Inflasi
dan Revolusi Digital
A Prasetyantoko ; Rektor
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 15 Mei 2017
Salah satu
siklus ekonomi yang paling mudah dipetakan adalah konsumsi. Setiap menjelang
Ramadhan dan Idul Fitri, harga bahan pangan pokok selalu naik. Kenaikan
inflasi menjadi pola rutin setiap tahun. Meskipun polanya berulang, tetap
saja masalah klasik stok dan distribusi bahan pangan selalu menjadi
persoalan. Pada level daerah, variasi masalahnya begitu lebar sehingga
mitigasi seragam sering tidak membantu.
Badan Pusat
Statistik mencatat angka inflasi tahunan hingga Maret 2017 mencapai 3,61
persen atau sudah lebih tinggi daripada inflasi sepanjang tahun lalu. Secara
umum, inflasi tahun ini memang diproyeksikan akan lebih tinggi daripada tahun
lalu akibat kenaikan harga-harga yang dipengaruhi pemerintah (administered
prices), seperti pengurangan subsidi listrik 900 volt ampere (VA) dan elpiji
3 kilogram. Diperkirakan inflasi 2017 akan mencapai 4,5 persen, sedangkan
tahun lalu hanya 3,02 persen. Karena itu, mitigasi kenaikan harga bahan
pangan pokok menjelang Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun ini menjadi
krusial.
Mitigasi
inflasi akibat lonjakan harga pangan secara normatif memang mudah, tetapi
kompleksitas di lapangan membuat upaya meredam harga sering kali tak berhasil
baik. Ada begitu banyak masalah, mulai dari lemahnya akurasi data, rumusan
kebijakan yang keliru, hingga perilaku moral hazard para pemain.
Harga pangan
dengan mudah melonjak ketika perhitungan stok meleset. Kebijakan yang tak
berbasis data, seperti pembatasan impor, juga berpotensi menurunkan pasokan,
apalagi saat permintaan sedang meningkat. Belum lagi ada persoalan pasar
bahan pokok yang cenderung tak terbuka sehingga berpotensi menimbulkan
perilaku ambil untung oleh kelompok tertentu.
Terkait dengan
variasi pola produksi dan konsumsi pangan di daerah, pendataan yang akurat
menjadi salah satu kunci. Penggunaan teknologi digital tentu akan membantu.
Perum Bulog sedang membangun pusat distribusi di setiap daerah yang
digabungkan dengan inisiasi pembentukan Rumah Pangan Kita (RPK) dalam satu
jaringan distribusi yang komprehensif. Hingga saat ini, sudah ada sekitar
13.000 RPK yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Tahun ini, Bulog
akan membangun 50.000 RPK sebagai penyokong distribusi 11 komoditas pangan
pokok.
Jika akurasi
data, pola kebijakan yang benar, dan jaringan distribusi dikelola dengan
baik, niscaya harga akan terkendali. Penerapan harga eceran tertinggi (HET)
hanya merupakan salah satu kebijakan yang perlu diambil. Akan tetapi, masih
ada kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian. Intinya, persoalan yang
membelit rantai pasok pangan dari produsen hingga ke tangan pengguna akhir
harus diatasi.
Tak saling terhubung
Kenyataannya,
upaya untuk memperbaiki distribusi dan mengontrol harga pangan itu melibatkan
sejumlah kementerian dan institusi yang sering tidak mudah dikoordinasikan.
Misalnya, Kementerian Pertanian telah mendirikan Toko Tani Indonesia dan
Kementerian Sosial memiliki E-Warong. Namun, kedua upaya itu belum berada
dalam satu platform yang sama sehingga tidak saling terhubung satu sama lain.
Revolusi
digital akan banyak membantu mengonsolidasikan data dan membangun sistem agar
rantai pasok pangan menjadi lebih efisien. Kementerian Komunikasi dan
Informatika bersama dengan beberapa badan usaha milik negara (BUMN) bisa
menjadi pelopor dalam merancang sistem, mulai dari identifikasi kebutuhan,
perencanaan produksi, peta distribusi, hingga skenario pemenuhan kebutuhan di
tingkat nasional. Bahkan, sistem itu bisa digabung dengan aplikasi akses
permodalan dalam kerangka program peningkatan inklusi keuangan bagi
masyarakat.
Pemetaan pola
produksi dan konsumsi di setiap daerah bukan semata bertujuan menstabilkan
harga pangan, tetapi lebih jauh lagi memetakan keunggulan tiap daerah.
Kebutuhan, harga, dan daya saing selalu berkorelasi satu sama lain. Selama
ini, dinamika ekonomi regional cenderung ditentukan beberapa faktor alamiah
saja.
Rendahnya
inflasi 2016 salah satunya disebabkan oleh turunnya harga komoditas.
Penurunan harga komoditas telah menghantam daya saing perekonomian daerah,
yang salah satu implikasinya menurunkan aktivitas dunia usaha. Dengan
demikian, inflasi rendah tak selalu mencerminkan kemajuan positif. Justru
sebaliknya, inflasi rendah bisa menjadi indikator pelambatan ekonomi.
Revolusi
digital yang sedang berkembang luas belakangan ini di banyak negara, termasuk
Indonesia, harus bisa digunakan untuk memainkan peran sentral. Ini bukan saja
dalam rangka mengendalikan harga dan laju inflasi, tetapi juga daya saing ekonomi
daerah. Sudah saatnya inovasi diaplikasikan secara luas untuk memperkuat
sendi perekonomian di level yang paling bawah agar lebih kokoh berdiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar