Kompetensi
Bahasa Inggris di PT
Bill Watson ; Adjunct
Professor School of Business and Management ITB;
Professor (Emeritus) School of
Anthropology, University of Kent, UK
|
KOMPAS, 08 Mei 2017
Berita dalam
rubrik pendidikan berjudul ”Kompetensi Kunci Hadapi MEA” (Kompas, 7/4)
seharusnya menggugah kita yang berkecimpung di perguruan tinggi di Indonesia.
Tulisan tersebut merupakan laporan dari seminar di Salatiga: akan bagaimana kita dapat mempersiapkan
generasi muda menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Masalahnya, kalau generasi mudabelum siap memainkan peran yang semestinya,
Indonesia akan kalah bersaing dengan negara lain dalam dunia perekonomian.
Banyak hal
dari seminar itu terkait perlunya meningkatkan keterampilan lunak (soft skills) yang dibutuhkan di masa
depan, terutama keterampilan komunikasi dan transaksi: bagaimana dapat kita
berbisnis dengan dunia internasional supaya cepat dan tepat mencapai tujuan.
Salah satu
soft skill yang diakui sangat perlu dikuasai dalam dunia perdagangan dan
perekonomian ialah kemampuan berbahasa Inggris. Sebagaimana tertulis dalam
berita tersebut, ”kemampuan bahasa Inggris terus ditekankan” oleh peserta
seminar. Mengapa harus ditekankan? Justru karena inilah kelemahan utama
generasi muda Indonesia dibandingkan negara jiran.
Melihat
keadaan di kalangan perguruan tinggi (PT) di Indonesia kini, kompetensi
bahasa Inggris mahasiswa dan dosen jauh dari memadai. Sepintas lalu kesan ini
dapat dibuktikan dengan kurangnya tulisan dosen Indonesia yang dimuat di
jurnal internasional; susahnya mahasiswa Indonesia mencapai syarat lulus
ujian bahasa Inggris (IELTS) kala melamar sekolah ke luar negeri; dan keluhan
perusahaan multinasional tentang rendahnya kompetensi calon karyawan.
Beberapa
penelitian juga memperkuatkan kesan ini. Hasil memeriksa tulisan mahasiswa,
mendengar mereka presentasi, ataupun menerjemahkan tulisan dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia sungguh menyedihkan. Mengingat kesimpulan ini
berdasarkan pengamatan atas keadaan di salah satu fakultas PT yang mahasiswanya
berkompetensi jauh di atas temannya di fakultas lain dan PT lain, makin
terbukalah mata kita: betapa besar masalah ini kalau dijabarkan ke seantero
Indonesia.
Akan tetapi, kalau
kita melihat keadaan negara lain di Asia, ternyata kekhawatiran atas
kompetensi mahasiswa berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English
used by speakers of other languages, ESOL) bukan cuma keprihatinan di
Indonesia.
Sangat
mengagetkan, umpamanya, di Australia sejak 2007 disinyalir mahasiswa (ESOL)
yang mencapai IELTS 6.5 untuk masuk PT dan kemudian lulus ijazahnya di sana
dipandang tak cukup pandai berbahasa Inggris sehingga perusahaan di Australia
enggan mengangkat mereka sebagai karyawan (Birrell). Begitu pula di Hongkong,
perusahaan tak mencari lulusan sekolah bisnis karena dari pengalaman,
keterampilan komunikasimereka tidak memuaskan. Di Thailand juga dosen
mengeluhkan lemahnya bahasa Inggris mahasiswanya dan cemas atas daya saing
mereka di bisnis internasional.
Apa perbedaan
antara Indonesia dan mereka? Negara lain dari dulu sudah menyadari persoalan
ini dan sudah bertahun-tahun berusaha mengatasi. Di Indonesia, ini masih
dianggap rada enteng untuk dipecahkan dengan mudah. Misalnya dengan
mengumumkan kebijakan mendirikan sekolah menengah internasional yang memakai
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Suatu kebijakan yang menghabiskan
banyak uang dan tenaga, tetapi tak membuahkan hasil.
Bandingan
dengan apa yang dikerjakan negara lain. Di Australia, misalnya,begitu besar
huru-hara muncul sebagai dampak kritikan tajam yang disebut di atas.
Pemerintah pun membentuk satu komite dari Lembaga Penilaian Mutu
Pendidikan(Australian Quality Assurance Office) untuk menyelidiki masalah ini
secara menyeluruh dan memberi rekomendasi langkah-langkah lanjutan yang perlu
diterapkan.
Lembaga ini
akhirnya mengeluarkan peraturan Good Practice Principles (GPP), terdiri atas
beberapa kebijakan yang harus dituruti semua PT di Australia berhubung dengan
kemudahan untuk membantu mahasiswa ESOL mencapai tingkat kemampuan memadai.
Begitu pula di Thailand dan Hongkong, komite khusus dibentuk untuk
menyelidiki kekurangan persediaan fasilitas ketika itu dan mempersiapkan
perencanaan untuk masa depan.
Beberapa rekomendasi
Terlalu banyak
rekomendasi yang lahir dari laporan-laporan ini untuk disebut di sini, tetapi
ada beberapa yang dapat disinggung di sini. Pertama, semua ahli sependapat
tak ada gunanya mengajar bahasa Inggris umum ke mahasiswa. Mereka membutuhkan
ESP (English for specific purposes), bahasa Inggris yang bersangkutan dengan
bidang studi mereka masing-masing.
Pendapat ini
langsung berlawanan dengan kebijakan kementerian di Indonesia. Menurut
peraturan sekarang, bahasa Inggris menjadi mata kuliah umum wajib, dan
biasanya pengajaran jadi tanggung jawab unit bahasa tiap kampus. Tetapi,
mahasiswa tak dapat manfaat apa pun dari sistem ini. Pengajaran bahasa
Inggris, dalam pengalaman PT di Australia dan negara lain, tak boleh jadi
sesuatu yang ditambah sebagai ekstra—”bolt-on”, melainkansesuatu yang bersatu
padu dengan mata kuliah lain yang diselenggarakan di tiap fakultas.
Kedua,
seharusnya ada satu Pusat Bahasa Inggris (Language Centre, yang terdiri atas
native-speaker dannon-native speaker pengajar profesional) di tiap fakultas.
Tugasnya bukan saja menyelenggarakan kursus, tetapi juga memberikan bantuan
ke mahasiswa sesuai kelemahannya dan membantu dosen jika perlu.
Ketiga, untuk
mengetahui kelemahan mahasiswa dan apa persis yang dibutuhkan, perlu diadakan
Post-Entry Language Assessment (PELA), yaitu mereka harus diuji langsung
setelah masuk kuliah tahun pertama. Dari sini, kita dapat melihat saksama apa
yang harus disediakan untuk menutupi kekurangannya. Keempat, untuk mendorong
mahasiswa tetap berminat meningkatkan kompetensi dalam bahasa Inggris,
sebelum dinyatakan lulus program studi, mereka harus lulus exit-test bahasa
Inggris dengan angka yang memuaskan.
Usulan di atas
cuma sebagian kecil dari strategi PT di negara lain. Di Indonesia hal-hal ini
belum pernah dibayangkan. Tentu harus diakui, untuk sementara waktu tak semua
langkah perbaikan yang dianjurkan dapat diperkenalkan serentak. Namun, harus
diakui juga tindakan tuntas dan jitutak dapat ditangguhkan lagi: kita harus
mulai.
Langkah
pertamaialah pendirian komite—di bawah naungan Badan Akreditasi Nasional, BAN
(?)—yang akan meniru pola Hongkong, Australia, dan Thailand: meninjau keadaan
sekarang untuk mengetahui kekurangan, dan kemudian menerapkan kebijakan
tepat. Kemudian, kembali pada seminar di Salatiga, mengingat pentingnya peran
bisnis, ekonomi, dan hukum dalam jangka waktu dekat di era MEA, kita dapat
bergerak langsung dengan memberi perhatian khusus dalam meningkatkan
kompetensi bahasa Inggris ke fakultas bisnis, ekonomi, dan hukum. Kecuali
jika kita bertindak demikian, dunia PT dan perkembangan bangsa Indonesia
terancam bahaya besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar