap seseorang
sebagai penjahat dan memaksakan sanksi hukum terhadapnya.
Penggunaan istilah itu
amat marak pada saat proses peradilan pidana atas suatu kasus baru dimulai.
Ketika seseorang baru saja ditersangkakan, atau baru ditangkap dan diperiksa,
biasanya istilah ini ramai digunakan entah oleh orang awam entah pengaca- ra
sekalipun. Seiring dengan pergerakan kasus, misalnya ketika telah ditangani
kejaksaan atau pengadilan, istilah ”kriminalisasi” umumnya tak terdengar
lagi.
Ketika kasus sudah
bergerak demikian jauh, maka banyak hal sudah terungkap. Salah satu kebenaran
menurut hukum, entah itu formal entah materiil, sudah mulai terbentuk dan
terkuak. Selanjutnya tuduhan bahwa negara memaksakan sangkaan atas orang yang
tidak bersalah lama- lama hilang dengan sendirinya. Tinggal menunggu waktu
saja bahwa tersangka yang awalnya dicurigai dipaksakan oleh negara untuk
”dijadikan” penjahat akan memperoleh label formal ”penjahat”, yang sebenarnya
seiring dengan putusan pengadilan.
Dalam kaitan itu, memang
sudah risiko kepolisian, sebagai filter pertama dari peradilan pidana,
memperoleh label sebagai pelaku kriminalisasi terbanyak. Banyaknya perbuatan
pidana, baik yang masuk kategori umum maupun khusus, yang menjadi ranah
tanggung jawab kepolisian memang menjadikan polisi pabrik ”kriminalisasi” di
mata orang-orang yang akan dijadikan tersangka.
Strategi Kriminalisasi
Selain bisa melakukan
kriminalisasi (sebagai suatu terminologi), maka negara bisa juga melakukan
sebaliknya. Masalahnya, kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa
kriminalisasi terus terjadi seiring dengan pembentukan hukum-hukum khusus dan
hampir tidak pernah ada dekriminalisasi.
Pada setiap UU khusus
selalu terdapat aspek pidana. Pada dasarnya kriminalisasi telah terjadi
terhadap perilaku khusus yang dapat dipidanakan itu. Beberapa penelitian
hukum menengarai kepolisian atau lembaga penegak hukum lain merasa kewalahan
menggunakannya.
Jika seorang atau lebih
hendak ditersangkakan dengan menggunakan dasar hukum yang khusus itu, tentu
perlu dipersiapkan juga perangkat pembuktiannya. Demikian pula administrasi
pemberkasannya: umumnya tidak mudah dan mahal. Sementara itu, untuk mengurusi
perbuatan pidana yang sudah ada saja, kepolisian umumnya masih kekurangan
dana, SDM, dan kemampuan teknologi. Alhasil, timbul situasi idle terkait tak
pernah digunakannya aturan pidana itu terhadap perbuatan yang oleh UU
dinyatakan terlarang dilakukan.
Kemungkinan itulah yang
menjadikan ada orang yang sebe- narnya melakukan perbuatan pidana lalu merasa
diperlakukan tak adil—dan mengumbar istilah kriminalisasi—ketika tiba-tiba
ditersangkakan oleh, misalnya, kepolisian. Tentu sah-sah saja apabila
kepolisian menerapkan suatu pasal pidana yang jarang digunakan kepada siapa
saja. Masalahnya, hal itu dipersepsikan si tersangka sebagai ”ada
apa-apanya”. Timbul pertanyaan, mengapa saya ditersangkakan sementara orang
lain, yang juga melakukan hal serupa, bisa bebas melenggang?
Mengingat telah jelas
bahwa maraknya penggunaan istilah kriminalisasi terkait dengan persepsi
ketidakadilan, menjadi tugas negara dan lembaga penegak hukumnya mengikis
persepsi itu. Strateginya—jika mungkin—ialah mengaktifkan semua ancaman
pidana atas perbuatan yang memang telah dikriminalisasi oleh negara secara
tanpa pandang bulu, konsisten, dan kontinu.
Menyusul kebijakan itu,
akan muncul masalah lain: akan tersedot perhatian, energi, dan anggaran
negara untuk mengurusi kasus yang pasti membeludak, baik sederhana maupun
rumit, dan butuh bermacam penanganan dalam rangka proses hukumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar