Dicari
Capres yang Bukan “Bukan”
Jannus T.H.Siahaan, MANTAN
WARTAWAN, KINI KONSULTAN KOMUNIKASI,
KANDIDAT DOKTOR SOSIOLOGI DI FISIP
UNIVERSITAS PADJAJARAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 19 Januari 2012
Hingga 2011 berakhir dan 2012 tiba, belum ada
arus besar yang bisa dibuat sebagai pendulum politik, ke mana arus akan
bermuara. Bahkan, partai sebesar Partai Demokrat (PD) tak berani memetakan
kekuatan sendiri.
Situasi ini amat berbeda dengan Pemilu 1998
di mana masing-masing OPP (Organisasi Peserta Pemilu), berani mengusung calon
dan menjualnya secara bebas ke tengah-tengah masyarakat.
Saat itu, seiring berkecambahnya partai
politik baru, muncul pula tokoh-tokoh sebagai ikonnya. Sebutlah Megawati
Soekarnoputri sebagai ikon “wong cilik” melalui PDI-Perjuangan, KH Abdurrahman
Wahid dengan PKB, HM Amien Rais dengan PAN, BJ Habibie melalui Partai Golkar,
atau Partai Keadilan yang lalu bermetamorfosis menjadi PKS terang-terangan
mengajukan nama Nurmahmudi Ismail.
Bahkan partai gurem semacam PARI (Partai
Rakyat Indonesia) tidak canggung menawarkan tokoh internalnya, Agus Miftach,
aktivis flamboyan. Tapi, beberapa ikon kecil berguguran jauh sebelum menjadi
peserta pemilu karena tak lolos verifikasi faktual di KPU.
Euforia politik di awal era reformasi semakin
riuh karena melibatkan emosi rakyat pemilih yang gempita dengan suasana
baru. Namun, setelah satu dekade berlalu, keriuhan berubah menjadi
kejenuhan. Rakyat, pada titik tertentu, mulai antipati terhadap partai
politik karena perilaku para politikus yang cenderung tidak jujur dan korup.
Bahkan, sejakmenjelang berakhirnya era
Megawati hingga senja kala kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
kini, beberapa menteri, puluhan anggota DPR, gubernur, DPRD I, bupati, dan wali
kota, serta anggota DPRD II, menjadi pesakitan di penjara.
Karena situasi inilah maka berbagai
kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu
presiden (pilpres) 2014 benar-benar belum bisa diprediksi ujungnya. Lihatlah
betapa keras badai menghantam biduknya sehingga SBY sebagai ketua Majelis
Tinggi terkesan tak berani mencari tokoh yang sepadan dengan dirinya untuk
diusung PD.
Ia dengan keras pula menepis kemungkinan
memunculkan istrinya, “The First Lady” Ani Yudhoyono. “Dalam kapasitas saya
sebagai ketua Majelis TinggiPartai, setelah berkomunikasi dengan ketua umum
partai, saya ingin sampaikan bahwa saat ini PD belum tentukan Capres 2014,”
ujar SBY saat memberikan pidato di acara “Sarasehan Partai Demokrat” di PRJ
Kemayoran, Jakarta Pusat, di penghujung akhir 2011.
Begitulah “titah” SBY yang pasti menjadi
pegangan kader-kader PD. Jangan harap ada yang berani berbeda apalagi
menentangnya. Kalau istrinya saja tidak, apalagi yang lain. Kini tinggal rakyat
yang menimbang.
Bahkan, jenderal yang paling “jago” berhitung
ini seolah tampak menyerah sehingga mulai menyebut-nyebut nama Tuhan, sesuatu
yang sulit ditemukan dalam kamus SBY. “Untuk jadi presiden, sesungguhnya perlu
dapat dukunganrakyat yang kuat dan berkah Allah SWT,” katanya.
Meskibegitu, kalau masih mungkin memilih, SBY
menginginkan yang muda. Karena tak muda lagi, jelas ia tak menginginkan
istrinya. Bukan Ani Yudhoyono, lalu siapa? Anas Urbaningrum? Hampir
mustahil. Ketua Umum DPP-PD ini kabarnya hanya kuat di inner circle-nya. Di
kalangan senior, ia kabarnya sudah habis. Kekuatan di luar PD setali tiga
uang.
ARB Tak Diinginkan Partai Golkar telah
menegaskan pencapresan Aburizal Bakrie. Tapi itu tak akan mudah. Selain masih
adanya resistensi internal, di mata rakyat ARB—begitu Aburizal minta namanya
disingkat, bukanlah tokoh yang diinginkan.
Dari sisi internal, Jusuf Kalla (JK), mantan
Ketua Umum Partai Golkar dan mantan wapres, jelas tidak mungkin diabaikan.
Kekuatannya melimpah, popularitasnya jelas di atas ARB. JK amat pintar menabung
kekuatan politiknya. Partai Nasdem pun tak akan berat hati menawarkan jasanya.
Nasdem plus sisa-sisa “laskar pajangnya” di Beringin akan sangat berarti bagi
JK.
Jadi, yang diinginkan bukan ARB. Namun, jika
ukurannya usia, JK juga bukan yang diinginkan, tapi ia cerdik. Belakangan
muncul wacana kongsi dua kekuatan: Beringin dan Banteng. Melalui rakernasnya di
Bandung, Banteng tetap istiqamah untuk tak melepas ikonnya, Megawati.
Bahkan suaminya, M Taufiq Kiemas, tak
suka Megawati “mentas” lagi. Di kandang banteng, pengaruh Kiemas tak bisa diabaikan.
Yang jelas, dari beberapa kekuatan internalnya saja, yang diinginkan bukan
Megawati. Lalu siapa? Bagaimana dengan Puan Maharani? Dia jelas anak ideologis
”Banteng” sekaligus anak kandung Megawati.
Tapi aura politik Puan belum sejajar dengan
tokoh-tokoh lain. Kiprahnya belum kelihatan, kecuali di dalam partainya
sendiri. Di DPR, nama Puan berada di bawah bayang-bayang rekan separtai, Ganjar
Pranowo atau Maruarar Sirait, misalnya. Apalagi dengan Pramono Anung yang kepak
sayapnya sudah merentang jauh. Jadi, Puan juga bukan calon yang diinginkan.
Partai Menengah Bingung Beginilah gambaran
sesungguhnya internal di tiga partai terbesar, PD, Partai Golkar, dan PDI
Perjuangan, dua tahun menjelang Pilpres 2014. Di luar ketiganya, masih ada
kelompok menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai
Hanura.
Dalam kancah perpolitikannasional dan peta
pertarungan memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2, mereka tidak berada dalam posisi
determinan. Kehadiran mereka hanya untuk memperkuat fungsi dan posisi yang
sudah dimiliki ketiga partai besar di atas. Kenapa? Karena partai kelas
menengah ini tidak memiliki figur yang benar-benar melebihi kapasitas
partai.
Tidak ada tokoh semacam Gus Dur di PKB atau
Amien Rais di PAN. Muhaimin Iskandar jelas tak sekelas dengan Gus Dur.
Meski begitu, Ketua Umum DPP-PKB itu berdiri berseberangan jalan dengan
pamannya itu, hingga Gus Dur dijemput maut. Begitu pula M Hatta Radjasa. Saat
partai matahari itudilahirkan, dia bukan siapa-siapa.
Hatta ada di bawah bayang-bayang tokoh lain,
semisal Faisal Basri, sekjen pertama PAN. Apalagi dengan Goenawan Mohamad, AM
Fatwa, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim,
Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya. PAN menyodorkan nama Hatta. Seriuskah ?
Bahkan, sebagai mahagurunya, Amien Rais tampak kurang “pede”.
Urusan akan kian berat, karena lumbung PAN,
PP Muhammadiyah, menampik terlibat dalam urusan politik praktis. Bos
Muhammadiyah, Din Syamsuddin, belum-belum sudah berteriak. Yang sejatinya
berani mengusung nama Hatta Radjasa adalah para demonstran.
Mereka membawa gambar Hatta terkaitan kasus
hibah 60 gerbong KA eks Jepang saat masih menjadi Menteri Perhubungan. Jadi,
bukan Hatta yang diinginkan. Lalu siapa? Selain PAN, masih ada PKS. Tapi partai
yang dikenal mempunyai sistem pangkaderan paling militan ini tengah dirundung
masalah. Konflik internalnya sampai mencuat ke ranah publik.
Sekjen PKS HM Anis Matta dipaksa diam oleh
tarik-menariknya kekuasaan. Sikap Anis yang mengendur adalah buah dari
perombakan kabinet pertama KIB II. Sayang sekali PKSterlambat, kalau cerdik,
tentu jatah kursi mereka di KIB IItak akan berkurang.
Kini, jangankan ikut meneriakkan kandidat
presiden, mengurus diri sendiri bukan perkara mudah bagi partai yang lahir
sebagai berkah reformasi itu. Praktis, PKS tidak memiliki tokoh sekuat
HidayatNurwahid, sang mantan presiden. Tifatul Sembiring? Dia kalah kelas,
sementara Didin Hafidhudin sudah lama mengundurkan diri.
Nur Mahmudi kelasnya turun menjadi Wali Kota
Depok, Jawa Barat. Praktis PKS hanya mempunyai Hidayat. Nama-nama lain dari
partai lain tinggal PPP dengan Suryadharma Ali-nya, Partai Gerindra yang masih
setia dengan Prabowo Subianto-nya, dan Partai Hanura yang nyata-nyata sudah
kehilangan gairah.
Bahkan, nama Wiranto, pendiri Hanura, sudah
mulai lamat-lamat terdengar, berdiam di alam bawah sadar dunia politik. Khusus
Hanura, performanya amat bergantung kepada kadernya di DPR, Akbar Faisal.
Belakangan, Faisal yang merasa kesepian agak tenang setelah mentasnya
Syarifuddin Sudding. Tapi Faisal pasti akan bersiap mencari kendaraan baru.
Praktis, tidak ada kandidat yang benar-benar
menarik. Ternyata capres yang dicari bukan Ani, Anas, ARB, JK, Megawati, Puan,
apalagi Hatta dan Prabowo, terlebih Wiranto. Mereka masuk kelompok “Bukan”.
Yang dicari adalah calon yang bukan “Bukan”. Siapa mereka? Mungkinkah Sri
Mulyani Indrawati, Moh Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, Jimly Asshiddiqie?
Entahlah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar