Khilafah
dalam Perspektif Sejarah
Faisal Ismail ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Program Magister Studi
Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 09
Mei 2017
SETELAH melaksanakan misi kenabiannya selama 23 tahun di Mekkah
dan Madinah, Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 M (11 H). Dalam bukunya
bertajuk Muhammad: Prophet and Statesman, Prof William Montgomery Watt
menilai karier Muhammad sangat sukses sebagai nabi dan negarawan.
Dalam bukunya yang berjudul The 100: A Ranking of the Most
Influential Persons in History, Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad
sebagai tokoh pertama yang paling berpengaruh di pentas sejarah dunia.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, roda pemerintahan dan kepemimpinan umat Islam
dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).
Pemerintahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun
(11–40 H/632–661 M). Secara historis, sistem pemerintahan ini dipandang
sebagai tonggak sejarah berdirinya sistem khilafah dalam ketatanegaraan
Islam.
Proses pemilihan Khulafaur Rasyidin memperlihatkan sistem yang
berbeda. Setelah melalui proses permusyawaratan (syura) yang hangat, akhirnya
para sahabat dan wakil-wakil umat Islam memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai
khalifah (632–634 M).
Sebelum wafat, Abu Bakar mencalonkan Umar bin Khattab sebagai
khalifah dan pencalonannya disetujui para sahabat dan Umar pun terpilih
sebagai khalifah (634–644 M). Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab,
para sahabat atau wakil-wakil umat Islam mengajukan enam calon khalifah,
yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad
bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Dalam pemilihan ini, Usman bin
Affan terpilih sebagai khalifah (644–656 M).
Pengganti Khalifah Usman bin Affan adalah Khalifah Ali bin Abi
Thalib (656–661 M). Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah dengan suara
yang tidak bulat. Siti Aisyah (janda Nabi Muhammad) tidak setuju dan tidak
mau membaiat Ali.
Situasi ini menyeret Aisyah dan Khalifah Ali terlibat dalam
Perang Jamal (Unta) yang menelan banyak korban. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(Gubernur Syam/Suriah dari Bani Umayyah) ”menentang” dan tidak mau menyatakan
baiat kepada Khalifah Ali yang berasal dari Bani Hasyim. Kemelut politik ini
menggiring Muawiyah dan Ali tercebur dalam Perang Shiffin yang mengakibatkan
banyak korban tewas dan luka-luka.
Poin penting yang hendak dicatat dengan mengemukakan episode sejarah
pemerintahan Khulafaur Rasyidin di atas adalah bahwa tiap khalifah dipilih
dengan jalan musyawarah. Walaupun dengan sistem yang berlainan,
permusyawaratan sebagai inti dan esensi demokrasi tetap dijunjung tinggi dan
dilaksanakan para sahabat dan wakil-wakil umat Islam pada masa itu secara
benar, jujur, adil, dan fair.
”Keengganan” Siti Aisyah memberikan baiat kepada Khalifah Ali
bin Abi Thalib dan ”ketidaksetujuan” Mu’awiyah bin Abi Sufyan terhadap
Khalifah Ali dapat dipahami dalam alam demokrasi. Tapi sangat disayangkan
mengapa Perang Jamal dan Perang Shiffin harus terjadi?
Selepas pemerintahan Khulafaur Rasyidin, berdirilah Daulah
Umayyah (661–750 M) dan diperintah oleh 14 khalifah dengan pusat
pemerintahannya di Damaskus. Pendiri Daulah Umayyah adalah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan (661–680 M). Walaupun sistem yang dipakai pada masa Daulah Umayyah ini
adalah sistem khilafah (kepala negaranya disebut khalifah), tetapi itu sudah
”menyimpang” dari sistem kekhalifahan yang berlaku pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, empat khalifah (Abu
Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib)
dipilih secara demokratis melalui permusyawaratan para sahabat/wakil-wakil
umat Islam.
Pada masa Daulah Umayyah, semua khalifah sudah tidak dipilih
lagi secara demokratis, tetapi jabatan dan kekuasaan khalifah sudah
diwariskan secara turun-temurun dan secara eksklusif berada di tangan Bani
Umayyah. Orang-orang di luar Bani Umayyah tidak memiliki akses politik untuk
memegang jabatan dan kekuasaan khalifah.
Melalui revolusi yang sangat eksplosif dan masif, Bani Abbasiyah
melakukan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Maka
berdirilah Daulah Abbasiyah (750– 1.258 M) yang diperintah oleh 37 khalifah
dengan pusat pemerintahannya di Baghdad. Dalam hal sistem pemerintahan dan
kenegaraan, Daulah Abbasiyah sama saja dengan Daulah Umayyah.
Jabatan dan kekuasaan khalifah diwariskan secara turun-temurun
dan secara eksklusif berada di tangan Bani Abbasiyah. Orang-orang di luar
Bani Abbasiyah sama sekali tidak punya akses politik untuk meraih jabatan dan
kekuasaan khalifah.
Hal yang sama terjadi pula dalam kekhalifahan Islam di dunia
Barat, yaitu di Daulah Umayyah yang berpusat di Cordova (Andalusia, Spanyol,
750–1031 M). Jabatan dan kekuasaan amir/khalifah diwariskan secara
turun-temurun di kalangan Bani Umayyah. Akses politik untuk menduduki jabatan
dan kekuasaan amir/khalifah di luar Bani Umayyah sama sekali tertutup.
Daulah Umayyah di Cordova didirikan oleh Abdurrahman ad-Dakhil,
seorang pangeran Umayyah yang selamat dari tragedi asasinasi besar-besaran
yang dilakukan Bani Abbasiyah.
Dari paparan di atas dapat diketahui, masa jabatan khalifah pada
masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin tidak dibatasi dalam arti khalifah
menjalankan pemerintahan seumur hidup. Juga dapat diketahui bahwa
kekhalifahan Umayyah di Damaskus, kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, dan
kekhalifahan Umayyah di Cordova sebenarnya sama dengan sistem kerajaan
(monarki) karena jabatan dan kekuasaan kepala negara secara eksklusif diwariskan
secara turun-temurun.
Pada masa Kesultanan Turki Usmani, Abdul Majid (1922– 1924)
dalam masa yang sangat singkat pernah dipilih sebagai khalifah oleh Majelis
Nasional Besar Turki sebelum negara itu ditransformasi oleh Mustafa Kemal
Ataturk menjadi negara republik sekuler.
Islam tidak secara spesifik mengajarkan kepada umat Islam untuk
menerapkan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu dalam mengelola
negara karena masalah kenegaraan adalah masalah keduniawian yang mengalami
perkembangan.
Di Nusantara pada masa lalu pernah eksis kerajaan/ kesultanan
Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Makassar, dan Mataram. Kerajaan/ kesultanan
Islam ini pada akhirnya terhapus ketika Indonesia dideklarasikan sebagai
negara bangsa (nation state) dalam bentuk negara republik.
Timbul pertanyaan ilmiah dan akademis: pengusung ide pendirian
khilafah di negeri ini mengacu ke mana? Ke kekhalifahan Umayyah atau
Abbasiyah yang kekuasaan kepala negaranya diwariskan secara turun-temurun dan
di luar bani (dinasti) itu orang tidak memiliki akses politik untuk meraih
jabatan dan kekuasaan sebagai kepada negara? Hal ini sangat tidak cocok
dengan UUD 1945 sebagai salah satu pilar NKRI dan juga tidak sejalan dengan
aspirasi politik founding fathers
republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar