Ahok
Bukan Nelson Mandela
Muhammad Al-Fatih Hadi ; Anggota
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Uni Emirat Arab; Sedang menempuh
pendidikan di Al-Ain
|
DETIKNEWS, 12 Mei 2017
Setelah
ketukan palu hakim yang memvonis hukuman dua tahun penjara kepada Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, banyak orang yang menyamakan Gubernur Jakarta itu
dengan Nelson Mandela, tokoh ikonik yang pernah menjadi presiden Afrika
Selatan setelah dipenjara selama lebih dari dua puluh tahun.
Tapi, bagi
saya Ahok bukanlah Nelson Mandela.
Di awal
reformasi, ketika (Presiden) Gus Dur menyatakan permintaan maafnya secara
pribadi terhadap korbanaan maaf tersebut tidak lebih dari basa-basi.
Goenawan
Mohamad kemudian menanggapinya dengan mengatakan bahwa Pramoedya sebaiknya
belajar dari Nelson Mandela, yang mau memaafkan orang-orang kulit putih yang
sebelumnya memberinya hukuman penjara seumur hidup.
Nelson Mandela
mengambil sikap berbeda dengan apa yang dilakukan Yahudi Zionis (sengaja saya
beri tambahan "zionis", karena tidak semua orang Yahudi mendukung
pendudukan Israel atas Palestina), ketika mereka seolah-olah menganggap apa
yang dilakukan pemerintahan Hitler kepada mereka menjadi pembenaran atas apa
yang mereka lakukan terhadap penduduk Palestina.
Tapi, tidak
semua korban harus mengalah. Tidak semua korban harus mengambil sikap pasif.
Banyak revolusi, perubahan, dan kemerdakaan yang tidak akan terjadi jika para
korban memilih untuk bersikap pasif.
Toh, Mahatma
Gandhi dibiarkan oleh pemerintah Inggris justru karena sikap pasifnya yang
tidak melakukan perlawanan bersenjata, berbeda dengan sikap tokoh India lain
yang memilih melawan. Kemerdekaan, revolusi, atau perubahan tidak selalu
berhasil dengan cara Gandhi.
Karenanya,
ucapan Gandhi "jika mata dibalas mata maka semua orang akan menjadi
buta" menurut saya terlalu naif. Saya lebih memilih dua ayat Al-Qur'an;
yang satunya menyatakan bahwa "mata dibalas mata, gigi dibalas gigi,
tapi lebih baik untukmu bersabar", dan satunya lagi menyatakan,
"barang siapa menyelamatkan satu jiwa maka seolah-olah dia menyelamatkan
jiwa seluruh dunia, dan barang siapa membunuh satu jiwa tanpa hak maka dia
seolah-olah membunuh seluruh jiwa di dunia."
Sebelumnya,
saya merasa apa yang diucapkan Ahok di Kepulauan Seribu, ataupun
kengototannya atas ketidakbersalahannya atas ucapannya itu, adalah sesuatu
yang benar-benar tidak perlu.
Tapi, saya
tidak tahu rasanya berada di posisi Ahok. Saya tidak tahu rasanya berada di
posisi korban; yakni, posisi orang Tionghoa di masa Orde Baru sebagai warga
"kelas dua".
Kejadian Mei
'98 ketika rumah orang-orang Tionghoa dihancurkan, dan banyak wanita
keturunan Tionghoa diperkosa sehingga membuat banyak wanita yang memakai
mukena sebagai pelindung identitas, dan rumah-rumah ditandai dengan tulisan
'Milik Pribumi', tentu saya yakini memberi trauma mendalam kepada mereka.
Juga, mungkin kepada Ahok.
Maka ketika
Ahok ngotot bahwa apa yang diucapkannya di Kepulauan Seribu tidak salah (yang
menurut hasil sidang menjadi salah satu hal yang memberatkannya), itu adalah
teriakan seorang korban yang tidak rela disuruh begitu saja meminta maaf.
Apalagi ucapan
itu bukan dimaksudkan untuk menyinggung kaum muslim maupun Al-Qur'an,
melainkan untuk menyinggung orang-orang yang menyalahgunakan ayat-ayat dalam
Al-Qur'an demi kepentingan politik dan kekuasaan. Orang-orang seperti itu,
dalam Al-Qur'an pun disebutkan sebagai "orang-orang yang menjual
ayat-ayat Al-Qur'an dengan harga yang murah."
Dan, untuk
menutup tulisan ini saya ingin mengutip kata-kata Fidel Castro yang saya rasa
mungkin diucapkan Ahok dalam hatinya saat ia mengacungkan dua jari berbentuk
huruf V ke arah wartawan; kata-kata dalam bahasa Spanyol yang juga dikutip
Banda Neira dengan sedih tapi tegar dalam lagu mereka berjudul 'Tini dan
Yanti':
La historia me absolvera! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar