Terorisme
Menyasar Generasi Muda
Suhardi Alius ; Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT)
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Mei 2017
HAMPIR tak ada
lagi sekat yang menghalangi ruang berinteraksi satu dengan yang lain di dunia
ini. Transformasi pola komunikasi dan interaksi sosial sedemikian cepat
seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Bagi Indonesia,
lebih dari separuh penduduknya telah memanfaatkan jaringan internet dalam
aktivitas sehari-hari. Hasil survei Data Statistik Pengguna Internet
Indonesia oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah
pengguna internet di Indonesia pada 2016 adalah 132,7 juta pengguna atau
sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Dari
jumlah itu, pengguna terbanyak adalah generasi muda (usia 17-34 tahun), yaitu
56,7 juta atau 42,8%. Pengguna usia 35-44 tahun sebesar 29,2%, sedangkan
pengguna paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 10%.
Paling banyak pengguna internet menggunakan perangkat mobile (smartphone)
sebesar 63,1 juta atau sekitar 47,6%.
Persentase
yang besar pengguna dari kalangan anak muda mengakses internet merupakan
perkembangan positif sebagai generasi melek digital (digital literate
generation). Generasi masa depan bangsa turut andil mengikuti kecanggihan
teknologi. Namun, ada sisi lain yang menjadi keresahan. Konten-konten
internet ataupun jejaring media sosial tidak sepenuhnya memberikan dampak
positif. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
menyebutkan ada 814.594 situs internet berkategori negatif termasuk konten
radikalisme telah diblokir dari 2010 sampai 2015. Bahkan pada 2016 saja
Kemenkominfo telah memblokir 773 ribu situs. Artinya, jumlah situs yang
diblokir itu hampir mencapai jumlah selama lima tahun sebelumnya. Ada juga
laporan konten negatif terhadap media sosial seperti Facebook, Twitter,
Whatsapp, dan Youtube.
Generasi muda yang rentan
Dua orang dari
para pelaku bom Gereja Oikumene, Samarinda, (19/11/2016) masih berusia
remaja, yakni umur 16 dan 17 tahun. Bahkan peran mereka sebagai pembuat bom.
Secara keseluruhan data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran
program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris yang menghuni
LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun). Fakta tersebut patut mendapat
perhatian kita semua. Kemudahan akses, intensitas tinggi, dan proses
pencarian jati diri di kalangan anak muda menjadi rentan dari pengaruh konten
radikalisme yang hadir dalam internet dan jejaring media sosial. Beberapa
pelaku teroris mendapatkan pengetahuan dan aksinya terinspirasi melalui
internet.
Berbagai
faktor yang memungkinkan generasi muda rentan terjaring radikalisme dan
terorisme melalui jejaring online. Pertama, kemudahan mengakses informasi
dari internet dan jejaring media sosial tidak dibarengi dengan kemampuan
untuk menyaring informasi tersebut. Lewat internet dan media sosial, konten
hoax (berita bohong) lebih masif dan fenomenal saat ini. Itu seakan berlomba
dengan konten hate speech (ujaran kebencian) dalam memenuhi internet dan
jejaring media sosial. Intensitas tinggi tetapi literasi yang lemah di
kalangan anak muda akan menyebabkan mereka mudah terjaring dan terprovokasi
oleh konten yang mereka akses. Kedua, kemahiran kelompok-kelompok teroris
menyusupkan beragam propaganda mampu memikat pengguna internet dan media
sosial. Mereka mampu memanfaatkan media sosial untuk menggalang, merekrut,
memengaruhi, dan mengajak, terutama anak-anak remaja. Banyak anak yang masih
remaja direkrut untuk ikut bergabung dengan kelompok IS yang ada di Suriah.
Bahkan beberapa pelaku teroris melakukan aksi berangkat dari apa yang
didapatkan dari internet.
Ketiga, krisis
figur yang dapat diteladani juga turut memengaruhi kalangan generasi muda.
Media TV ataupun media online hampir tak pernah lepas dari berita yang memuat
figur publik dengan beragam latar belakang profesi terjerat kasus pidana atau
masalah-masalah lainnya. Sangatlah sulit menemukan sosok-sosok pribadi figur
publik yang mampu diteladani. Ketiga faktor tersebut hanya merupakan bagian
dari berbagai faktor lain yang turut memengaruhi generasi muda terjerat ke
dalam radikalisme. Bahkan dunia pendidikan tidak lepas dari pengaruh
tersebut. Awal 2016 yang lalu, kita tercengang oleh temuan buku-buku mengandung
unsur radikalisme yang sudah menjamah pendidikan prasekolah dasar (TK) di
Depok. Begitu pula temuan data seorang siswa kelas 5 SD di Sukabumi sudah
terpapar radikalisme dan terhubung dengan jejaring terorisme di Suriah.
Sebelum itu, Setara Institute pernah mengungkap data pada 2015 bahwa satu
dari 14 siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan IS.
Langkah efektif
Mencermati
perkembangan kekinian, BNPT terus menggalang berbagai elemen bangsa untuk
bersama melawan radikalisme, menggalakkan kontraradikalisasi. BNPT terus
bersinergi dengan lembaga pemerintah lainnya dan berbagai media untuk
menyatukan dan menyamakan persepsi dalam menghadapi ancaman tersebut. Salah
satu upaya BNPT ialah merangkul dan menggandeng generasi muda dalam memerangi
radikalisme di dunia maya. BNPT sudah mengemas dan mengumpulkan sekitar 600
netizen, mulai bloger, desainer komunikasi visual, hingga ahli IT. Langkah
tersebut sebagai bagian dari upaya paripurna BNPT untuk membendung dan
melawan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Meski demikian, langkah BNPT
bersama jaringan FKPT di daerah-daerah memerlukan kesadaran dan gerak bersama
dalam menangkal arus radikalisme yang menyasar generasi muda, antara lain,
pertama, generasi muda aktif dalam kegiatan-kegiatan literasi media, literasi
digital baik yang diadakan BNPT maupun lembaga nonpemerintah. Tujuannya agar
kalangan anak muda dapat memiliki kemampuan yang memadai dalam memilah
berbagai informasi digital dan memerangi konten hoax, radikalisme, dan konten
negatif lainnya. Dengan demikian, kalangan anak muda menjadi agen-agen
pembaru dalam memerangi konten negatif di internet ataupun jejaring media
sosial.
Radikalisme
yang menyasar generasi muda hanya dapat dibendung dengan penolakan dan
perlawanan dari generasi muda pula. Generasi muda kreatif, dengan bahasa dan
preferensi yang sama mampu menggandeng dan merangkul yang lain untuk
terhindar dari radikalisme dan terorisme. Kedua, peranan keluarga sebagai
pelindung anak dari radikalisme. Orangtua harus mengetahui aktivitas anak,
aktif memberikan pendampingan dan pemahaman. Proses pencarian jati diri dalam
usia remaja sangat rentan oleh berbagai pengaruh dari luar. Meskipun mereka
hanya di rumah, jendela dunia sangat terbuka melalui jejaring internet dan
media sosial. Akses informasi ataupun interaksi komunikasi menjadi intens
dengan smartphone tanpa perlu keluar rumah. Sebagai penutup, BNPT
mengingatkan generasi muda untuk tidak menebar konten hate speech karena
konten seperti itu dapat menjadi pemicu dan memupuk bibit kekerasan. BNPT
mengajak seluruh anak muda bersatu padu menghadapi konten radikal yang berisi
kekerasan dan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar