Angket
dan Pelemahan KPK
Emerson Yuntho ; Anggota
Badan Pekerja—Divisi Penggalangan Dana Publik, Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 09 Mei 2017
Meski diwarnai
interupsi dan aksi walk out, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada
Jumat (28/4) menyetujui pengajuan hak angket untuk mempersoalkan kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi. Alarm tanda bahaya atas eksistensi KPK kembali
berbunyi.
Pengajuan hak
angket ini pada awalnya muncul dari rapat dengar pendapat antara DPR dan KPK
yang berlangsung Selasa (18/4) hingga Rabu (19/4) dini hari. Dalam rapat
tersebut KPK menolak permintaan Komisi Hukum DPR untuk membuka rekaman
pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang kini menjadi
tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi pengadaan KTP
elektronik (KTP-el).
Tak hanya
memaksa membuka rekaman pemeriksaan, dalam perkembangannya usulan hak angket
kemudian juga berupaya menyelidiki temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan
terhadap KPK dan bocornya dokumen penyidikan maupun penuntutan.
Dari aspek
hukum, langkah DPR mengajukan hak angket DPR kepada KPK adalah salah sasaran
dan di luar kelaziman. Hak angket DPR hanya tepat ditujukan kepada kebijakan
pihak pemerintah dan bukan kepada lembaga penegak hukum yang independen. Hal
itu jelas terlihat dalam pengertian hak angket sebagaimana disebutkan dalam Pasal
79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD
(UU MD3).
Dalam
ketentuan tersebut dikatakan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Hak angket
adalah salah satu hak yang dimiliki oleh DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan
legislatif atas kebijakan eksekutif. Selain hak angket, fungsi pengawasan
yang dimiliki DPR adalah hak interpelasi (mengajukan pertanyaan), hak
menyatakan pendapat, serta rapat kerja komisi DPR dengan pemerintah.
Manuver hak angket DPR
Dalam pantauan
ICW sejak tahun 2004 hingga April 2017 sudah ada 16 kali upaya DPR untuk
mengajukan hak angket terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tidak ada satu pun yang berkaitan kebijakan di luar pemerintah. Beberapa hak
angket yang digulirkan dan cukup alot adalah penyelamatan (bail out) Bank
Century dan mafia perpajakan.
Tanpa dasar
hukum yang kuat, pengajuan hak angket yang digulirkan justru dinilai sebagai
upaya intervensi politik atau pelemahan terhadap proses hukum yang dilakukan
komisi antikorupsi ini. Apalagi KPK sedang berupaya menuntaskan kasus korupsi
proyek pengadaan KTP-el yang diduga melibatkan banyak politisi dan bahkan
pimpinan DPR dan juga skandal mega korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).
Sementara di
sisi lain, persetujuan DPR soal hak angket untuk KPK juga akan semakin
memperburuk citra parlemen di mata publik. DPR sering kali dinilai tidak pro
pemberantasan korupsi dan juga KPK. Apalagi pada Maret 2017 lalu, survei
Global Corruption Barometer 2017 yang diadakan Transparency International
menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia (Kompas.com, 7/3).
Sulit diterima
dengan akal sehat jika DPR beralasan pengajuan hak angket untuk KPK ini hanya
sekadar untuk menjalankan fungsi pengawasan. Publik lebih melihat hak angket
sebagai upaya pelemahan daripada memperkuatlembaga antikorupsi ini. Konflik
kepentingan pastinya lebih kuat daripada fungsi pengawasan.
Sudah menjadi
rahasia umum sejak KPK mulai fokus pada sektor korupsi politik, relasi antara
komisi antikorupsi dan parlemen terkesan tidak harmonis. Apalagi dalam
sepuluh tahun terakhir, KPK telah menjerat lebih dari 86 anggota DPR dan
sejumlah pimpinan partai politik.
Pengajuan hak
angket DPR pada akhirnya menambah panjang deretan upaya yang dinilai dapat
melemahkan KPK.
Pelemahan KPK oleh DPR
Dalam catatan
ICW sejak sepuluh tahun terakhir setidaknya ada 15 upaya pelemahan atau
perlawanan balik terhadap lembaga antikorupsi. Dari 15 upaya, delapan di
antaranya berasal dari politisi di Senayan.
Selain
pengajuan hak angket, potensi pelemahan KPK yang diusung politisi Senayan
misalnya saja mendorong wacana pembubaran KPK, penolakan anggaran KPK, upaya
melakukan revisi Undang-Undang KPK yang substansinya berupaya memangkas
sejumlah kewenangan KPK, intervensi dalam proses penyidikan dan penuntutan,
serta pengajuan nota keberatan terhadap proses pencekalan pimpinan DPR.
Meski sejumlah
kalangan menyatakan KPK tidak perlu takut menghadapi hak angket dari DPR
karena tak memiliki konsekuensi hukum dan KPK juga memiliki hak tolak untuk
membocorkan informasi yang dikecualikan oleh Undang-Undang Keterbukaan
Informasi, upaya politik sedikit banyak pastinya akan memengaruhi proses
hukum yang sedang dijalankan oleh KPK.
Sebaiknya
sejumlah politisi dan partai politik di DPR berpikir ulang dan membatalkan
usulan pengajuan hak angket serta membiarkan proses hukum berjalan
sebagaimana mestinya. Selain karena dinilai tanpa dasar hukum, hak angket
untuk KPK—sekali lagi—tidak memberikan manfaat bagi partai politik dan juga
DPR dalam memperbaiki citranya di mata publik. Hal ini pastinya akan
memberikan pengaruh pada penilaian publik kepada politisi dan partai politik.
Apalagi proses
pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden tahun 2019 tidak akan lama
lagi. DPR seharusnya menjadikan KPK sebagai mitra strategis parlemen dalam
upaya pemberantasan korupsi, bukan justru sebaliknya dijadikan musuh atau
berupaya dilemahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar