Bagaimana
Menjaring Orang Mampu
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 06
Mei 2017
MESKI di
belakang hari banyak yang kecewa, saya akui ide awal Presiden SBY ini sangat
brilian. Ide inilah yang bisa menjadi terobosan untuk menutup sisi lemah
hasil proses demokrasi di negara yang demokrasinya masih muda seperti
Indonesia.
Dengan ide
tersebut, kekhawatiran bahwa proses demokrasi akan menghasilkan ’’yang
terpilih belum tentu mampu, yang mampu belum tentu terpilih’’ bisa dikurangi.
SBY tahu di
negeri ini banyak orang yang mampu namun tidak populer. Atau belum populer.
Dari banyak yang mampu itu terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok
mampu yang kemampuannya diakui secara umum oleh banyak orang. Ada juga
kelompok mampu yang hanya mereka sendiri yang menilai bahwa mereka mampu.
Karena itu,
SBY memiliki ide untuk menjaring orang-orang yang mampu kategori pertama.
Bukan dengan cara membuka pendaftaran, melainkan dengan cara melakukan
penelitian. Cara pendaftaran dihindari untuk mencegah masuknya nama-nama yang
hanya dirinya sendiri yang merasa mampu.
Seingat saya,
SBY waktu itu menunjuk sebuah lembaga survei untuk melaksanakan riset
tersebut: Saiful Mujani. SBY minta agar lembaga survei tersebut mengajukan
pertanyaan kepada 200 orang bergelar profesor dan doktor dari berbagai latar
belakang. Pertanyaannya, kalau tidak salah: Siapa orang yang Anda anggap
mampu memimpin Indonesia ke depan. Artinya: untuk menggantikan SBY yang harus
turun takhta dua tahun kemudian.
Yang ditanya
tidak boleh menyebut atau mengajukan dirinya sendiri. Bahwa namanya disebut
oleh profesor-doktor yang lain, tidak masalah. Saya dengar beberapa orang
profesor-doktor tidak bersedia menjadi responden. Tapi, lembaga survei Saiful
Mujani dengan mudah bisa mencari penggantinya. Yang jelas, survei itu
berhasil menyusun 10 besar nama-nama yang dianggap mampu memimpin Indonesia.
Mengapa hanya
level profesor-doktor yang menjadi responden? Dalam suatu kesempatan, SBY
menjelaskan bahwa level itu tidak diragukan lagi akan mampu menilai siapa
yang layak dan tidak layak menjadi pemimpin nasional. Terutama dilihat dari
segi kemampuan atau kualitas. Bukan dari sudut popularitas atau keterpilihan.
SBY, khusus
untuk ini, menghindari pendapat umum. Kalau masyarakat awam dilibatkan dalam
survei itu, belum tentu hasilnya bisa memuaskan. Belum tentu bisa terlihat
sisi kemampuan yang lebih teknis dan detail dari seorang tokoh. Bisa jadi
tokoh yang bisa mengemas dirinya atau terkemas oleh media yang akan terlihat.
Saya dengar sekitar 10 pemimpin redaksi media massa ikut dipilih sebagai
responden. Pertimbangannya adalah untuk melihat kemampuan seseorang dari
sudut akuntabilitas.
Saya beruntung
bisa mendapat bocoran siapa saja yang masuk 10 besar hasil survei itu.
Lengkap dengan nama dan nomor urutnya. Tapi, secara resmi tidak pernah ada
pengumuman untuk itu. Baik oleh lembaga surveinya maupun oleh SBY sebagai
pemilik idenya. Saya kira memang lebih baik begitu.
Mengapa
respondennya hanya 200 profesor-doktor? Bukan 1.000? Pertama, itu sudah memenuhi
kaidah ilmiah. Kedua, tidak perlu menghubungi profesor-doktor dari seluruh
Indonesia. Sedapat mungkin mereka adalah profesor-doktor yang tahu kapasitas
pribadi tokoh yang akan diusulkan dari dekat. Orang jauh cenderung tahunya
dari media atau kemasan.
Dari nama-nama
10 besar yang saya peroleh itu, harus diakui, belum ada satu pun yang
popularitasnya menyamai popularitas tokoh yang waktu itu sudah beredar.
Jangankan melampaui, mendekati pun belum.
Kenyataan itu
di satu pihak memang menyadarkan bahwa demokrasi memiliki misterinya sendiri.
Di lain pihak, sungguh berat bagi SBY untuk mencari pengganti yang ideal
seperti yang dia inginkan.
Maka, menurut
SBY, tugas pihak-pihak yang mencintai Indonesialah yang harus meningkatkan
popularitas tokoh-tokoh yang dianggap mampu itu. Termasuk SBY sendiri.
Akhirnya, kita semua tahu, SBY memiliki cara tersendiri untuk menindaklanjuti
hasil pemikirannya yang ideal tersebut. Sayangnya, SBY menempuh jalan untuk
melaksanakan idenya itu melalui partainya, Partai Demokrat. Mulai dari tahap
inilah ide brilian yang awalnya ’’sangat Indonesia’’ itu turun menjadi
’’sangat partai’’.
Dengan segala
kemudahan dan kesulitannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar