Pendidikan
Moral Kita
Anton Prasetyo ;
Direktur Madrasah Diniah Baitul Hikmah
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2017
ADAGIUM 'satu
teladan lebih baik daripada seribu kata-kata' kiranya sangat tepat diterapkan
dalam pendidikan moral anak-anak. Beberapa karakter positif yang menempel
pada diri setiap orang-orang bukan berasal dari ujaran para guru di sekolah,
melainkan teladan positif dari orangtua dan para figur otoritas. Jika ada
ujaran-ujaran guru yang tertanam, rerata hanyalah sebagai penguat atas
teladan yang telah diberikan orangtua dan figur otoritas. Dalam pada itulah,
keberadaan orangtua dan figur otoritas tidak berada pada lembaga pendidikan
formal, melainkan nonformal dan informal.
Karena itu,
kesimpulan sementara bahwa pendidikan moral lebih banyak diserap dari lembaga
nonformal dan informal ialah benar. Permasalahan yang saat ini menggejala di
masyarakat kita ialah banyak orangtua yang menginginkan anak mereka cakap
dalam bidang intelektual dan moral dengan hanya memperhatikan pendidikan
formal. Mereka lupa bahwa pendidikan formal lebih banyak memberikan
pendidikan yang bersifat intelektual dan pengetahuan bukan praktik di
lapangan. Lebih-lebih dalam bidang moral, pendidikan di lembaga formal seakan
hanya memberikan pengetahuan. Padahal, moral bukan saja pengetahuan,
melainkan menanamkan nilai ke dalam hati sehingga siswa dapat tergerak untuk
mempraktikkan, yakni selalu berperilaku positif.
Lembaga formal
Idealnya ialah
pendidikan formal sudah mampu mengover seluruh kebutuhan pendidikan siswanya.
Hanya saja, idealitas tersebut masih terus terbentur dengan realita yang
belum bisa sepadan. Banyak hambatan yang terjadi di lapangan manakala
idealitas tersebut harus semuanya terlaksana menjadi realita. Tidak dapat
dimungkiri, banyak guru yang tidak mencerminkan moral positif ialah
penghambat utama kekurangefektifan pendidikan moral di lembaga formal. Hingga
saat ini, masih ada guru yang tidak sadar duduk di meja setengah berdiri saat
menerangkan pelajaran, berkata-kata negatif, dan perilaku negatif lain. Semua
itu, jika dilakukan di hadapan siswa, justru merusak pendidikan moral positif
yang pernah diterimanya.
Bermula dari
sini, para orangtua mesti menyadari dan menerima kenyataan pendidikan yang
ada di negeri ini. Kesadaran itu bukan berarti harus menuntut agar pemerintah
segera membenahi pendidikan secara instan. Hingga saat ini, pemerintah tidak
kurang-kurangnya untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk
moral siswa. Hanya saja, semua itu masih dalam proses. Orangtua mesti
bersabar dalam menunggu keberhasilan pemerintah dalam membenahi pendidikan
yang ada. Hal yang mesti diperhatikan setiap orangtua dari para siswa ialah
memfokuskan diri pada pendidikan moral anak bukan pada lembaga pendidikannya.
Jika saat ini lembaga pendidikan formal belum bisa memberikan pendidikan
moral secara memadai dan ada alternatif lain sehingga anak bisa
mendapatkannya, langkah tersebut yang mesti ditempuh. Dalam pada itulah,
kolaborasi antara lembaga pendidikan nonformal dan informal ialah dua lembaga
yang dirasa mampu memberikan pendidikan moral secara memadahi.
Perlu
diketahui, dua jalur lembaga pendidikan tersebut bukan menjadi saingan
terhadap pendidikan formal, melainkan sebagai pelengkap. Hal itu telah
tertuang di dalam Pasal 13 ayat 1, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa 'Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya'.
Artinya, para orangtua mesti memberikan pendidikan kepada anak sebaik-baiknya
dengan cara mengolaborasikan dari ketiganya. Jangan sampai dari ketiganya ada
yang timpang.
Lembaga informal
Jika
pendidikan formal berupa pendidikan yang sudah jamak diikuti para siswa,
yakni pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, menengah, atas, dan
tinggi, pendidikan nonformal adalah jalur di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Selain itu, pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Lembaga pendidikan
nonformal contohnya kejar paket, taman pendidikan Alquran (TPA), dan madrasah
diniah.
Sementara itu,
pendidikan dini yang dilakukan keluarga atau masyarakat sekitar secara
mandiri ialah contoh pendidikan informal. Terhadap keberadaan ketiga jenis
lembaga pendidikan yang ada, mayoritas masyarakat Indonesia mengetahuinya.
Hanya saja,
kesibukan orangtua menjadi sebab utama untuk tidak memperhatikan pendidikan
anak di sekolah nonformal dan informal. Apalagi, pendidikan itu tidak
memiliki bukti fisik yang dapat 'dijual' untuk meraih pekerjaan ataupun
popularitas. Jika ada sertifikat atau ijazah dari sekolah nonformal ataupun
informal, semua itu seakan hanya diberikan sebagai penghargaan atas proses
dan capaian yang telah didapatkan. Bermula dari sinilah, bukan tak mungkin banyak
anak yang tidak mengenyam pendidikan nonformal dan informal. Karena itu, yang
terjadi pendidikan moral mereka masih jauh dari yang mesti dicapai. Kondisi
itu akan menyebabkan kebobrokan moral anak sehingga ke depan mereka akan
menjadi orang-orang yang cakap dalam bidang ilmu pengetahuan tetapi moral
mereka bobrok.
Padahal,
kebobrokan moral yang terjadi pada orang-orang berilmu akan lebih berbahaya
daripada orang awam. Ketika sebuah bangsa sudah dikuasai orang-orang pintar
tanpa memiliki moral, kehancuran pasti akan terjadi. Mereka dengan mudah akan
menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, korupsi, dan lain sebagainya. Rasa
kemanusiaan dan tanggung jawab yang mestinya digunakan sebagai pegangan hidup
tidak pernah ada pada dirinya. Kondisi memprihatinkan semacam itu mesti
mendapat perhatian penuh dari para orangtua. Jangan sampai anak-anak mereka
menjadi generasi penerus kejahatan karena krisis moral yang melanda. Berilah
anak-anak pendidikan yang cukup, baik pendidikan formal, nonformal, maupun
informal. Jangan sampai mereka hanya mendapatkan pendidikan formal yang akan
menjadikan cakap otak, tetapi bebal hati.
Sebaliknya, jangan sampai anak-anak hanya diberikan pendidikan
nonformal dan informal tanpa pendidikan formal sehingga mereka cerdas hati,
tetapi bebal pikiran. Keduanya harus diupayakan secara bersamaan. Adalah
tidak mustahil manakala orangtua sibuk bekerja, mereka beralasan tidak sempat
memperhatikan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan nonformal dan informal.
Lebih-lebih, saat ini tuntutan pekerjaan cukup menyita waktu. Ketika tempat
bekerja mengharuskan karyawan berada di kantor pukul 08.00-16.00, mereka
harus meninggalkan rumah sebelum pukul 07.00 dan sampai rumah lagi setelah
pukul 17.00. Padahal, sebelum dan setelah itu, mereka harus mengurus rumah
tangga dan beristirahat. Sementara itu, waktu untuk memikirkan anak seakan
tidak ada. Beratnya tantangan bagi orangtua untuk memikirkan anak bukan
berarti harus ditinggalkan. Tantangan tersebut mesti dilalui demi masa depan
anak yang penuh dengan kegemilangan disertai dengan moral yang mulia. Salah
satu tugas orangtua ialah mendidik anak-anak mereka. Mereka tidak saja akan
menemukan hasil pendidikan anak-anaknya selama di dunia, tetapi juga akan
menjadi catatan amal baik yang dapat dipetik di akhirat. Dengan begitu,
mendidik anak di sekolah formal lengkap dengan nonformal dan informal sama
halnya dengan mengupayakan generasi muda yang bermanfaat bagi nusa, bangsa,
serta agama. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar