Arus
Balik Kebinekaan
Asep Salahudin ; Wakil
Rektor Bidang Akademik IAILM; Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam; PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS, 17 Mei 2017
Dalam sebuah dramanya, ”Pintu Tertutup (Huis
Clos), Sartre menahbiskan ”Neraka adalah orang lain”, L’enfer c’est les autres. Ungkapan
ini dalam konteks keindonesiaan akhir-akhir ini menarik untuk direnungkan
betapa sesungguhnya akar kekerasan dan konflik itu secara hakiki berangkat
dari sebuah pandangan artifisial ketika menempatkan orang lain di luar dirinya
sebagai ”neraka” sehingga kemungkinan menghadirkan tampilnya keadaban hidup
menjadi kecil. Layaknya penghuni ”neraka”, maka stigma yang pantas disematkan
adalah kafir, munafik, bidah, sesat, dan gambaran menyeramkan lain.
L’enfer c’est les
autres sebagai
bentuk gelap relasi sosial karena yang berkecamuk dalam isi kepala adalah
pembayangan bahwa kepentingan diri dan kelompok jauh lebih penting di atas
kepentingan lain, kepentingan partisan mengalahkan kebersamaan. Orang lain
dalam pemahamannya bukanlah subyek yang harus mendapatkan pemuliaan
sebagaimana mestinya, tetapi tak lebih obyek yang wajib selamanya dicurigai
dan atau dieksploitasi habisan-habisan untuk menghamba terhadap
kepentingannya.
Di tikungan ini, sesungguhnya politik
mobilisasi bergerak. Orang lain tak lebihhanya kerumunan massa anonim dan
impersonal yang harus dikendalikan untuk melayani nafsu kepentingannya.
Kepentingan itu bisa bersifat atas nama keagamaan atau politik atau politik
berjubahkan agama. Yang terakhir biasanya yang paling mudah diterapkan karena
isu agama yang paling gampang menggerakkan massa, apalagi di negara dengan
tingkat melek aksara dan politik yang sangat minim.
Maka, bisa dipahami seandainya sosiolog Ibnu
Rusydi sampai pada kesimpulan bahwa dalam kerumunan massa yang dominan bukan
kerja nalar, tetapi emosi; bukan argumentasi yang berjalan, tetapi
sentimentalisme kejiwaan yang melayang-layang tak karuan; bukan akal budi,
tetapi akal bulus. Individu yang larut dalam kejamaahan biasanya lepas dari
otonomi dirinya dan yang tersisa adalah sebuah gambaran tak ubahnya karnaval
bebek yang digiring tuannya dengan langkah dan suara yang seragam, patuh,
pasif, dan nyaris tanpa inisiatif.
Apa yang disampaikan tuannya pasti benar dan
harus selalu benar. Perilaku tuannya, walaupun keliru, dicarikan alasan
pembenarannya karena sejak awal sudah diyakini suci dan keturunan orang-orang
suci.
Kehadiran bersama
Tentu saja dalam konteks keindonesiaan yang
heterogen yang diperlukan bukan pandangan politik-keagamaan yang partisan dan
selalu menatap ”lian” sebagai neraka, tetapi justru kebalikannya. Orang lain adalah surga. Indonesia dikatakan
Indonesia karena keragamannya yang tak tepermanai. Karena ada Sunda,
Minang,Jawa, Makassar, Batak, Bali, dan lain sebagainya yang sudah bersepakat
mengikatkan diri dalam NKRI lengkap dengan budaya, bahasa, dan kepercayaannya
yang berbeda.
Kesempatan perjumpaan dengan liyan adalah
momen-momen berharga untuk semakin mendewasakan kedirian kita. Prinsip yang
harus dikedepankan adalah peneguhan bahwa liyan merupakan jembatan untuk
mencapai transendensi. Atau dalam istilah Marcel, kehadiran orang lainsebagai
”ada” yang wajib dan tak terelakkan agar kita bisa mencapai wujud eksistensi
paling hakiki. Relasi dengan liyan selalu mengandung arti ”ada bersama”, esse est co esse.
Seseorang bisa mengenal dirinya tidak dengan
cara menafikan liyan, apalagi membuat orang lain tak berdaya karena
keterampilan kita berbohong, kecermatan berdusta, ngomong berbusa-busa lewat
toa,dan memanipulasi fakta dan menyelewengkan tafsir agama, tetapi justru pengenalan
diri itu harus dilakukan lewat kesediaan membuka terhadap kehadiran yang
lain. Diri yang otentik itu diletakkan dalam makam sikap perlakuan baik terhadap
yang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan orang lain dengan baik, jujur,
dan penuh penghormatan.
Ziarah diri dalam menuju kebersamaan luhur dan
persekutuan jujur ini tentu saja mensyaratkan terpenuhinya tiga imperatif
dari sikap zuhud. Pertama, kesediaan melepaskan egosentrisme. Kedua, menanggalkan
watak-watak merasa benar sendiri. Ketiga, kesanggupan untuk tidak pernah
memonopoli kebenaran. Atau, dalam istilah Marcel sebagaimana dikutip Mathias
Haryadi (1994), hubungan antarpribadi yang otentik seperti itu mengandaikan terlibatnya
cinta yang bisamenyatukan ”aku-engkau” menjadi kita.
Cinta yang menandai hubungan intersubyektif
itutampil secara nyata dalam sikap batin berupa: pertama, kerelaan untuk
terbuka (disponibilite); kedua,
kesediaan untuk terlibat (l’engagement),
dan ketiga, kesetiaan untuk selalu memperbarui hubungan itu (fidelite creatrice).
”...Jika orang lain tidak ada, maka aku pun
tidak ada lagi. Aku tidak dapat bereksistensi kalau orang lain juga tidakbisa
demikian. Kesempatan-kesempatan dan pertemuan dengan orang lain bukanlah
merupakan fakta yang kontingen—jadi yang bersifat ada dan boleh tidak
ada—melainkan fakta yang inheren pada cara kita bereksistensi, yaitu berada
di dunia, hidup di dunia”
Jangkar utama
Cinta sebagai jangkar utama relasi
antarpribadi itu dilangsungkan dan dibina. Cinta sebagai undangan yang
dialamatkan kepada kita untuk dipenuhi setiap saat karena di dalamnya
menjanjikan tergelarnya tindakan politik penuh kebajikan, ekonomi yang
dikelola secara merata, hukum yang memberikan kepastian tegaknya keadilan.
Apalagi, dalam konteks agama cinta sudah
sangat jelas merupakan substansi dari kepercayaan. Diturunkannya Nabi
Muhammad adalah ”menebarkan cinta kasih kepada seru sekalian alam”. Nabi Isa
terkenal sebagai pribadi kasih. Sidharta Gautama melepaskan seluruh kesenangan
duniawi demi menyambut fajar kasih sayang. Rahmatan lil alamin memang diksi
Al Quran, tetapi hakikatnya semua agama mengajarkan hal yang sama hanya
menggunakan istilah berbeda.
Dalam bahasa Arab, cinta terangkum dalam kata
hubb atau lebih populer lagi mahabbah. Hubb secara harfiah artinya biji.
Dikatakan demikian sebab cinta merupakan biji dari agama. Inti kehidupan.
Hakikat kebaktianseperti dengan sangat memukau tergambarkan dalam syair Rumi
yang meneguhkan betapa ketika cinta melepuh hal ini sudah lebih dari cukup
untuk menyeret bumi manusia ke tubir kehancuran mengerikan. Cinta adalah
lautan tak bertepi/Langit hanyalah serpihan buih belaka/Ketahuilah langit
berputar karena gelombang cinta: andai tak ada cinta dunia akan membeku
Kata Sang Nabi, ”Cintailah semua yang ada di
bumi, engkau akan dicintai oleh yang ada di langit.” Atau, ”Tidaklah beriman
seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.”
Kalau Rene Descartes dahulu menyerukan bahwa
segala sesuatu harus disangsikan, maka bagi Hamlet ada pengecualian, yaitu
cinta saperti dalam seruannya kepada Ophelia dalam dramanya William
Shakespeare: Sangsikan bahwa bintang-bintang itu api/jangan begitu
sajapercaya matahari itu bergerak/ kebenaran itu tak mustahil hanyaserpihan
dusta/Tapi jangan ragukan cintaku.
Itulah cara menyikapi kebinekaan. Jika tidak,
nasib kebinekaan sedang menuju ke arah gelap: sebuah arus balik yang tidak
kita harapkan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar