Dengarkan
Rakyat, Bung!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 29 April 2017
Di zaman
kolonial, anggota Dewan Rakyat (Volksraad) ternama, Mohammad Husni Thamrin,
berpidato. Isinya, antara lain, ”Setiap pemerintah harus mendekati kemauan
rakyat. Ini sudah sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah.
Pemerintah yang tidak memedulikan atau menghargai kemauan rakyat sudah tentu
tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat…. Untuk
mengetahui keinginan rakyat, harus didengar dan dipelajari suara yang
terdengar dari kalangan anak negeri sendiri….”
Dahulu negeri
ini selalu dipenuhi dengan jiwa-jiwa heroik, patriotis, mulia, dan
pengabdian. Tidak berpikir untuk diri sendiri, bahkan untuk sekelompok
sekalipun. Maka, mereka dikenang sepanjang masa sebagai pejuang dan pemimpin
sejati. Para putra bangsa itu harum namanya dan tertulis dengan tinta emas
dalam sejarah bangsa. Sayangnya, hari ini jiwa-jiwa terpuji, seperti HOS
Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Moh Hatta,
Moh Yamin, dan Sam Ratulangi—sekadar menyebut contoh—nyaris tak terpatri
lagi. Mereka berjuang demi bangsa, demi rakyat. Jadilah Indonesia yang selalu
dilukiskan indah sebagai untaian Zamrud Khatulistiwa.
Komponis
Ismail Marzuki mendendangkan ”Indonesia Pusaka”: ”Indonesia tanah air
beta/pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dulu kala/tetap di puja-puja
bangsa”. Tahun 1930 di depan pengadilan (Landraad) di Bandung, dalam
pembelaannya, suara Soekarno lantang terdengar, ”Kami punya dari hulu yang indah,
kami punya masa silam yang gemilang. Ah, tuan-tuan hakim, siapakah orang
Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau mendengarkan cerita tentang
keindahan itu.... Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau
ingat benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai Madagaskar,
Persia, Tiongkok.”
Bisa jadi
suara Bung Karno sudah tak terdengar lagi. Buktinya sikap dan tindakan para
pemimpin kita sekarang ini sulit dicerna secara logis, apakah menyuarakan
rakyat atau menyuarakan diri sendiri atau kelompok? DPR, misalnya, mungkin
sedang senang-senangnya setelah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetukkan palu
persetujuan pengusulan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tampaknya putusan buru-buru diambil, tak peduli lagi ada anggota DPR yang
interupsi atau walk out. Beginikah cara pemimpin bertindak?
Kalau DPR
kerap marah kepada KPK, rasanya begitu banyak orang yang sudah paham. Sebab,
selama ini KPK bertindak keras terhadap anggota DPR yang terhormat. Sebab,
DPR seperti tak kapok-kapok, apalagi mengambil pelajaran, dari kasus korupsi
yang melibatkan anggotanya. Hasil survei Global Corruption Barometer, DPR
menjadi lembaga paling korup di Indonesia pada 2016. Kasus megakorupsi KTP
elektronik yang dibongkar KPK berputar-putar di sekitar ”nama-nama besar”
anggota atau mantan anggota DPR bersama birokrat. Dan, pemberantasan korupsi
itu agenda besar tuntutan rakyat hasil reformasi. Jadi, dengarkan suara
rakyat, bung!
Runyamnya,
bukan semangat dukungan bersama-sama KPK untuk membersihkan rumah rakyat di
Senayan yang muncul. Namun, justru bersekongkol menggertak KPK dengan hak
angket. Awalnya ingin meminta rekaman penyelidikan terhadap anggota DPR,
Miryam S Haryani, politikus Partai Hanura, anggota DPR semangat teken
persetujuan hak angket. Namun, ironisnya, mereka tidak bersemangat untuk
membantu menemukan Miryam yang menghilang jadi buronan KPK setelah mangkir
dalam tiga kali panggilan. Begitukah sikap para pemimpin sekarang?
Memang,
aneh-aneh saja pemimpin sekarang. Ketika lebih dari 2.000 karangan bunga
ucapan terima kasih kepada pasangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat memenuhi areal
Balai Kota dalam beberapa hari ini, Wakil Ketua DPR Fadli Zon justru menuding
sebagai pencitraan. ”Saya rasa masyarakat sudah tahulah. Itu bisa bukan efek
positif yang didapat, tetapi efek negatif, apalagi kalau ketahuan sumbernya
itu-itu juga. Jadi, pencitraan murahan,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Mengapa selalu nyinyir dan berprasangka? Padahal, pasangan Basuki-Djarot
legawa menerima kekalahan (berdasarkan hasil hitung cepat) dalam Pilkada DKI
Jakarta putaran kedua 19 April lalu.
Wajar saja
apabila politikus PDI-P, Charles Honoris, bereaksi keras juga. Tudingan
seperti itu, ujar Charles, tak layak dilontarkan seseorang yang memegang
posisi wakil Ketua DPR. Charles pun menuding balik sebagai sikap
kekanak-kanakan. Ah, jadi ingat Gus Dur yang menyindir DPR mirip TK. Belum
lupa, kan, ya? Padahal, kalau mau jujur, bisa jadi baru kali ini apresiasi
warga begitu antusias melepas pasangan gubernur/wakil gubernur yang kalah.
Rasanya belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Biarlah warga yang
mengekspresikan diri dengan caranya sendiri, tak perlu ditanggapi sinis.
Semoga saja bukan karena iri.
Semirip Thamrin, pemimpin itu memang harus paham kemauan rakyat.
Namun, kata Sir Winston Churchill, bangsa akan merasa sangat sulit mencari
pemimpin yang menjaga telinganya sampai ke tanah. Begitulah pemimpin zaman
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar