Pemimpin
yang Mendidik
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan, Jawa Tengah
|
KOMPAS, 04 Mei 2017
Hidup itu
bukan sekadar kisah. Ia bisa menjadi pengajaran bagi kehidupan ketika
dijalani dengan keteguhan merawat jiwa. Tokoh-tokoh besar adalah mereka yang
terbukti teguh merawat jiwanya. Hatta, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga
Gus Dur adalah contohnya. Meski dilingkupi kehidupan yang tidak beradab,
tidak berkeadilan, penuh keculasan dan kelicikan, mereka tidak terhanyut dan
menggadaikan jiwanya.
Karena jiwa
itu abadi, keteguhan merawat jiwa menjadikan hidup mereka sebuah peziarahan,
pesan, dan pewahyuan hingga hari ini. Barangkali itulah sebabnya mengapa jiwa
mereka serasa tetap hadir segar dalam keseharian kita hingga hari ini.
Menolak dilukai
Gandhi
bertutur, "Nobody can hurt me without my permission." Gandhi
mengalami banyak perlakuan tidak adil serta kekerasan. Perlakuan semacam itu
berpotensi melukai hidupnya. Namun, Gandhi terbukti tidak terpancing untuk
berkubang dengan geram dalam kehidupan yang melukai. Ia tidak melakukan
pembalasan.
Hal yang sama
dialami Nelson Mandela. Ia mengalami kekejian dan perlakuan tidak berkeadilan
atas nama ras. Ia dipenjara selama 27 tahun. Akan tetapi, semua kehidupan
yang menyakitkan itu tidak juga merobohkan kemuliaan jiwanya. Ia
memperjuangkan hidup dalam kasih yang berkeadilan.
Mandela
bertutur, "No one is born hating another person because of the colour of
his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and
if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more
naturally to the human heart than its opposite." Begitulah Mandela
merawat jiwanya. Jiwa adalah anugerah yang karakter naturalnya adalah
mencintai kehidupan. Ras, warna kulit, bahkan agama adalah yang duniawi.
Mandela telah melampaui yang duniawi meski masih bergulat dengan keduniawian.
Hatta juga
teguh merawat jiwanya. Ia tak menggadaikan jiwanya dengan yang materi duniawi
di kala kehidupannya dijepit kemiskinan, meski ia bisa memanipulasi kehidupan
dengan ketokohannya. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur merawat jiwanya
dengan teguh meski ia diperlakukan dengan licik dan amat hina oleh lawan
politiknya. Perlakuan itu jelas amat menyakitkan. Setidaknya itu dirasakan
istrinya. Gus Dur justru berjuang merajut rekonsiliasi, kebersamaan, dan
kesatuan negeri ini sampai akhir hayatnya.
Begitulah para
pemimpin memberi pengajaran tentang merawat jiwa. Jiwa adalah anugerah dari
Sang Pencipta. Jiwa lahir dari-Nya. Hidup yang merawat jiwa adalah sebentuk
hidup yang memperjuangkan kehadiran Sang Pencipta dalam keseharian.
Pemimpin yang mendidik
Kita bersyukur
hari ini masih kita temukan jejak-jejak pemimpin yang peduli merawat jiwa.
Salah satunya tercecap dari ungkapan Djarot Saiful Hidayat saat memberi
pernyataan pers menanggapi kemenangan Anies-Sandi. Ia bertutur, "Tentu
saja di dalam hidup ini yang perlu kita terus pupuk dan kembangkan adalah
ketenangan jiwa. Jiwa yang tenang akan mampu menghilangkan seluruh dendam,
seluruh amarah, nafsu angkara murka. Dan, ketenangan jiwa ini dibutuhkan
untuk benar-benar bagaimana dalam proses demokrasi ini semua pihak harus
meningkatkan ketenangan jiwa masing-masing."
"Kita
berharap, dengan jiwa yang tenang, kita akan semakin fokus untuk melaksanakan
dan melayani warga Jakarta dengan sebaik-baiknya. Ketenangan jiwa juga harus
mampu meningkatkan, menguatkan batin kita masing-masing, sehingga di dalam
batin yang kuat itulah kita bisa memisahkan mana yang benar dan mana yang
salah. Kita bisa memilah-milah mana yang hak dan mana yang batil."
Sikap dan ungkapan
Djarot ini pantas kita syukuri. Kita sama-sama tahu betapa ia mengalami
banyak perlakuan yang menyakitkan. Pernyataan ini diungkapkan dalam ketulusan
dan dengan wajah ikhlas-ceria, meski lima hari sebelumnya ia diusir dengan
nista dari sebuah masjid selepas shalat Jumat. Djarot seperti menegaskan
kebenaran ungkapan Gandhi di atas. Serentak ia mengajak menghidupi pesan
Mandela.
Jakarta
beberapa waktu yang lalu memberi begitu banyak pelajaran bagi bangsa ini.
Syahwat berkuasa yang dipilin kecemasan, curiga, serta kebencian mengarus dan
menderas. Syukurlah, dari begitu banyaknya orang yang keli (terhanyut)
jiwanya dalam arus itu, ada banyak juga yang tetap teguh merawat jiwa dan
martabatnya. Keteguhan merawat jiwa membuat mereka ngeli nanging ora keli
(hanyut, tetapi tidak terhanyut).
Pemimpin yang
mendidik adalah mereka yang tidak sudi menggadaikan jiwanya meski digulung
derasnya arus kehidupan yang tidak beradab. Kita butuh pemimpin yang teguh
berjerih payah merawat jiwanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar