Teknik
Mengelola Kelas yang Damai
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2017
ADA ribuan
buku telah ditulis tentang bagaimana sesungguhnya sebuah proses
belajar-mengajar harus dikelola. Ada jutaan pengalaman di pikiran dan
tindakan jutaan guru yang selalu dibagi kepada setiap siswa dalam proses
belajar sehari-hari. Ada begitu banyak kesadaran yang mulai tumbuh untuk
belajar dari hal-hal yang dianggap salah ketika kita mengajarkan sesuatu
terhadap para siswa.
Pendek kata,
cara belajar dan mengajar memang selalu menarik untuk dikaji dan dilihat,
karena belajar merupakan kesadaran alami yang dimiliki setiap insan yang
diberi akal dan pikiran oleh Yang Maha Berpikir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam tradisi
pendidikan Islam, ada satu kitab yang secara fenomenal menjadi rujukan
sepanjang zaman tentang tatacara belajar dan menuntut ilmu, yaitu kitab
Ta'lim Al-Muta'allim yang jika diterjemahkan secara literal dapat berarti
'penuntut ilmu tentang cara belajar'. Hampir
semua pesantren salafi di Indonesia mengajarkan kitab ini kepada para
santrinya, namun elaborasi terhadap kitab ini dalam ranah pendidikan modern
masih jarang dilakukan.
Karena itu,
ketika semua orang gemar dan senang mengutip tentang teknik pengelolaan
kelas, teknik belajar-mengajar secara efektif dan menyenangkan, serta
mempelajari beragam strategi pembelajaran, namun ada satu landasan teologis
dalam belajar yang kurang diperhatikan dalam proses belajar mengajar, yaitu
soal niat.
Enam prinsip
Syeik
Al-Zarnuji pengarang kitab Ta'lim Al-Muta'allim kerap menyebut fenomena
kegagalan siswa dan guru dalam proses belajar-mengajar karena ketiadaan
motivasi yang konsisten. Konsistensi
niat dalam belajar merupakan landasan utama terjadinya proses
belajar-mengajar yang efektif dan menyenangkan.
Kesadaran ini
perlu diulang dan diperbaharui setiap saat agar niat belajar menjadi sandaran
untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Sama seperti
ibadah salat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, niat harus
selalu dikelola dalam bentang kesadaran manusia yang cenderung berubah setiap
saat.
Dalam
pendidikan modern, sebenarnya elaborasi soal niat banyak disamakan dengan
teori motivasi, tetapi lebih kepada aspek psikologis tinimbang teologis. Perlu
ada cara menanamkan kesadaran tentang pentingnya niat belajar dalam proses
belajar-memgajar secara berulang-ulang, sama seperti niat salat yang selalu
dilakukan 5 kali sehari.
Dalam praktik
sederhana, guru harus memiliki teknik dan cara untuk memotivasi siswa setiap
saat dan berusaha mengingatkan para siswa mereka tentang konsekuensi salah
niat dalam belajar yang dapat menyebabkan kegagalan. Niat sangat berkaitan
erat dengan sikap. Jika sikap merupakan target pertama proses pendidikan
kita, melibatkan siswa sebanyak mungkin dalam mendesain kebutuhan kurikulum
berbasis standar pengetahuan dan keingintahuan siswa ialah tuntutan yang
tidak bisa dihindari setiap guru.
Susan M Drake
dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards Through Integrated Curriculum
(2004) menyebutnya sebagai "Students as standards-based curriculum
designers".
Belajar dari
pengalaman Sekolah Sukma Bangsa, secara konseptual proses pengembangan
kemampuan guru paling tidak didasarkan pada sedikitnya enam prinsip.
Pertama,
manajemen sekolah harus senantiasa berusaha menumbuhkan kesadaran dan minat
di kalangan guru untuk terus-menerus belajar agar mereka dapat merespons
tuntutan (standar) profesionalitas dan dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan yang berjalan secara dinamis.
Kedua, proses
pembelajaran merupakan kunci utama untuk meraih hasil pendidikan yang
optimal.
Oleh sebab
itu, penting bagi setiap sekolah untuk memberikan prioritas pada proses
belajar mengajar yang bermutu.
Penguasaan
tentang bidang studi yang diajarkan (kompetensi) dan keragaman pendekatan
pembelajaran, termasuk metode, merupakan bagian yang menyatu dalam setiap
upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional guru.
Ketiga,
interaksi antara guru dan murid di dalam proses pembelajaran merupakan bagian
yang menentukan pembelajaran yang efektif.
Keberhasilan
murid dalam memahami atau menguasai apa yang disampaikan guru dalam
pembelajaran (konsep atau bahan ajar) tidak dapat dipisahkan dari kemampuan
guru dalam mengomunikasikannya.
Untuk itu,
diperlukan kemampuan atau keterampilan guru berkomunikasi secara efektif
dalam menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu.
Keempat, murid
sebagai subjek dari pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dicirikan atau
mensyaratkan adanya peran serta aktif dari murid dalam pembelajaran. Kemampuan
guru untuk mendorong para murid aktif dalam proses pembelajaran menjadi
faktor penting dalam menciptakan pembelajaran yang bermutu. Untuk itu
diperlukan kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan
pendekatan-pendekatan partisipatif (active learning).
Kelima,
kreativitas guru dalam mengupayakan pembelajaran yang efektif dan
mengembangkan pendekatan partisipatif merupakan sumber utama dalam
mengembangkan inovasi di sekolah. Upaya-upaya kreatif guru dalam
menyelenggarakan pembelajaran merupakan bahan belajar bersama untuk
melahirkan inovasi pendidikan di lingkungan Sekolah, dan dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber belajar bagi guru-guru di sekolah lain. Oleh sebab
itu, pengembangan profesionalitas guru juga diarahkan untuk
menumbuhkembangkan kemampuan meneliti pembelajaran yang hasilnya sebagai
bahan bagi pengembangan pembelajaran (kreativitas atau inovasi).
Keenam,
dukungan atau peran serta masyarakat dan empati terhadap lingkungan
sosiokultural, termasuk kepentingan masyarakat setempat yang terkait dunia
persekolahan, merupakan faktor penting untuk menciptakan kesinambungan dari
program peningkatan profesionalitas guru.
Untuk itu,
pemberdayaan terhadap forum sekolah dan masyarakat (komite sekolah), sebagai
wadah peran serta masyarakat bagi peningkatan mutu sekolah-sekolah setempat,
merupakan bagian yang juga penting.
Cara
memotivasi
Selain keenam
prinsip di atas, mengelola kelas yang damai juga memerlukan pendekatan yang
kreatif dalam setiap prosesnya. Dennis Sale, dalam buku Creative Teaching: An
Evidence-Based Approach (2015), secara sederhana memberikan contoh menarik
bagaimana cara memotivasi siswa dalam proses belajar-mengajar yang damai.
Pendekatan
yang dilakukan dalam mengelaborasi persoalan motivasi dirangkai secara apik
dalam skema SHAPE, sebuah pendekatan yang dimulai dari (S)tories, (H)umor,
(A)ctivities, (P)resentation Style, dan (E)xample.
Mengelola
kelas yang damai bagi guru harus dimulai dari sebuah cerita. Melakukan
pengalaman bercerita ini di awal setiap materi yang akan diberikan, karena
cerita secara psikologis merupakan cara efektif untuk membangun ingatan dan
motivasi anak untuk belajar.
Telling the
stories harus menjadi kesadaran kreatif guru pada setiap kali proses
belajar-mengajar dimulai.
Jangan lupa,
dalam setiap cerita, sisipkan humor-humor tertentu yang dapat melibatkan
kesadaran psikologis siswa untuk berbagi keceriaan.
Guru yang
kreatif harus tidak kehilangan akal untuk menyisipkan sense of humor dalam
proses belajar mengajarnya.
Kelas yang
damai juga membutuhkan serangkaian aktivitas kelas yang melibatkan seluruh
siswa dalam membangun makna dari setiap konsep dan teori ilmu yang sedang
diajarkan. Aktivitas dimaksud bisa jadi dalam bentuk kerja kelompok, bermain
peran, atau peer based learning activities yang memasangkan siswa dengan
siswa lain secara bergantian untuk merangkai makna dari konsep atau teori
yang sedang diajarkan.
Harus diingat,
bahwa seberapa banyak aktivitas yang akan melibatkan siswa, itu sangat
tergantung dari cara guru mempersiapkan bahan ajar dalam sebuah langkah
presentasi materi yang sistematis dengan gaya bahasa dan bahasa tubuh yang
juga dinamis dan efektif. Perlu latihan bertahun-tahun dalam mengembangkan
kemampuan presentasi yang efektif, sebelum pada akhirnya seorang guru juga
harus menyiapkan begitu banyak contoh nyata dari materi, konsep, dan teori
yang diajarkannya. Selamat mencoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar