Dramatisme
Politik
Garin Nugroho ; Budayawan;
Pengajar Pascasarjana ISI Surakarta
|
KOMPAS, 16 Mei 2017
Mengikuti percakapan masyarakat tentang tokoh-tokoh
politik beserta peristiwa yang mengikutinya, layaknya mengikuti tokoh-tokoh
dalam seri drama populer televisi. Selain
dipenuhi gosip, juga aksi dukungan pro dan kontra hingga respons publik serba
seketika; baik respons serba olok-olok, debat cair dan serius, maupun saling
membuli. Bahkan, acap kali bersaing pamer kekuatan massa pendukung dengan
beragam bentuk aksi melahirkan drama politik tak berkesudahan.
Masyarakat melodramatik
Dramatisme politik sebagai kajian budaya politik sangat
tepat untuk mengkaji tokoh politik dan respons publik di negeri ini.
Memungkinkan mengonseptualkan kehidupan politik beserta respons masyarakatnya
sebagai hubungan penonton dengan tontonan drama. Kajian semacam ini memberi
ruang luas menganalisis pilihan retoris tokoh-tokoh politik serta respons
khalayak terhadap politik itu sendiri maupun dampak psikologi massa berbangsa
yang menghidupinya.
Gejala ini bertumbuh seiring munculnya masyarakat televisi
berikut seri opera sabun sebagai tontonan populernya. Akibatnya, lahirlah
masyarakat melodramatik, segala aspek kehidupan menjadi populer serta
dikonsumsi sekiranya dihadirkan penuh drama. Sebuah gejala sosial yang
melahirkan masyarakat gosip serba euforia massa ketimbang masyarakat
data-fakta berbasis nalar.
Ciri penting dramatisme politik adalah kemampuan
melahirkan berbagai peristiwa yang mampu mengelola emosi khalayak, sekaligus
mengundang respons massa yang melahirkan aksi dramatik. Ciri ini bertumbuh
subur mengingat bahwa masyarakat melodramatik ditandai dengan karakter
berlebih-lebihan alias lebai serta mudah jatuh cinta secara komunal atas
dasar perspektif yang beragam; baik dari agama, kesukuan, kelas sosial,
profesi, atau cara berpikir, hingga gaya hidup baru maupun kompetisi
kekuasaan. Simak peristiwa Monas 212 hingga dukungan karangan bunga untuk
Ahok berikut serial aksi lainnya.
Dramatisme politik mendapat pegas pertumbuhan lewat percepatan
tekno-kapitalis media sosial baru. Melahirkan masyarakat hiper-media tanpa
proses baca-tulis yang kuat, menjadikan hilangnya nilai berproses dan
analisis setiap informasi, cenderung memunculkan kebebasan berbicara spontan
tanpa etika dan referen pengetahuan. Dengan kata lain, dunia maya menjadi
warung kopi politik baru yang buka dua puluh empat jam, melahirkan era
masyarakat politik maya penuh euforia kebebasan berbicara disertai pamer aksi
yang efektif tampil dalam ruang media sosial ataupun ruang publik nyata.
Bisa diduga, tokoh politik berikut peristiwanya menghadapi
percepatan respons dalam karakter digital, yakni serba seketika, serba bebas,
serba selintas, serba melipatgandakan maupun manipulasi. Percepatan ini
seiring dengan daya hidup media sosial baru yang memberi ruang eksplorasi
follower alias pendukung lewat beragam formula. Akibatnya melahirkan
kompetisi dukungan sekaligus beragam konflik dunia maya yang memberi ruang
besar manipulasi politik.
Harap mafhum, dramatisme politik mampu meluas dalam aksi
dunia nyata, memperkokoh hukum melodrama yang mampu mengeksploitasi emosi
warga sebagai penonton, penuh nuansa konflik serba tak terduga dan
susul-menyusul layaknya seri drama televisi. Bisa diduga ia berpotensi
menjadi drama besar penuh luka maupun tragedi bangsa. Sebuah dramatisme
politik dengan dampak luka psikologi massa berbangsa yang tidak bisa
diremehkan bagi kehidupan bangsa ke depan.
Catatan yang perlu digarisbawahi, era ini melahirkan
masyarakat politik baru dengan tokoh baru, yakni tokoh-tokoh politik yang
mampu dihidupi dan menghidupi dunia maya, tetapi sering kali tidak cukup
mampu jadi negarawan dalam mengelola kehidupan politik yang nyata.
Beragam paradoks
Hukum drama yang populer senantiasa ditandai beragam
paradoks, baik pada karakter tokoh-tokohnya maupun peristiwa dramanya untuk
mengundang sensasi perdebatan. Simak, meski demokratisasi media sosial baru
mendorong demokrasi yang terbuka, ia sekaligus melahirkan masyarakat serba
fanatik baru, baik atas nama agama maupun kebebasan tanpa etika.
Demokratisasi menjadi serba massa, serba berkubu, serba
saling menghinakan, serba menyerang serta menghakimi menurut perspektif
masing-masing dalam karakter hitam putih. Akibatnya, ruang mengkritisi diri
serta dialog menghilang. Individu warga menjadi penggemar fanatik yang tak
lagi kritis pada pilihannya.
Politikus baru era dunia maya menjadi penuh paradoks. Di
satu sisi ia memungkinkan lahirnya politikus muda yang otentik. Namun,
celakanya, mayoritas politikus dunia maya cenderung serba tanpa proses, serba
vulgar, serba emosional, serta artifisial, layaknya karakterisasi tokoh utama
dalam seri drama televisi populer: karakter yang semata dibangun untuk
menumbuhkan rating alias kepopuleran lewat formula serba pamer perhatian.
Ironi politik terjadi, yakni menghilangnya
negarawan-negarawan bersahaja yang menuntut pemikiran serta tindakan matang
dalam berbangsa dan bernegara, yang tak mampu hidup dalam masyarakat politik
baru dunia maya yang serba selintas.
Agaknya, era politik dewasa ini adalah era politik dalam
dramaturgi baru. Situasi ini menuntut cara baru kerja negarawan agar
demokratisasi tidak menjadi keriuhan serba dangkal, vulgar, artifisial,
tetapi kehilangan nalar layaknya seri drama populer di televisi hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar