Pendidikan
dan Subkultur Nirkekerasan
Bagong Suyanto ; Dosen Departemen Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Mei 2017
PENDIDIKAN
sesungguhnya bukan hanya menjadi eskalator untuk bekal melakukan mobilitas
vertikal. Selama menempuh pendidikan, siswa selain diajak belajar memahami
ilmu pengetahuan untuk bekal meningkatkan taraf kesejahteraannya di masa
depan, mereka seyogianya juga disosialisasi tentang budi pekerti, tata krama,
dan keadaban untuk bekal menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan
sosial. Di sekolah, para siswa idealnya dididik tentang bagaimana membangun
kerja sama, bersikap toleran, dan mengembangkan kohesi sosial yang kuat
dengan sesamanya. Namun, alih-alih mau mengembangkan sikap solider dan
membangun jejaring yang solid, dalam kenyataan tidak sedikit siswa justru
yang bersikap soliter, dibiasakan untuk saling berkompetisi dalam berbagai
hal, hingga tak jarang pula siswa yang tumbuh dengan sikap dan perilaku yang
akrab dengan kekerasan.
Di berbagai
sekolah, selama ini sudah bukan rahasia lagi kasus-kasus perundungan masih
mewarnai lingkungan sosial di kalangan siswa. Tindak kekerasan selama masa
perploncoan, meski sudah berkali-kali dinyatakan dilarang hingga kini masih
tetap terjadi di berbagai sekolah. Kasus pembunuhan siswa SMA Taruna
Nusantara yang belum lama ini terjadi, cerita tentang tawuran antarpelajar
yang masih kerap terjadi di Ibu Kota, dan lain-lain ialah sejumlah contoh
kejadian yang memperlihatkan bahwa ada yang keliru dengan proses pendidikan
yang kita kembangkan. Kenapa kasus-kasus tindak kekerasan masih mewarnai
kehidupan siswa di Tanah Air?
Faktor penyebab
Melalui
pendidikan budi pekerti, PPKN dan lain sebagainya, di sekolah selama ini
sebetulnya sudah sering diajarkan bagaimana siswa harus mau saling menyapa
dan bersikap toleran terhadap teman-temannya. Namun, ketika siswa sejak awal
tidak dikonstruksi untuk hidup saling solider, dan bahkan di sana berkembang
subkultur kekerasan yang dilestarikan dari angkatan ke angkatan berikutnya, jangan
kaget jika dari waktu ke waktu kita selalu membaca berita terjadinya tindak
kekerasan dilakukan para siswa kepada siswa yang lain.
Apa sebetulnya
yang mendorong dan menyebabkan siswa-siswa tertentu sulit mengendalikan
emosinya dan cenderung bertindak agresif hingga tega menganiaya, dan bahkan
membunuh sesama siswa yang lain? Kenapa siswa yang sehari-hari di lingkungan
sekolah dididik untuk selalu menghormati dan mengasihi sesama, bersikap
disiplin, taat beribadah, dan mematuhi nasihat orang tua dan guru, tiba-tiba
lepas kendali serta tega menganiaya temannya sendiri? Secara garis besar, ada
tiga faktor yang terbukti menjadi penyebab mengapa siswa bertindak agresif
dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Pertama, karena mereka hidup dalam
lingkungan lembaga pendidikan yang menjadi habitat bagi tumbuhnya subkultur
kekerasan yang kemudian diwariskan dari angkatan satu ke angkatan berikutnya.
Seperti dikatakan Kevin Howells (1996), bahwa kemarahan dan perilaku agresi
sering kali terjadi karena dipicu pengaruh lingkungan sosial, tempat pelaku
tinggal. Seorang siswa yang di tahun sebelumnya memperoleh perlakuan
semena-mena dari para seniornya, bukan tidak mungkin dalam pikirannya tumbuh
dendam kesumat yang kemudian disalurkan ke teman-temannya. Hanya karena
dipicu persoalan sepele, jangan kaget jika seorang siswa yang memang memiliki
sifat agresif kemudian tega menganiaya dan membunuh temannya.
Kedua,
berkaitan dengan
Ketiga, karena
adanya keinginan untuk melakukan aksi balas dendam, terutama ketika siswa
yang menjadi pelaku tindak kekerasan sebelumnya pernah menjadi korban ulah
jahil teman atau para seniornya ketika dulu masuk sekolah pertama kali. Di
sejumlah sekolah, sudah bukan rahasia lagi bahwa mata rantai terjadinya
kekerasan dan pewarisan kultur kekerasan masih sulit diputus. Kekerasan yang
dibungkus dengan ritual inisiasi atau perploncoan kepada siswa baru masih
kerap terjadi, baik terang-terangan maupun secara terselubung sehingga di
sekolah kedinasan biasanya ada sejumlah siswa yang memendam dendam
tersembunyi yang kemudian diekspresikan ke sesama siswa lain.
Nirkekerasan
Di lingkungan
sekolah mana pun, seorang siswa yang sering mengalami kegagalan, dihinakan
dalam kelompoknya, acap diperlakukan tidak adil, dan hak miliknya sering kali
dirampas atau dipalak sesama temannya, di satu sisi mungkin akan membuat ia
tersisih dan inferior. Namun, pada titik tertentu bukan tidak mungkin
memunculkan resistensi atau sikap perlawanan yang membuat siswa seperti ini
cenderung rawan terpancing amarahnya. Di balik ketidakberdayaan seorang
siswa, tetapi kalau terus-menerus merasa teraniaya, suatu saat bukan tidak
mungkin akan eksplosif melawan.
Erich Fromm
dalam bukunya yang terkenal The Anatomy of Human Destructiveness (1973),
membedakan apa yang disebut agresi lunak dan agresi jahat. Agresi lunak
adalah desakan untuk melawan atau melarikan diri ketika kelangsungan
kehidupan hayatinya terancam. Agresi lunak defensif ini bagi manusia biasanya
dimaksudkan untuk mempertahankan hidup spesies atau individu, bersifat
adaptif biologis, dan hanya muncul jika memang ada ancaman. Sementara itu,
yang disebut agresi jahat, umumnya tidak memiliki tujuan dan muncul hanya
karena dorongan nafsu belaka. Agresi jahat yang berkembang di kepala manusia,
termasuk di kalangan siswa dapat dikurangi bila di sana tercipta lingkungan
yang menguntungkan dan memfasilitasi perkembangan daya kreasi siswa.
Eksploitasi
dan manipulasi yang dibiarkan tumbuh cenderung akan menimbulkan kejenuhan dan
ketidakberdayaan, keduanya mengerdilkan manusia, dan semua faktor yang
mengerdilkan manusia niscaya akan menjadikannya sebagai orang yang sadis dan
destruktif. Pada titik ini seyogianya disadari bahwa tugas sekolah bukanlah
hanya pada upaya mempersiapkan materi pembelajaran yang berkualitas dan fokus
hanya menciptakan lulusan yang andal, melainkan di sana juga dibutuhkan
pendidikan moral yang memuliakan nirkekerasan. Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar