Ahok
dan Transubstansiasi Politik
Max Regus ; Kandidat
Doktor School of Humanities, University of Tilburg, Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2017
HARIAN Umum Media Indonesia (12/5/2017)--dalam editorial
‘Di Balik Simpati kepada Basuki’--menarik satu garis permenungan dalam
rangkaian reaksi terkini terhadap pengalaman personal ‘Basuki Tjahaja
Purnama’ (Ahok). Dalam kerangka ‘melihat’ sesuatu yang berada di balik
kenyataan (latensi) fisik-politik kekinian, persoalannya bukan lagi pada
‘keterpesonaan’ momental belaka terhadap satu penampilan politik (kekuasaan)
individual, melainkan sebuah proses menemukan dan membela ‘nilai
keberpihakan’ politik pada kemaslahatan umat (rakyat).
Tentu saja, Basuki (Ahok) bukan hanya semata kisah
perjuangan ‘seorang’, melainkan juga mempresentasikan kemunculan segelintir
pelaku politik yang menunjukkan tindakan kekuasaan yang ‘tidak biasa’,
terutama bagi sebagian warga yang telah sekian lama berdiri di sisi terjauh
hiruk-pikuk politik. Ini juga tentang sebuah aliran dukungan publik yang
secara perlahan menunjukkan satu hal bahwa berada terlalu jauh dari diskursus
politik justru membuat mereka tahu bagaimana pedihnya wajah mereka ketika
dilempar ‘batu kemaruk’ para penguasa.
Pada usaha menemukan ‘latensi’ dari fenomena yang mencuat
dari tindakan kekuasaan ‘segelintir’ pelaku politik yang mencuri perhatian
dan dukungan publik, tiga aspek dapat diangkat ke permukaan.
Pertama, komparasi
Telah berada pada jangka waktu yang sangat lama, publik
tidak menemukan ‘tindakan radikal’ dalam banyak kebijakan politik. Proses-proses
politik dan demokrasi hanya menghasilkan dan memunculkan portofolio politik
yang monoton, belum terbilang kelakuan politik elitis yang menjemukkan.
Sederhananya, pilihan kebijakan politik propublik--yang tidak hanya mentereng
dalam ranah verbalisme kekuasaan belaka--nyatanya belum menjadi pengalaman
yang jamak.
Kelakuan politik ‘racikan’ orang-orang seperti Jokowi,
Ahok, Risma, dan sederet figur lainnya di panggung kekuasaan memunculkan
bahan perbandingan (komparasi) bagi publik tentang bagaimana semestinya
para pejabat publik memperjuangkan rakyat. Juga ketika mereka
‘terpaksa’--kelihatan kasar--dalam membereskan kekacauan dan persoalan
krusial warisan masa lalu. Orang-orang seperti ini menjadikan diri mereka
sebagai ‘bahan perbandingan’ yang secara lekas mencuri dukungan publik.
Publik--dengan sisa harapan yang begitu kecil dalam
impitan pesimisme terhadap kekuasaan yang kehilangan muruah
kerakyatan--menemukan kembali harapan mereka terjaga dalam tapa-laku
kekuasaan sedikit tokoh ini. Di tengah atmosfer yang terkunci pada
kesempitan, sebagian publik bergembira karena masih ada tokoh-tokoh politik
yang menawarkan ‘jalan baru’ berkekuasaan. Publik kini menggenggam satu
patokan tentang ‘code of conduct’ para pelaku politik-kekuasaan.
Kedua, kristalisasi
Pada titik berikut, sikap-sikap politik yang menghasilkan
‘comparative values’ (nilai-nilai komparatif) merembes ke dalam kesadaran
publik. Itu seperti ‘pancingan’ yang menjalar ke dalam kesadaran politik
masyarakat. Pada titik awal, politik kembali menjadi salah satu medan
perhatian publik. Banyak orang menyesal karena pada kurun waktu waktu lama
mereka ‘alergi’ terhadap politik. Ketika mereka menjauh dari keterlibatan dalam
proses-proses edukasi kritis terhadap publik. Ketika mereka dengan enteng melepaskan
proses-proses demokrasi kepada tangan-tangan sesat.
Sikap tanggap (positif) terhadap kinerja dan integritas
politik ‘satu-dua’ pelaku politik di panggung kekuasaan pada titik tertentu
tidak lagi menjadi pengalaman individual. Bantuan yang dialami tidak bersifat
pribadi lagi. Cerita-cerita beredar dari orang ke orang, dari keluarga ke
keluarga, komunitas ke komunitas, tentang langkah-langkah progresif dan
komprehensif sedikit pelaku politik ini, dalam menempatkan kebutuhan publik
di atas budaya ‘kongkalikong’ yang mengakar dalam tubuh kekuasaan.
Proses alamiah sedang berlangsung. Tanggapan-tanggapan itu
sedang ‘mengkristal’ dan membentuk satu titik acuan dalam ekspektasi publik
tentang bagaimana semestinya ‘negara’ bertindak dan berkelakuan di hadapan
kebutuhan publik. Di satu sisi, publik memiliki ‘standar tetap’ tentang
sistem, kultur, dan figur dalam dalam ranah politik yang dianggap mumpuni
menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan. Di sisi sebelahnya, publik
memiliki ‘referensi’ konkret dalam proses kritis mengawal kekuasaan.
Ketiga, transubstansiasi
Pada level lain, politik sudah keluar dari ‘ukuran-ukuran’
konvensional--baik sebagai konsep atau sebagai perilaku kekuasaan--yang
selama sekian lama menjejali cara pikir publik dan negara. Itu terlihat
ketika misalnya penerapan-penerapan ‘gaya baru’ manajemen birokrasi terasa
sebagai sesuatu yang mengganggu ‘sistem’ yang diterima sebagai biasa dan
benar dalam periode masa tertentu. Pada titik ini, sebagian publik terpicu
kenyataan--di satu pihak mengerasnya keangkuhan para penguasa yang
menyebabkan kerusakan. Di pihak lain melihat kegigihan segelintir pelaku
politik dalam mengusung kebaikan untuk semua yang ditaruh dan diperjuangkan
dalam kerangka kebijakan politik.
Publik melihat sesuatu yang lain--melebihi sosok tertentu
dalam kekuasaan semisalnya--tentang politik dan orang-orang politik.
Tokoh-tokoh politik ‘gaya baru’ ini ialah mereka yang hendak merobohkan
‘pakem’ yang coba diabadikan dalam konstruksi kekuasaan dan mengekang
persepsi publik. Mereka tetap hadir sebagai sekelompok politikus yang
menerobos batas nalar dan kebiasaan dengan segala risiko yang mereka terima
dari sedikit ruang kekurangan personal yang mereka tunjukkan.
Ketika tu, pada masa kini, melalui integritas dan profesionalisme
segelintir tokoh politik ini--politik pada dirinya sendiri mengalami proses
‘transubstansiasi’ yang mencolok. Politik seolah berada pada bentuknya--pada
proses-proses yang terlihat seperti biasa--tetapi sesungguhnya politik sudah
menemukan makna baru dalam ruang keprihatinan publik.
Itu terlihat pada ‘kesetiaan’ komunitas-komunitas sosial
berdiri bersama tokoh-tokoh politik yang sedang ‘dirundung’ masalah.
Politik—karena tata kelola kekuasaan yang semakin bersih di tangan
orang-orang baik dan tangguh--sedang meninggikan maknanya. Gelombang dukungan
kepada seorang Ahok--sebagai contoh--telah melampaui cara pandang politik
formal belaka, yakni proses ‘merayakan’ nilai-nilai utama yang sedang tertemu
di satu titik--pada kesadaran publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar