Surat
John Locke
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 07 Mei 2017
Epistola de
Tolerantia. Karya John Locke (1632-1704), salah seorang filsuf dan teoretikus
politik yang sangat kondang dari Inggris abad ke-17 itu, diterjemahkan oleh
William Popple menjadi A Letter Concerning Toleration. Secara bebas surat
yang ditulis mulai 1685 dan selesai pada 1689 setebal 45 halaman itu bisa
diterjemahkan sebagai "Sepucuk Surat tentang Toleransi".
Surat tersebut
dikirimkan kepada rekannya, seorang Belanda, Philip von Limborch, ketika ia
hidup di pengasingan di Republik Belanda. Republik Belanda, atau lengkapnya
Republik Belanda Bersatu atau Dutch Republiek der Verenigde Nederlanden
(1588-1795), didirikan sebagai negara sekuler yang toleran terhadap perbedaan
agama. Dalam suratnya itu, Locke menekankan pentingnya sikap toleransi dalam
kehidupan sosial.
Situasi sosial
kala itu, abad ke-17, kiranya melatari penulisan surat tersebut. Locke
menulis surat itu untuk melawan persekusi, penganiayaan agama yang terjadi di
seluruh Eropa. Kondisi tersebut sebagai dampak dari reformasi abad ke-16 yang
telah memecah Eropa menjadi kubu Katolik dan Protestan yang saling bersaing.
Tidak hanya bersaing dalam kata-kata, tetapi bahkan terlibat dalam perang
saudara dan pemberontakan. Karena itu, Locke memberi judul suratnya,
"Toleransi".
(Kata "toleransi" berasal dari
kata dalam bahasa Latin, tolerare, yang berarti 'membawa, memegang, memangku,
menanggung, menjabarkan, menahan, membetahkan, membiarkan'; tolerare juga
berarti 'memelihara dengan susah payah, mempertahankan supaya hidup,
menghidupi, mempertahankan hidupnya': Kamus Latin-Indonesia oleh K Prent c.m,
J Adisubrata, dan WJS Poerwadarminta, 1969).
Pada 1685,
ketika surat itu mulai ditulis, Raja Perancis Louis XIV baru saja menarik
kembali Édit De Nantes (Dekrit Nantes). Dekrit Nantes tersebut dipromulgasi
(diumumkan secara resmi belaku) pada 30 April 1598 oleh Henry IV, Raja
Perancis. Dekrit itu memberikan toleransi kepada kaum Huguenot (Protestan)
untuk menjalankan agama mereka. Keluarnya dekrit tersebut menandai awal
koeksistensi damai, hidup berdampingan secara damai agama yang ada di
Perancis.
Selain itu,
dekrit tersebut juga melarang penghambatan dan kekerasan terhadap institusi
Katolik dan memerintahkan pengembalian semua gereja dan seluruh barang, harta
kekayaan Gereja Katolik yang diambil kelompok lain. Yang penting adalah
dekrit ini mengakhiri Perang Agama (1562-1598) antara Protestan dan Katolik
di Perancis.
Dekrit Nantes
mengakhiri perang 36 tahun, yang pecah sejak 1 Maret 1562. Sejak saat itu,
pecah delapan kali perang agama di Perancis: perang pertama 1562-1563, perang
kedua 1567-1568, perang ketiga 1568-1570, perang keempat 1572-1573, perang
kelima 1574-1576, perang keenam 1576-1577, perang ketujuh 1579-1580, dan
perang kedelapan, 1585-1598.
Akibat dari
penarikan kembali Dekrit Nantes, terjadilah konflik agama lagi di Perancis.
Orang-orang Katolik menyiksa orang-orang Huguenot dan memaksa mereka
meninggalkan Perancis. Kondisi seperti itulah yang telah mendorong Locke
menulis surat dan dikirimkan kepada sahabatnya, Philip von Limborch. Surat
Locke antara lain berbunyi, "Perlunya ada perbedaan jelas yang ditarik
antara agama dan masyarakat warga (civil society), untuk mencegah adanya kontroversi
yang kemungkinan muncul karena perbatasan yang tidak jelas."
Dengan bahasa
lain, Locke menyarankan agar ada pembedaan antara urusan agama dan urusan
sosial-politik. Itu berarti ia menyarankan agar jangan dicampuradukkan antara
urusan agama dan urusan politik. Urusan yang berdimensi agama, janganlah
dimasukkan ke dalam perkara yang berdimensi politik. Banyak tersedia contoh
pada masa lalu atau pada masa kini, pencampuradukan antara urusan agama dan
politik telah menimbulkan ketidakharmonisan masyarakat; tidak hanya
ketidakharmonisan, tetapi bahkan peperangan.
Akan tetapi,
manusia seperti tidak pernah belajar akan pengalaman sejarah. Oleh karena
yang kerap terjadi, di masa kini, bahkan menggunakan agama untuk kepentingan
politik. Agama dijadikan sebagai "tangga" untuk naik ke kursi
kekuasaan politik. Kalau agama atau sekurang-kurangnya perkara yang
berdimensi agama ditanggungkan pada ranah politik, yang terjadi rusaknya
toleransi antaragama. Samuel Huntington mengatakan, agama-agama besar dunia
memiliki banyak nilai kunci dan merekomendasikan, apa yang disebut
"aturan kebersamaan', bahwa orang-orang harus mencari dan berupaya untuk
mengembangkan nilai-nilai itu sehingga dapat hidup bersama dengan
peradaban-peradaban lain (Keith Ward: 2009).
Akan tetapi,
karena dicampuradukannya urusan politik dan agama atau urusan yang berdimensi
politik dan yang berdimensi agama, "aturan kebersamaan" itu
diterjang begitu saja. Maka, yang namanya tenunan toleransi yang begitu indah
itu pun sobek-sobek. Tidak ada lagi keindahan. Ibarat kata, pelangi indah
karena merupakan perpaduan banyak warna. Akankah pelangi itu indah kalau
hanya satu warna? Ia indah karena banyak warna berpadu menjadi satu, tidak
hanya berpadu menjadi satu, tetapi bahkan tidak ada satu warna pun yang berusaha
lebih dominan, mengalahkan yang lain. Itulah kebinekaan. Itulah
keanekaragaman yang begitu indah.
Pada saat itu,
ketika tenunan toleransi itu robek-robek, wajah agama yang semestinya sejuk,
menenteramkan, memberikan kedamaian, memberikan harapan hidup, tempat
berlindung, banyak senyum, pun berubah menjadi panas, garang, menakutkan, dan
menebarkan ketidaktenteraman serta kematian. Tengoklah yang terjadi,
misalnya, di Nigeria, Suriah, Irak, Pakistan, Afganistan, dan Myanmar, juga
Indonesia.
Padahal, mengutip
pendapat Hans Küng, "Tidak ada perdamaian antarbangsa jika tidak ada
perdamaian antaragama." Lebih dari tiga abad silam, peringatan itu sudah
disampaikan oleh John Locke dalam bahasa yang lain, tetapi maknanya sama,
lewat suratnya: Epistola de Tolerantia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar