Siapa
Pilihan Rakyat Jakarta
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2017
HIRUK pikuk
kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) di 101 daerah, termasuk DKI
Jakarta, baru saja usai dua hari lalu (11/2). Kini kita memasuki hari tenang
yang akan disusul oleh hari pemungutan suara pada Rabu (15/2).
Kita berharap
sekitar 7 juta penduduk DKI Jakarta yang memiliki hak untuk memberikan
suaranya akan berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS). Kita juga
berharap tidak ada lagi intimidasi, baik berupa ancaman langsung maupun
melalui media sosial, kepada semua kelompok masyarakat yang berupa larangan
ataupun paksaan untuk memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu. Kita
juga berharap Pilkada DKI Jakarta pada 2017 ini bersih dari praktik-praktik
yang terkait dengan politik uang karena tanpanya rakyat Jakarta dapat
benar-benar memberikan suaranya sesuai dengan hati nurani mereka.
Setiap
pasangan calon (paslon), Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (1), Basuki
Tjahaja Purnama (alias Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat (2), dan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno (3), tentunya sudah memiliki konstituen pemilih
masing-masing. Konstituen pemilih ini bisa atas dasar dukungan partai,
kedekatan sosial-budaya, agama, ataupun rekam jejak paslon masing-masing.
Namun, dari
berbagai hasil survei yang dirilis, suatu kenyataan bahwa tidak ada paslon
yang pemilihnya tidak akan beralih pilihan, sekecil apa pun jumlahnya. Karena
itu, bukan mustahil masih akan terjadi perpindahan pilihan dari yang tadinya
akan memilih paslon tertentu ke paslon lainnya. Bandul perpindahan pilihan
(swing voter) ini bisa saja terjadi setelah mereka menonton televisi tiga
kali perdebatan yang dikelola KPU DKI Jakarta.
Dari tampilan
pada debat tersebut para calon pemilih dapat menilai secara jernih paslon
mana yang paling menguasai permasalahan di DKI Jakarta, memiliki program
kerja yang masuk akal unuk diimplementasikan, dan tentunya memiliki
kapasitas, pengalaman, dan rekam jejak yang baik untuk membangun Jakarta.
Jakarta serbakompleks
Jakarta ialah
ibu kota negara karena itu memiliki persoalan yang serba kompleks. Dilihat
dari penduduknya, tidak ada kelompok etnik yang dominan di DKI Jakarta. Orang
Betawi pun dari dulu hingga sekarang ialah kelompok etnik yang terbuka
terhadap etnik dan agama lain, bahkan telah menyerap berbagai budaya,
kebiasaan, makanan dan tingkah laku dari berbagai etnik yang datang dan
menetap di Jakarta. Karena itu, tidaklah elok jika ada individu paslon yang
mengajak masyarakat untuk memulangkan individu paslon lain ke kampung
halamannya pascapilkada, sementara ia sendiri bukan berasal dari etnik asli
Betawi!
Jakarta juga
bukan kota yang hanya dihuni oleh masyarakat dengan agama dan/atau etnik
tertentu. Berbagai agama dan etnik tumbuh dan berkembang di Jakarta bagaikan
bunga-bunga yang tumbuh subur di Taman Sari-nya Indonesia. Mereka menyatu
dalam derap kehidupan di ibu kota negara, saling menolong, saling berbagi,
saling menyapa, saling bersilaturahim dalam setiap kegiatan agama dan budaya,
bahkan dalam situasi suka ataupun duka. Karena itu, masa kampanye lalu yang
mengotak-ngotakkan warga Jakarta atas dasar agama, khususnya pada
November-Desember 2017, seakan menyebabkan kita hidup dalam situasi yang
mencekam dan dalam situasi bahaya. Kita
bersyukur masih banyak elite, baik elite penguasa negeri maupun nonpenguasa
negeri, elite agama maupun bukan agama, yang masih berpikiran waras untuk
menjaga harmoni kehidupan warga masyarakat dalam keberagaman yang memang
sudah menjadi keniscayaan di Indonesia.
Jakarta juga
dihuni oleh masyarakat dari berbagai golongan, dari golongan amat sangat kaya
raya, menengah, sampai yang kelompok masyarakat yang kurang mampu atau bahkan
tidak berpunya. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbagai golongan
agar manusia dapat saling bekerja sama, bukan untuk saling menghujat atau
bahkan meniadakan satu sama lain.
Membangun
Jakarta tentunya harus memiliki empati kepada rakyat miskin dan juga
keberanian untuk memaksa agar yang kaya memberikan lebih banyak lagi kepada
yang miskin dalam bentuk apa pun, ini demi menjaga harmoni di antara berbagai
kelompok masyarakat. Subsidi silang atau bentuk pajak dan retribusi apa pun
tentunya perlu dilakukan agar terjadi keseimbangan pembangunan.
Jakarta
merupakan kota yang dihuni pula oleh sebagian kalangan masyarakat yang belum
tentu patuh kepada hukum atau aturan negara.
Karena itu,
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta harus memiliki kepiawaian dalam
memimpin, kapan harus menggunakan kekuasaan dalam artian hard power untuk
memaksa warganya menuruti undang-undang, kapan pula harus menggunakan
soft-power untuk membujuk agar warga Jakarta menuruti aturan demi kebaikan
mereka sendiri.
Kepentingan elite nasional
Selama masa
kampanye tampak jelas betapa berbagai partai politik dan elite nasional
memiliki kepentingan di pilkada Jakarta. Megawati Soekarnoputri misalnya,
sebagai putri salah seorang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, ia
tentunya ingin agar Pancasila tetap menjadi ideologi negara dan Jakarta tetap
menjadi tempat yang nyaman bagi berbagai bangsa dan masyarakat Indonesia.
Mega juga
memiliki kepentingan agar PDI-P dapat menjadi pemenang kembali pada pemilu
serentak nasional pada 2019, baik pemilu legislatifnya maupun pemilu presiden
langsungnya. Partai-partai lain pendukung paslon 2 tentunya juga
berkepentingan agar tingkat keterpilihannya di Jakarta semakin baik pada
Pemilu 2019.
Bagi Presiden
ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, bukan saja berkepentingan agar dinasti yang
ia bangun dapat eksis melalui debut anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono di
pilkada DKI, dan mungkin ingin mengikuti langkah Presiden Joko Widodo
(Jokowi) yang melangkah apik dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta
dan kemudian Presiden RI. Dari tiga
calon Gubernur DKI Jakarta, hanya AHY yang tidak secara tegas dan eksplisit
menyatakan tidak akan maju sebagai calon presiden pada 2019.
Bagi Prabowo
Subianto, pilkada DKI Jakarta juga menjadi pertaruhan politik bagi Gerindra
untuk mengukuhkan sebagai partai nomor tiga atau bahkan nomor dua terkuat di
Indonesia. Prabowo juga berkepentingan agar paslon nomor 3 memenangi pilkada
di Jakarta agar dia dapat melangkah menjadi capres pada 2019.
Presiden
Jokowi tentunya juga memiliki kepentingan politik walau tidak secara nyata
mendukung pasangan Ahok-Djarot.
Jokowi-Ahok
berani mendobrak gaya kepemimpinan di Jakarta. Di masa pemerintahan
Jokowi-Ahok pula mulai dibangun MRT dan LRT melintasi Jakarta, proyek yang
sejak lama Gubernur Jakarta tidak mampu untuk melakukannya karena kurang kreatif
untuk mendanainya. Di bawah Jokowi-Ahok pula persoalan banjir dan penataan
daerah sepadan sungai dirapikan.
Jokowi juga
menilai bahwa Ahok-Djarot ialah pasangan yang antikorupsi dan terus
melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jokowi-Ahok di Jakarta.
Karena itu,
Jokowi berpentingan agar berbagai proyek infrastruktur di Jakarta yang
diawalinya selesai pada 2019.
Mesin politik paslon
Bila kita
analisis geliat kampanye selama tiga setengah bulan lalu, tampak jelas betapa
ada perbedaan gerak mesin politik tiga paslon.
Paslon nomor 1
tampak jelas hanya didukung secara mati-matian oleh Partai Demokrat dan
kurang tampak dukungan nyata dari PPP, PKB, dan PAN. Elite politik yang selalu tampak
mengampanyekan paslon nomor 1 juga hanya Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan
Romahurmuzy (PPP), Zulkifli Hasan (PAN), dan Muhaimin Iskandar (PKB) juga
kurang tampak mengampanyekan AHY-Sylvi, termasuk dalam rapat akbar pasangan
nomor 1.
Mungkin saja
dukungan tiga partai ini setengah hati, atau karena sulit bagi pimpinan elite
PPP, PKB, dan PAN mengikuti elan dan gaya kampanye politik SBY yang sering
menuduh pemerintahan Jokowi-JK dan aparatnya melakukan penyadapan atau tidak
mau menjawab cuitan atau WA-nya.
Itu karena
PPP, PKB, dan PAN bagian dari pemerintahan Jokowi-JK.
Pasangan nomor
1 juga sangat mengandalkan kelompok profesional dalam mengelola kampanye
politiknya ketimbang mesin politik partai-partai pendukungnya.
Paslon nomor 2
menunjukkan fenomena yang berbeda. Teman Ahok yang mengawali dukungan
terhadap Ahok untuk menjadi calon petahana Gubernur DKI Jakarta ialah
kelompok yang tetap mengampanyekannya dari awal sampai akhir. PDIP, Golkar,
NasDem, Hanura, PPP Djan Farid tampak menyatu di Rumah Lembang dan
kegiatan-kegiatan kampanye Ahok-Djarot.
Sesuatu yang
baru terjadi dalam sejarah pilkada di Indonesia, paslon nomor 2 ini menolak
menerima bantuan dari pengusaha-pengusaha besar nasional di Jakarta yang
menawarkan bantuan belasan sampai puluhan miliar rupiah. Mereka lebih
mengandalkan sumbangan sukarela rakyat yang datang ke Rumah Lembang atau
kegiatan lain. Mereka juga bukan hanya mengandalkan mesin-mesin partai,
tetapi juga kalangan masyarakat dari berbagai suku, agama, dan antargolongan
serta kalangan artis yang dimotori oleh Sys NS yang dulu menjadi salah
seorang pendiri Partai Demokrat.
Paslon 3 bukan
hanya didukung secara kuat oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan juga
Presiden/Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman, tetapi juga
mesin-mesin Partai Gerindra dan PKS. Dua
partai ini amat solid karena mereka ialah dua partai tersisa di dalam Koalisi
Merah Putih (KMP) yang dulu mendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.
Jajaran resmi dan tidak resmi dua partai ini, termasuk PKS Piyungan, ialah
kelompok-kelompok yang secara intens mengampanyekan pasangan Anies-Sandi.
Satu hal yang
menarik dari hasil survei, turunnya elektabilitas AHY-Sylvi memiliki korelasi
positif dengan naiknya elektabilitas pasangan Anies-Sandi. Tampaknya mereka
menggantungkan pemilih pada konstituen yang sama, yakni kalangan Islam. Karena
itu, tidaklah mengherankan jika ketika Anies-Sandi mengampanyekan coblos
pecinya, tagline AHY-Sylvi pun kini menekankan coblos jilbabnya.
Sesuai hati nurani
Pilkada 15
Februari di Jakarta akan menentukan apakah Jakarta ke depan akan berubah
secara sosiokultural dan juga kesinambungan pembangunannya. Berbagai agitasi,
intimidasi, dan juga kampanye telah berlangsung selama masa kampanye. Kini
warga Jakarta dapat mengendapkan emosi dan nalar pikiran mereka mengenai
siapa yang paling pas memimpin Jakarta dalam lima tahun ke depan. Hanya
dengan menenangkan pikiran dan keteguhan hati, warga Jakarta dapat memilih
secara tepat paslon mana yang akan mereka pilih. Selamat memilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar