Mesjid Cheng
Ho
A Dahana; Guru Besar
Sinologi UI, Pemerhati Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa
|
SINAR
HARAPAN, 23 Oktober 2012
Cheng Ho adalah utusan Dinasti Ming (1368-1644) yang diperintah
Kaisar Zhu Di untuk mengadakan perjalanan ke selatan.
Ia menempuh gelombang dan memimpin armada China sebanyak tujuh
kali selama kurun waktu 1405-1433. Dari ketujuh pelayaran itu paling tidak ia
sebanyak tiga kali singgah di bandar-bandar yang terletak di pantai timur
Sumatera dan sepanjang pesisir utara Jawa.
Bahwasanya Cheng Ho (atau Zheng He dalam istilah bahasa
Mandarin), pernah mengunjungi tempat-tempat di Indonesia tak diragukan lagi
karena berbagai petilasan tempat dia singgah masih terpelihara, ditambah
dengan adanya berbagai sumber tertulis dalam naskah-naskah kuno China.
Apa latar belakang dari tujuh pelayaran Cheng Ho itu? Kita harus
melihatnya dari segi sejarah tradisional hubungan antara kekaisaran China
dengan negara-negara yang ada di sekitar wilayahnya, khususnya dengan Asia
Tenggara.
Jauh sebelum kedatangan kolonialisme Barat, hubungan itu tak
lebih dari relasi upeti (tributarial relationship), artinya negara-negara
kecil yang ada di sekitar China wajib mengakui China sebagai adidaya di
belahan bumi selatan, baik dalam bidang budaya, militer, maupun ekonomi.
Harus dicatat, hubungan itu berbeda jauh dengan kolonialisme
Barat yang karakteristiknya adalah pendudukan militer atau penjajahan.
Dalam relasi upeti, negara-negara kecil itu cukup mengakui
kedigjayaan China dan setiap periode tertentu raja-raja atau utusannya wajib
datang ke ibu kota kekaisaran China untuk membawa upeti dan melakukan
penyembahan kepada kaisar China sebagai seorang “Putra Langit” (tianzi)
sebagai satu-satunya penguasa atas segala sesuatu yang ada di bawah Langit
(tianxia).
Sayangnya pada tahun-tahun terakhir menjelang keruntuhan
pendahulu Dinasti Ming, yakni Dinasti Mongol (1279-1364), hubungan itu
terputus dan negara-negara kecil itu cenderung tak lagi melakukan ritus
penghormatan kepada kaisar China.
Pelayaran Zheng He yang armada perang itu adalah upaya untuk
menunjukkan bahwa di Daratan China telah ada penguasa baru yang akan
mengembalikan posisi sebagai adidaya yang harus disembah. Jadi, pelayaran
Cheng Ho ke Selatan sebagai langkah pamer kekuatan.
Oleh karena itu, sebagian sejarawan Barat menganggap Laksamana
Cheng Ho tak lebih dari seorang agen kolonial yang misinya untuk memulihkan
kejayaan dan supremasi kekaisaran China atas negara-negara kecil sekelilingnya.
Tapi, harus dicatat, sistem relasi upeti yang dipraktikkan
negara di Tengah Dunia (Zhongguo atau Tiongkok) sangat berbeda dengan
kolonialisme Barat yang menjajah dan menempatkan tentara di negara-negara
yang jadi jajahannya.
Yang menarik dari tokoh Cheng Ho adalah ia lahir dalam keluarga
muslim di Provinsi Xinjiang, provinsi yang sebagian besar penduduknya pemeluk
agama Islam. Ia ditawan tentara Ming ketika dinasti itu menaklukkan tanah
kelahirannya dan dimasukkan kembali ke dalam lingkungan China.
Ia kemudian menjadi orang kasim dan mengabdi kepada Kaisar Zhu
Di di istana. Karena kepandaiannya karier Cheng Ho meningkat dengan cepat dan
ketika kaisar berniat mengirimkan armada ke luar negeri, Cheng Ho-lah yang
menjadi pilihan untuk menjadi komandan armada itu.
Keislaman Cheng Ho
Yang juga mendapat perhatian dari para sejarawan adalah
keislaman Cheng Ho. Sebagian sejarawan mengatakan karena ia ditawan dan
dibawa ke istana, ia telah menjadi seorang Buddhis.
Namun, ada sebagian sejarawan yakin ia tetap mempertahankan
agama keluarganya itu dan ketika memimpin misinya ia telah mengunjungi
negara-negara Islam yang pada awal abad ke-15 memang telah hadir di
Indonesia.
Malahan ada yang yakin bahwa Cheng Ho telah turut menyebarkan
agama Islam di Nusantara. Dengan demikian, pengislaman Nusantara tidak
terjadi karena arus Arab dan Arus India (Gujarat) sebagai akibat dari
hubungan dagang, tapi telah hadir pula “Arus China.”
Sayang, catatan lengkap tentang hal-hal yang dilakukan Cheng Ho
selama tiga kali mengunjungi Nusantara tidak lagi ditemukan dalam
kronik-kronik kuno sejarah-sejarah dinasti (Ershiwushi) karena telah
dihancurkan. Posisi Cheng Ho sebagai orang sida-sida (kasim) dipandang rendah
oleh para pejabat istana sehingga namanya tak layak disebut dalam sejarah
resmi Dinasti Ming.
Akan tetapi, sejak dasawarsa 1980-an peran Cheng Ho sebagai duta
muhibah yang turut berjasa mengislamkan Nusantara makin lama makin populer.
Ada dua tokoh masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia yang berperan besar
dalam memopulerkan nama Cheng Ho.
Keduanya adalah H Hembing Wijayakusumah dan almarhum H Max
Mulyadi. Dr Tan Ta Sen dari Singapura juga turut berjasa.
Dengan disertasinya yang diuji di depan senat akademik Fakultas
Ilmu Budaya UI dan dengan menggali berbagai naskah kuno China serta berbagai
penemuan arkeologis bernuansa Islam di berbagai tempat yang pernah disinggahi
Cheng Ho, ia membuktikan tentang peran Cheng Ho dalam Islamisasi Nusantara.
Seiring dengan hal-hal yang disampaikan di atas, nama Cheng Ho
kian populer di sementara umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan umat
Tionghoa Islam.
Salah satu puncak dari penghormatan atas jasa Cheng Ho adalah
pembangunan Masjid Haji Muhammad Cheng Ho di Surabaya pada 1992. Bangunan
Masjid Cheng Ho sangat unik. Arsitekturnya hampir mirip kelenteng, dengan
warna merah menyala. Namun, di atas atapnya yang bersusun tiga terpampang
emblem “Allah”.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam Studi China, penulis
sempat diundang untuk menghadiri hari ulang tahun ke-10 berdirinya masjid itu
pada 14 Oktober lalu.
Pada malam perayaan masjid tersebut hadir ribuan pengunjung
sehingga jumlah kursi yang disediakan di bawah tenda tak mencukupi. Akibatnya
banyak yang terpaksa berdiri. Acara sangat meriah: hiburan musik,
pidato-pidato, tarian, nyanyian, dan ceramah agama.
Hadir dalam kesempatan itu berbagai pejabat daerah baik sipil,
polisi, maupun militer. Tak kurang dari wakil gubernur Jawa Tengah tampil
memberi sambutan. Acara lebih meriah lagi dengan sambutan dua penggagas
berdirinya masjid tersebut yakni H Bambang Sujanto dan H Jos Sutomo.
Acara lebih meriah lagi karena banyolan mirip ludruk yang
dibawakan pembawa acara. H Jos Sutomo berpidato dengan sangat besemangat
dengan menggabungkan tema keislaman dan cinta tanah air. Demikian juga
sambutan Bambang Sujanto.
Yang menarik, kebanyakan tokoh agama yang hadir dan memberikan
sambutan semuanya dari Nahdlatul Ulama. Tak dapat disangkal bahwa itu
bertalian dengan fakta bahwa Jawa Timur adalah basis NU. Orang Tionghoa
Muslim umumnya masih menganut kebebasan menyembah leluhur dan itu tidak
dilarang dalam kepercayaan penganut Islam dan berhimpun di NU. Itu
menunjukkan multikulturalisme dalam beragama.
Pengaruh Masjid Cheng Ho kelihatannya akan makin besar,
berhubung pada acara tersebut ada acara penyerahan plakat kepada para
pengurus dari delapan masjid yang akan dibangun di delapan kota. Dirgahayu
Masjid Cheng Ho! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar