Mencermati
Separuh Perjalanan Jokowi
Sebagai
Presiden RI
Jun Suzuki ; Staf
Penulis di Nikkei Asian Review; Artikel ini merupakan hasil penulisan ulang
dari artikel berbahasa Inggris berjudul 'Widodo's Support Erodes as Economy
Sags, Infrastructure Projects Stall' yang dipublikasikan pada 27 April 2017
|
REPUBLIKA, 02 Mei 2017
Tanpa terasa, Joko Widodo telah menuntaskan separuh dari lima
tahun masa kepemimpinannya sebagai presiden Republik Indonesia pada April
lalu. Jika ditinjau dari salah satu aspek, Jokowi, sapaan akrabnya, telah
berhasil memenuhi salah satu janjinya, yaitu menurunkan tingkat kesenjangan
ekonomi domestik.
Namun, rencana pembangunan infrastruktur senilai Rp 5.000
triliun atau sekitar 375 miliar dolar AS masih jauh panggang dari api.
Penyebabnya klasik, yaitu kekurangan dana. Tak dapat dimungkiri,
infrastruktur yang buruk telah menjadi hambatan ekonomi Indonesia. Kemampuan
Jokowi untuk memuntaskan permasalahan tersebut di sisa masa kepresidenannya
akan memengaruhi peluangnya untuk kembali menjadi presiden pada periode
2019-2024.
21 April 2017. Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence dan
Wakil Presiden Indonesia menghadiri penandatanganan kesepakatan bisnis antara
perusahaan kedua negara senilai lebih dari 10 miliar dolar AS. Kesepakatan
tersebut antara lain Exxon Mobil menjual gas alam cair ke Pertamina, Lockheed
Martin meningkatkan kapasitas F-16 milik TNI Angkatan Udara, dan General
Electric mengembangkan infrastruktur listrik Tanah Air.
"Perusahaan AS menghadapi banyak hambatan dan kesulitan di
pasar Indonesia, termasuk kekayaan intelektual, kurangnya transparansi, dan
persyaratan di bidang manufaktur untuk memasukkan konten lokal agar dapat
menjual produk di Indonesia," ujar Pence menurut sejumlah media lokal.
Namun, Pence menyampaikan apresiasi atas upaya Presiden Jokowi mereformasi
iklim bisnis. Pence dan Widodo pun telah sepakat dalam pertemuan mereka
sehari sebelumnya untuk memperkuat kerja sama bilateral Indonesia dan AS.
Perusahaan asing, tak terkecuali dari AS, sangat ingin berbisnis
di Indonesia. Ini tidak mengherankan mengingat Indonesia sangat menjanjikan
baik sebagai basis produksi maupun pasar konsumen dengan jumlah penduduk
diperkirakan mencapai 260 juta orang. Investasi di sektor manufaktur dan jasa
tetap kuat. Sektor teknologi informasi, termasuk e-commerce, juga menarik
investasi. "Pasar otomotif Indonesia akan terus berkembang," ujar
Warih Andang Tjahjono yang menjadi direktur utama PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, April lalu.
Sejumlah kebijakan
Untuk mendorong investasi asing, Presiden Jokowi membuat
sejumlah kebijakan di sektor perhotelan, logistik, maupun sektor-sektor
lainnya. Pada saat yang sama, dia meluncurkan kebijakan yang terlihat
mengistimewakan perusahaan domestik di sektor sumber daya.
Salah satunya pada Januari lalu melalui Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Dalam beleid yang menjadi turunan UU Minerba disebutkan
apabila perusahaan asing ingin terus mengekspor bijih nikel dan bauksit dari
Indonesia, mereka harus melaksanakan divestasi saham. Salah satu perusahaan
asing, Freeport-McMoRan melalui anak usaha mereka PT Freeport Indonesia,
sangat menentang kebijakan tersebut.
"(PT Freeport Indonesia) menyampaikan harapan yang tulus agar
perselisihan ini dapat diselesaikan," ujar CEO Freeport Richard Adkerson
dalam pernyataan resminya.
Terlepas dari keinginan perusahaan asing berinvestasi di
Indonesia, kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak jelas jadi
faktor pembatas. Ketika mantan gubernur DKI Jakarta ini menjadi presiden pada
Oktober 2014, dia berjanji untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi
menjadi di atas 7,0 persen. Akan tetapi, saat ini, ekonomi hanya tumbuh di
kisaran 5,0 persen.
Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dibandingkan negara-negara emerging market lainnya. Akan tetapi, perlambatan
permintaan untuk real estat, perhiasan mewah, hingga barang-barang bernilai
tinggi, telah menyeret perekonomian. Investasi asing langsung belum banyak
meningkat selama beberapa tahun terakhir dan kemungkinan salah satu
penyebabnya adalah iklim usaha yang tidak memuaskan di negara ini.
Situasi ini telah menyebabkan penundaan proyek infrastruktu dan
berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional yang diluncurkan pada 2015 menyatakan perbaikan infrastruktur
merupakan salah satu prioritas utama yang harus diselesaikan pada 2019.
Terdapat 19 kategori infrastruktur, termasuk pembangkit listrik, pasokan air
dan saluran air limbah, jalan, jalan bebas hambatan, pelabuhan, bandara, dan
jaringan broadband.
Namun, kekurangan penerimaan pajak telah menggagalkan pemerintah
untuk membelanjakan lebih banyak pada sektor publik. Sementara berbagai
batasan menghalangi masuknya perusahaan dari sektor swasta dan asing. UU
Keuangan Negara pun menyatakan batas defisit anggaran negara tidak boleh
melebihi 3,0 persen. Hal tersebut pada satu sisi memberikan kepastian
terhadap disiplin fiskal dan stabilisasi rupiah. Kelemahannya adalah
pemerintah menjadi tidak bisa leluasa mengalokasikan anggaran dan mencegah
lebih banyak investasi di sektor infrastruktur.
Salah satu masalah serius perihal infrastruktur yang mengemuka
adalah proyek kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung senilai 5
miliar dolar AS. Proyek itu adalah hasil patungan antara
perusahaan-perusahaan negara Cina dan Indonesia via skema public private
partnership. Perusahaan patungan itu seharusnya mendapatkan pembiayaan dari
bank-bank Cina. Namun, pembangunan tersebut belum menunjukkan kemajuan selama
lebih dari satu tahun sejak dimulai Januari 2016 dengan alasan dana belum
cair. Pemerintah juga berencana membangun pembangkit listrik melalui proyek
35 ribu MW. Akan tetapi diperkirakan pada 2019 hanya sekitar 19 ribu MW yang
dituntaskan.
Reformasi fiskal
Di sisi lain, pemerintah telah memulai reformasi fiskal dan
menerapkan langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak demi
pembiayaan infrastruktur. Langkah yang paling drastis tentu saja pada Januari
2015 ketika subsidi bahan bakar minyak dicabut. Sebagai langkah untuk
meningkatkan penerimaan pajak, program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
dimulai Juli 2016. Tujuannya untuk mendorong orang-orang kaya untuk mengakui
aset mereka yang selama ini belum diumumkan.
Awalnya pemerintah berharap sekitar Rp 1.000 triliun dana bakal
direpatriasi. Namun, realisasinya hanya Rp 147 triliun saat program ditutup
Maret 2017. Penerimaan pajak reguler juga belum meningkat sebanyak yang
diharapkan para pemangku kepentingan.
Terkait isu kesenjangan ekonomi antara Jakarta dan daerah
perdesaan, pemerintah juga telah mengupayakan berbagai cara. Patut diingat bahwa
penduduk perdesaan adalah salah satu basis pendukung Presiden Jokowi. Ia
telah melakukan berbagai program untuk pembangan di perdesaan.
Pada pertengahan Maret 2017, Presiden menghadiri upacara
peresmian pembangkit listrik di Mempawah, Kalimantan, sekitar 750 km dari
Jakart. "Daerah ini tidak akan lagi menderita pemadaman listrik,"
ujarnya. Presiden Jokowi menghabiskan sepertiga dari tiga bulan pertama di
tahun ini di luar ibu kota. "Pemerintahan ini memiliki strategi untuk
mendengar masalah dari pemerintah daerah dan menyelesaikannya sesegera
mungkin," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Berdasarkan data BPS, tingkat kesenjangan menurun dari kisaran
0,410 menjadi 0,394 pada masa Presiden Jokowi. Keinginannya untuk
mempersempit kesenjangan pendapatan merupakan salah satu alasan di balik
fokus pada pembangunan infrastruktur. Maka tak heran jika keterlambatan pada
proyek-proyek infrastruktur berpotensi mengganggu jelang pemilihan presiden
2019.
Saat ini, tingkat kepercayaan penduduk terhadap Presiden
mencapai 70 persen. Maka skenario Jokowi untuk menjadi presiden lagi
mengemuka. Akan tetapi, hasil Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, berpotensi
menghadirkan permasalahan.
Rekan Presiden Jokowi pada Pilgub DKI Jakarta 2012, Basuki
Tjahaja Purnama, harus takluk atas Anies Baswedan, yang didukung oleh Prabowo
Subianto. Prabowo dikalahkan Jokowi pada Pilpres 2014. Beberapa anggota
Partai Golkar tampak mendukung Anies meskipun secara institusi partai
berlambang beringin itu mendukung Basuki.
Hasil Pilgub DKI Jakarta diyakini bakal memberi momentum kepada
Prabowo untuk mencalonkan diri kepada presiden pada pemilihan selanjutnya.
Sementara pada sisi lain, koalisi yang dipimpin PDI Perjuangan (partai
pendukung utama Presiden Jokowi), bukanlah mayoritas di DPR. Koalisi ini
menerima Golkar, yang merupakan oposisi terbesar pada Mei 2016, demi
mendongkrak suara di parlemen menjadi sekitar 70 persen. Namun, hasil Pilgub
DKI Jakarta jelas memperlihatkan kerapuhan anggota koalisi.
Baru-baru ini, IMF menempatkan Indonesia sebagai satu dari 10
negara teratas di dunia berdasarkan paritas daya beli. Negara ini memiliki
potensi untuk menjadi pusat kekuatan ekonomi Asia menandingi Cina, Jepang,
dan India. Namun, sejarah kolonialisasi negara-negara barat telah membuat masyarakat
Indonesia mewaspadai modal asing. Banyak politikus yang lebih suka melindungi
bisnis domestik untuk menarik investasi asing dan opini publik sangat
mendukung hal tersebut.
Memperbaiki iklim investasi bukan sesuatu yang mudah. Presiden
perlu memanfaatkan dana dan pengetahuan perusahaan asing, menempatkan ekonomi
pada jalur pertumbuhan yang tinggi, dan memimpin Indonesia menjadi negara
dengan demokrasi stabil. Ini adalah tugas-tugas yang sulit bagi sang presiden
di sisa masa jabatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar