Moralitas
dan Keteladanan
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2017
FENOMENA
maraknya perilaku sosial menyimpang yang diikuti oleh rendahnya kualitas
moral individu sangat terlihat akhir-akhir ini. Munculnya isu rasisme,
sektarianisme, dan diskriminasi yang mengelompok serta tak habis-hentinya
budaya koruptif penyelenggara negara, merupakan pertanda rendahnya moralitas
bangsa ini. Meskipun kita melihat ada begitu banyak peribadatan yang
dilakukan kaum beragama, simpul-simpul kemunafikan jelas tak bisa dibohongi
dengan banyaknya pemberitaan yang menunjukkan rusaknya moral masyarakat kita.
Padahal, masyarakat Indonesia terkenal sangat agamais, bahkan ideologi negara
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis perilaku moral. Namun,
kenyataan hari ini membuat kita bersedih.
Sebagai
pendidik, saya seringkali ditanya para mahasiswa dan orangtua, mengapa bangsa
ini sulit sekali untuk berubah kepada kemajuan secara ekonomi serta memiliki
keadaban perilaku yang baik dan konsisten. Jawaban saya selalu bermula dari
analisis terhadap kondisi pendidikan di Tanah Air: Indonesia hari ini ialah
cerminan dari produk pendidikan 40 tahun terakhir. Dalam 40 tahun terakhir
pemerintah kita tak meyakini secara tulus bahwa pendidikan merupakan aspek
paling penting yang harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan pertumbuhan
ekonomi. Namun, karena persoalan ekonomi juga tak kalah penting, bahkan
perkembangannya jauh lebih pesat dari sektor mana pun, akhirnya persoalan
pendidikan tidak menjadi prioritas utama yang diperhatikan pertumbuhannya.
Akibatnya
ialah benar masyarakat tetap bisa makan dan tidak kelaparan. Namun, relung
jiwa mereka kosong karena tak diisi oleh proses pertumbuhan sistem pendidikan
yang berorientasi pada moralitas. Bahkan seringkali pendidikan dijadikan
komoditas politik dan ditarik-tarik ke ranah hukum. Padahal, sejatinya
pendidikan ialah urusan moral semata.
Lemahnya ketauhidan
Dalam
perspektif teologis, makna tauhid identik dengan kemanusian. Artinya, tauhid
tak hanya sekadar meyakini akan keesaan Tuhan semata, tetapi lebih dari itu
ialah pemahaman tentang pentingnya penegakan rasa keadilan dan kesejahteraan
yang ditujukan untuk membangun kesatuan dan kebersamaan umat manusia. Jika
Tuhan telah membuat perbedaan dalam penciptaan-Nya, tauhid merupakan cara
agar kita berpikir dengan cara apa kita dapat menyatukan kemanusiaan.
Perbedaan pengetahuan, terutama yang diakibatkan oleh berbedanya sistem dan
kualitas pendidikan di dalam sebuah negara, jelas sekali membawa implikasi
serius terhadap status sosial dan ekonomi seseorang. Berbanding aspek
lainnya, pendidikan memiliki pengaruh dan peluang yang tak terbatas untuk
meningkatkan kesejahteraan sebuah bangsa.
Pendidikan
menjadi jalan setiap pemimpin bangsa harus menyadari kekeliruannya selama ini
karena salah dalam memgambil kebijakan di bidang pendidikan. Pendidikan ialah
masalah proses, menyangkut kesabaran dan daya tahan sebuah bangsa. Tanpa
keyakinan fundamental semacam ini jelas sebuah kekeliruan sedang berlangsung
tanpa kesadaran eskatologis sama sekali. Itu artinya pandangan ketauhidan
kita terhadap kemanusiaan patut dipertanyakan. Pendek kata, apa pun yang
menyangkut pendidikan seharusnya tetap diperjuangkan untuk mengubah kemanusiaan
yang lebih adil dan sejahtera. Banyak studi menyebutkan bahwa pengaruh
pendidikan juga berimplikasi secara luas terhadap pembangunan sebuah bangsa.
Bank Dunia dalam laporannya tak segan menyebutkan bahwa investasi di bidang
pendidikan ialah imperatif. Dikatakan, "Investment
in education benefits the individual, society, and the world as a whole, and
broad-based education of good quality is among the most powerful instruments
known to reduce poverty and inequality." (World Bank: 2009). Karena
itu, jika sebuah negara lalai dalam memenuhi kecukupan pembiayaan pendidikan
berdasarkan jumlah penduduknya, artinya negara tersebut sedang
mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat agar dapat hidup lebih baik dan
sejahtera. Implikasi sosial dan ekonomi dari pendidikan juga terbukti sebagai
pendekatan paling ampuh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara
(Z Oxaal, Education and Poverty, 1997).
Memahami keteladanan
Apa yang
terjadi dengan Indonesia setelah 70 tahun merdeka dan mayoritas penduduknya
menyatakan beragama dalam bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila)? Jelas
sekali tak ada pemaknaan secara eskatologis terhadap kebijakan pendidikan
kita selama ini. Pembangunan pendidikan seperti jalan di tempat, bahkan
seperti kehilangan akar dan ruhnya. Pendidikan kehilangan keteladanan karena
sumber keteladanan yang ada pada guru menjadi bias dengan kewajiban yang
sangat konstruktif dan formalistik. Keteladanan juga seakan menghilang dari
para ulama, tokoh masyarakat, pemimpin, dan penyelenggara negara. Sebagai
sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan budaya di
dalamnya, keteladanan seakan oase yang hilang dalam dunia pendidikan kita.
Banyak orang saat ini tak meyakini bahwa keteladanan muncul dari rasa
tanggung jawab yang dilahirkan dari kerja keras setiap hari secara ikhlas.
Hanya kerja keras dengan keikhlasan sajalah yang akan melahirkan sikap rendah
hati dan menumbuhkan sikap selalu ingin berbagi kepada orang lain.
Dari sudut
ini, keteladanan dan tanggung jawab akan memperoleh padanannya, yaitu
tumbuhnya spiritualitas yang memancarkan kemurnian jiwa seseorang dalam
menjalani hidup. Kazuo Inamori dalam A Compass to Fulfillment: Passion and
Spirituality in Life and Business (2010), menunjukkan banyak contoh bahwa
keberhasilan seseorang dalam meraih kesuksesan sesungguhnya lebih banyak
ditentukan oleh kerja keras yang ikhlas. Mungkin ada banyak orang yang
membayangkan bahwa membersihkan jiwa harus melulu melibatkan laku ritual
keagamaan tertentu sehingga kita merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Namun, bukti empirik di lapangan menunjukkan ternyata mencintai pekerjaan
secara bertanggung jawab dan mencontohkan keteladanan justru akan lebih cepat
mengantarkan seseorang memiliki kedalaman spiritual.
Mengajar,
sebagaimana bekerja, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas pasti
akan membawa seorang guru pada evolusi secara alami dalam jiwa yang akan
memperkuat karakter para guru sehingga pada akhirnya kita akan memperoleh
kemuliaan hidup dunia dan akhirat. Pendidikan kita harus terus menggali dan
mengkaji secara serius keterkaitan antara keteladanan dan tanggung jawab.
Artinya harus ada proses keterlibatan emosional, sosial, dan kognitif dalam
belajar.
Kata kuncinya
ialah pada bagaimana sekolah dan guru-guru memiliki sensitivitas yang secara
kreatif mendorong terciptanya struktur emosi dan prososial yang tinggi
terhadap lingkungan masyarakat. Sanna Jarvela dalam Social and Emotional
Aspects of Learning (2011) mengurai setidaknya empat hal yang perlu
diperhatikan dalam melihat hubungan antara pendidikan dan perilaku
masyarakat. Pertama, kajian tentang aspek motivasi belajar seperti
keingintahuan, atribut emosi, motivasi intrinsik dan eksrinsik harus terus
digali berdasarkan konteks sosial saat ini. Kedua, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengenali aspek emosinya secara cerdas juga penting
dilakukan, terutama untuk melihat hubungan antara emosi dengan kondisi
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, kajian terhadap interaksi sosial dengan bentuk-bentuk
pembelajaran di kelas juga perlu dieksplorasi melalui serangkaian riset
komprehensif. Adapun yang terakhir, keempat, penting untuk memperkenalkan
secara perlahan konsep self-regulation sebagai bagian dari pembentukan budaya
sekolah yang sehat. Semoga masih ada harapan untuk menumbuhkan tanggung jawab
dan keteladan dalam dunia pendidikan kita. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar