Papua
dan Jokowi
Ansel Deri ; Staf
Ahli Anggota DPR
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Mei 2017
PAPUA, kita tahu, salah satu provinsi di RI yang selalu
mendapat perhatian (lebih) setiap presiden sejak rezim Pak Harto tanggal.
Mulai BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi. Namun, pertanyaan
retoris segera lahir. Mengapa provinsi paling timur matahari terbit itu masih
menyimpan seribu satu wajah ketertinggalan di tengah gelimang SDA yang
merupakan salah satu penyokong pemasukan ekonomi nasional melalui salah
satunya perusahaan tambang raksasa, Freeport Indonesia, dari perut
Nemangkawi? Mengapa pula provinsi yang berhadapan muka dengan negara
tetangga, Papua Nugini itu, kerap diterpa aksi kriminalitas atau sipil
bersenjata yang segera dikait-kaitkan dengan kelompok OPM?
Pertanyaan retoris di atas menjadi relevan, termasuk semua
pihak (stakeholder) dan elite politik tak hanya di tingkat nasional, tapi
juga lokal. Mengapa? Bila mau jujur, Papua sudah memantik perhatian
pemerintahan Presiden Jokowi. Setahu saya, selama memimpin Presiden Jokowi
memiliki perhatian besar terhadap Papua. Sentra perhatian itu boleh jadi
dilatari dua alasan. Pertama, Papua masih jauh tertinggal dalam pawai dan
dinamika pembangunan jika dibandingkan dengan provinsi lain. Kedua,
gelontoran dana bersumber dari APBN ke Papua setiap tahun nilainya mencapai
triliunan rupiah. Namun, jumlah itu belum berimbang dengan kemajuan daerah
dan masyarakat.
Menyapa Papua
Pada Selasa (9/5) lalu, pemerintah dan masyarakat Papua
kembali dibuat senang. Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana bersama sejumlah
menteri dan Panglima TNI menyambangi Papua. Kadatangan Presiden kali ini
dalam rangkaian kunjungan Lintas Nusantara sejak Sabtu (6/5) yang dimulai
dari Aceh. Perhatian pemerintah pusat terhadap Papua tak sekadar berbagai
kunjungan guna menginspirasi masyarakat agar--meminjam slogan yang kerap
didengung-dengungkan--kerja, kerja, kerja. Namun, itu sekaligus memastikan
bahwa triliunan anggaran yang digelontorkan ke tanah Papua saban tahun harus
tepat sasaran dan berdaya guna memajukan masyarakat dan daerah itu lebih
sejahtera, aman, dan damai.
Dalam RAPBN 2016, misalnya, anggaran bagi Papua melalui
alokasi dana otonomi khusus (otsus) sekitar Rp5,4 triliun. Papua Barat
mendapat sekitar Rp2,3 triliun. Jumlah itu masih digabung dengan dana
tambahan infrastruktur dalam rangka otsus Papua dan Papua Barat sekitar Rp3,3
triliun. Jumlah dana tambahan infrastruktur itu dibagi masing-masing untuk
Papua sekitar Rp2,2 triliun dan Papua Barat sekitar Rp1,1 triliun.
Tak hanya itu. Dalam RAPBN 2016, pemerintah juga
mengalokasikan dana desa Rp46,9 triliun yang dialokasikan 90% secara merata
kepada setiap desa dan sisanya 10% berdasarkan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa. Gubernur
Lukas Enembe di Kantor Gubernur Papua (15/12/2016) menjelaskan alokasi dana
APBN 2017 untuk daerahnya meningkat sebesar Rp56,85 triliun. Jumlah itu
terdiri dari DIPA kementerian/lembaga atau satker Rp13,68 triliun dan DIPA
transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp43,17 triliun. Meski demikian,
anggaran puluhan triliun itu tak seluruhnya dikelola Pemerintah Provinsi
Papua, tetapi bagian dari kementerian/lembaga dan satker sebesar Rp13,68
triliun. Sisanya Rp43,17 triliun itu juga bagian dari APBD kabupaten/kota
serta dana desa sehingga jumlahnya mencapai Rp43,17 triliun.
Wajah paradox
Meski merupakan provinsi dengan alokasi anggaran jumbo dan
perhatian ekstra setiap berganti presiden, Papua masih menyimpan segudang
persoalan. Butuh kesediaan dan kemauan kuat pemerintah, baik pusat maupun
daerah, bersama masyarakat dan semua pemangku kepentingan agar serius
seia-sekata memajukan masyarakat dan daerahnya dengan sumber dana dan sumber
daya yang dimiliki, bergerak lebih maju. Wajah Papua hingga kini masih
terlihat paradoks.
Cypri JP Dale dan John Djonga dalam Paradoks Papua (2011)
melukiskan Papua tanah yang penuh paradoks, ironi, dan kontradiksi.
Eksploitasi kekayaan alamnya telah menghasilkan keuntungan tak terhitung bagi
perusahaan-perusahaan nasional dan transnasional serta memberi kontribusi
luar biasa bagi pembangunan negara. Akan tetapi, tidak sedikit rakyatnya
masih hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Secara umum ada tiga dimensi
kegagalan negara di Papua. Pertama, terkait dengan tujuan negara untuk
menciptakan keadilan sosial sebagaimana terumus dalam Pancasila dan UUD 45. Mayoritas
orang asli Papua--terutama yang tinggal di pedalaman--tidak mendapatkan
keadilan dalam bentuk pelayanan pemerintahan, pelayanan publik (terutama
pendidikan dan kesehatan), pembangunan ekonomi, serta alokasi dana yang
setara dengan warga negara non-Papua di Papua. Sebaliknya tanah dan kekayaan
alam mereka diambil secara masif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar