Masih
soal Otonomi PTN Badan Hukum
Yonvitner ; Dosen IPB, Tim Sekretariat
bersama PTNBH
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Mei 2017
PERGURUAN
tinggi negeri badan hukum (PTNBH) lahir untuk mendorong semangat menjadi
bangsa dengan pendidikan yang maju, berdaya saing di level dunia, serta membumi
bagi bangsa sendiri. Karena hal itu, kita memandang perlu loncatan sistem
pendidikan yang lebih berkualitas. Governance perguruan tinggi (PT) bisa
dirunut dari PP No 4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan PT bahwa PT terdiri atas PTN, PTNBH, dan PTS. Semangat PP ini
merefleksikan, PT yang matang ialah yang memiliki governance memadai dari
manajemen akademik dan nonakademik. Sebagian besar statuta PTNBH menjelaskan
otonomi akademik dan nonakademik yang diberikan dalam pengelolaan PTN dengan
tetap berkoordinasi pada kementerian pembina, dalam hal ini Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Namun, ketiadaan skenario
kelembagaan serta lembaga yang juga matang dalam membina menyebabkan PT badan
hukum berjalan seperti tanpa panduan jelas dalam belantara tata kelola.
Tata kelola
PTNBH gamang dengan tarikan dari berbagai kementerian dan lembaga.
Pengelolaan pendidikan tinggi jelas berkaitan erat dengan Kemenristek dan
Dikti. Pengembangan SDM dan karier berkaitan erat dengan Kemenpan-Reformasi
Birokasi. Pengelolaan aset dan keuangan berkaitan Kementerian Keuangan. Belum
lagi mekanisme tata kelola berkaitan dengan pertanggungjawaban terkait dengan
pemeriksaan keuangan negara dengan BPK. Di tengah kondisi itu, PTNBH dituntut
berprestasi dari akademik, bersaing dalam riset, dan kompetitif dalam SDM.
Jangan gagal paham
Apakah
kerumitan tata kelola itu yang diinginkan dengan melahirkan PTNBH? Tentu
tidak! Dalam persepsi menjadi PT, otonomi sesungguhnya ialah percepatan
proses pencapaian akademik yang setara world class university, penguatan
riset dosen yang berkualitas, dan kompetitif. Keluaran riset seperti paten,
inovasi, dan produk yang mampu meningkatkan daya saing bangsa serta makin
membuminya PT dengan inovasi itu sehingga lebih maslahat bagi umat manusia
baik secara langsung maupun dalam bungkusan kebijakan. Untuk itu kelembagaan
pembina (Kemenristek dan Dikti) harus memiliki guidance yang baik dan matang.
Guidance yang baik ialah yang disusun dari semangat otonomi PTN yang
disarikan dari statuta PTNBH. Statuta PTNBH merupakan roh otonomi kampus, dan
tidak harus bertentangan dengan pedoman turunannya. Untuk mendalami itu,
tidak ada pilihan, dalam kelembagaan pembina, harus ada lembaga khusus
pengayom PTNBH. Jika tidak, yang akan terjadi ialah ‘menswastakan’ PTN unggul
di RI.
Pembagian
kewenangan pengelolaan institusi harus dibicarakan secara baik, terbuka atas
dasar kemampuan institusi. Kita bisa lihat banyak persoalan yang muncul,
seperti tidak dibayarkan tukin pada tendik PTNBH, tidak ada rekrutmen staf
PNS (seperti PTN Satker), serta penetapan PTN sebagai institusi pembayar
pajak (PTKP). Yang terakhir ini seolah menempatkan PTN BH seperti BUMN yang
tidak sejalan dengan core business pendidikan tinggi yang nirlaba. Tekanan
untuk mandiri sering berdampak pada akrobatik manajemen, misalnya, dengan
meningkatkan jumlah masukan mahasiswa maupun merancang berbagai skenario
diversifikasi kelas berdasarkan kemampuan biaya pendidikan. Mekanisme ini
sebenarnya bisa berdampak pada komersialisasi pendidikan yang dalam jangka
panjang jadi antitesis dari semangat PTNBH. Akrobatik ini bisa diantisipasi
dengan baik jika dukungan prasarana, SDM, dan mekanisme keuangan yang memadai
diberikan. Dinamika kehidupan kampus PTNBH akan berimbas pada dinamika sosial
masyarakat. Cara pandang terhadap dunia akademis yang menonjol ialah
kapitalisasi dan komersialisasi. Kampus akan dianggap sebagai lembaga yang
menggerogoti masyarakat, terutama kelompok masyarakat tidak mampu dalam
sistem pendidikan.
Kungkungan politik
Terlalu
berlebihan jika ada yang beranggapan PP No 58/2013 ialah kendaraan bagi PTNBH
untuk menjadi mencari potongan kue kekuasaan (Kompas, 2/11/2013) di negara
yang sedang sakit seperti saat ini. Kebutuhan PP No 58/2013 sebenarnya sebagai
alat untuk keluar dari kungkungan politik dan kekuasaan seperti yang
dikhawatirkan.
Banyak lembaga
negara saat ini tidak bisa berkembang karena terkungkung oleh politik
anggaran. Realitas kita sebagai bangsa pengimpor guru besar disebabkan
ketidakjelasan rencana dalam mengarahkan pembangunan SDM bangsa ini. Beberapa
dasar pemikiran itu, kampus dengan otonomi akademis yang dimiliki, juga
berkeinginan untuk berpartisipasi dalam membangun bangsa ini dan meluruskan
cita-cita bangsa menjadi bangsa yang mandiri. Mandiri dan tidak terjebak
dalam politik anggaran yang kemudian mendorong kampus menjadi unit
administratif tanpa inovasi dan kreativitas dalam masyarakat.
Perlu dipahami
kampus tidak hanya sebuah lembaga pendidikan, tapi juga lembaga penelitian
yang dituntut melaksanakan pengabdian. Sejatinya mengelola PT ialah berbeda
dengan mengelola pendidikan menengah. PT, selain memiliki kebebasan mimbar
akademik, punya kebebasan merancang inovasi, teknologi, dan kebijakan bagi
sebuah bangsa. Bangsa yang cerdas ialah bangsa yang mampu mendorong PT
menjadi lembaga independen dan terbebas dari cengkeraman politik, termasuk
politik anggaran. Kampus ialah basis bagi pengembangan kebijakan nasional.
Kampus juga menjadi instrumen untuk menggerakkan bangsa dengan inovasi dan
teknologi yang dikembangkannya. Adalah naif jika kampus dikerdilkan menjadi
ruang administratif belaka. Praktik pengelolaan negara yang kita saksikan
hingga saat ini, yaitu semua lembaga negara berbondong-bondong melaksanakan
program untuk mengejar target pencapai penggunaan anggaran akhir tahun, ialah
bentuk dari kungkungan administrasi. PT perlu payung hukum dalam menjalankan
otonomi agar tidak tersandera oleh politik anggaran dan administratif.
PTNBH harus
segera berlari mendorong bangsa menjadi bangsa pemenang. Langkah yang harus
dilakukan, pertama memperkuat fondasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
sistem kurikulum yang adaptif di tingkat nasional dan internasional. PTNBH
menjadi benchmark PT untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkualitas. Kedua memperkuat riset dan inovasi PT dalam sistem terintegrasi
hulu dan hilir. Riset dan inovasi yang berkualitas ialah yang bisa diterapkan
dalam masyarakat. Saat ini banyak riset hanya terpajang tanpa bisa
dikembangkan. Ketiga, dengan otonomi, kampus mempunyai ruang lebih luas dalam
mengaplikasikan riset secara dalam kepada masyarakat.
Setelah PTNBH,
yang harus dikejar ialah penyelarasan tujuan pembangunan dengan semangat
otonomi kampus. Pemerintah harus menggunakan karya dari kampus untuk
pembangunan. Kebijakan harus dibangun atas dasar scientific base yang lahir
dari riset yang terukur dan bebas dari pesanan intervensi politik. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan berasal dari kekaryaan peneliti
yang dihasilkan kampus. Sesungguhnya semangat otonomi PTNBH ialah menjadikan
bangsa lebih kompetitif dan unggul dalam persaingan. Untuk itu, tidak ada
kata lain, semangat otonomi PTNBH harus mendapat ruang seimbang dalam
pembangunan pendidikan tinggi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar