Ahok
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 15 Mei 2017
Ahok ada,
pernah ada, akan ada. Tempatnya lain, waktunya berbeda, tapi tiap kali kita
akan ingat ketika ketidakadilan berhasil menghukum orang yang tak bersalah,
ketika politik, kebencian, dan purbasangka disebut "hakim".
Di Prancis, di
akhir abad ke-19, Ahok bernama Alfred Dreyfus. Ia opsir pasukan artileri,
seorang keturunan Yahudi dari daerah Alsace, di timur laut Prancis, di
perbatasan dengan Jerman. Ia didakwa membocorkan rahasia militer ke pihak
Jerman; dengan bukti yang terlalu tipis, ia dinyatakan bersalah melalui
proses pengadilan militer yang tertutup. Ia dipecat dengan tak hormat.
Pada 5 Januari
1895, sebuah upacara digelar di halaman lâÃcole Militaire di
Champ-de-Mars, Paris, untuk mempertontonkan pemecatan itu ke depan publik.
Perwira yang dianggap pengkhianat itu harus mematahkan pedangnya di lutut
pejabat yang menghukumnya. Medalinya direnggutkan dari baju seragamnya yang
dirobek dan ia disuruh berjalan berkeliling lapangan, untuk diludahi dan
dicemooh. Dreyfus tetap mencoba menyuarakan kesetiaannya kepada Prancis, tapi
khalayak berteriak terus, "Yahudi jorok! Pengkhianat!" Yang
terhasut dan penghasut bersatu. Seorang wartawan sayap kanan yang terkenal,
Maurice Barrès, menulis dengan penuh kebencian: ia gambarkan bagaimana
kacamata Dreyfus bertengger di hidungnya yang "etnis", yang Yahudi,
dan bagaimana sosok tubuhnya yang "asing" menimbulkan rasa mual
bagi yang melihatnya.
Kemudian ia dibuang
ke Pulau Iblis, nun di Amerika Selatan, dijaga ketat, untuk seumur hidup.
Seluruh proses
adalah sebuah skandal. Bukti untuk menghukum Dreyfus hanya sebuah tanda
tangan pada bordereau, memo rahasia seorang perwira Prancis di Markas Besar
yang berisi penawaran informasi kepada atase militer Jerman. Tanda tangan itu
tak cocok dengan tanda tangan Dreyfus, tapi penyidik menandaskan bahwa
ketidakcocokan itu karena "dipalsu".
Empat tahun
kemudian, kesewenang-wenangan ini terungkap, berkat kerja keras Mathieu, adik
Dreyfus, yang mengumpulkan data dan koneksi untuk membuktikan sesatnya
pengadilan kakaknya. Kecaman mula terdengar, kian lama kian keras, kepada
kalangan militer yang menutup-nutupi kepalsuannya.
Kasus pun
dibuka kembali. Seorang perwira lain, Mayor Esterhazy, kini dituduh, dengan
bukti yang lebih meyakinkan, sebagai si pengkhianat. Tapi para pembesar
tentara tetap mempertahankan posisi dan institusi mereka, dan vonis bagi
Dreyfus tak berubah. Di saat itulah Emile Zola menyiarkan sebuah pamflet,
"Jâaccuse" ("Aku menuduh"). Sastrawan besar itu
mengarahkan telunjuknya ke muka jenderal dan kolonel yang memanipulasi
peradilan.
Tapi
kata-katanya melampaui sekadar amarah. Ia menulis dalam pamflet itu:
"Satu kejahatan untuk meracuni pikiran orang-orang yang halus budi dan
bersahaja, dengan mengobarkan gelora reaksionisme dan antitoleransi.... Satu
kejahatan untuk memanfaatkan semangat patriotik dengan melayani
kebencian."
Polemik pun
membelah masyarakat Prancis. Zola diadukan sebagai pemfitnah. Ia diadili-dan
melarikan diri ke Inggris. Kian tajam ketegangan antara para
"Dreyfusard", yang yakin Dreyfus tak bersalah, dan mereka yang
meneriaki perwira itu sebagai "Yudas", nama Yahudi yang
mengkhianati Yesus.
Purbasangka
rasial jadi api. Anti-Semitisme menyusup dalam ke masyarakat Katholik Prancis
yang juga membawa panji-panji anti-asing. Juru bicara rasialisme, seperti
harian Katholik La Croix dan koran Ãdouard Drumont, La Libre Parole,
menebarkan benih paranoia sosial yang kian akut.
Pada gilirannya,
Kasus Dreyfus memicu gerakan Zionisme yang meyakini perlunya umat Yahudi-yang
ditolak bahkan di Prancis-punya tanah air sendiri.
Tapi
cerita-cerita besar tak punya satu faset. Pendiri Zionisme, Theodore Herzel,
justru percaya Dreyfus bersalah. Di sisi lain Dreyfus sendiri tak melihat ia
dianiaya karena ke-Yahudi-annya. Ia meyakini republik yang ia cintai tetap
republik dengan cita-cita Revolusi Prancis yang memisahkan agama dari
kekuasaan politik dan mengakui hak yang sama bagi setiap orang.
Tapi baru pada
1906, haknya dipulihkan. Ia diterima kembali di ketentaraan dengan pangkat
dinaikkan jadi mayor dan menerima bintang la Légion dâ honneur.
Memang ada
yang lain yang penting, dan merisaukan, dalam kisah Dreyfus di Prancis abad
ke-19 seperti halnya cerita Ahok di Indonesia abad ke-21. Sebagaimana ditulis
Adam Gopnik dalam The New Yorker 28
September 2009, Kasus Dreyfus penting diingat karena di sana tampak bagaimana
sejumlah besar orang yang penuh senyum ternyata mudah melibatkan diri dalam
kebencian yang brutal-kebencian yang terbit dari keyakinan agama.
"Kebencian dan perilaku bigot bukan sisa masa lalu yang dikuasai
takhayul," tulis Gopnik, "tapi seunggun api yang hidup-yang mudah
datang dan membakar."
Dari Ahok ke
Ahok: agama memang tampak memisahkan diri dari apa yang semula jadi akar
rohaninya sendiri: kerinduan akan kebenaran, kerinduan akan keadilan,
kerinduan akan damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar