Tumpang-Tindih
Sektor Tambang
Joko Tri Haryanto ; Peneliti
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
|
KORAN
TEMPO, 30 Oktober 2014
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan penetapan wilayah izin usaha
pertambangan (WIUP), yang semula ada di tangan bupati dan wali kota,
dialihkan ke pemerintah pusat dan provinsi. Termasuk kewenangan provinsi, di
antaranya, adalah menerbitkan WIUP mineral non-logam dan batuan, izin usaha
pertambangan (IUP) mineral logam dan batu bara, IUP mineral non-logam dan
batuan, serta menetapkan harga patokan mineral non-logam dan batuan.
Sedangkan pemerintah pusat berwewenang untuk menetapkan wilayah
pertambangan (WP) yang terdiri atas usaha pertambangan (WUP), wilayah
pertambangan rakyat (WPR), wilayah pencadangan negara (WPN), dan wilayah
usaha pertambangan khusus (WUPK), menetapkan WIUP mineral logam dan batu bara
serta WIUPK, menetapkan WIUP mineral non-logam lintas provinsi, menerbitkan
IUP penanaman modal asing, menetapkan IUPK, menetapkan produksi mineral logam
dan batu bara untuk tiap provinsi, menetapkan harga patokan mineral logam dan
harga patokan batu bara, serta mengelola inspektur tambang.
Rencana tersebut sontak ditanggapi secara beragam oleh bupati
dan wali kota. Secara umum mereka keberatan atas ketentuan tersebut serta
mengupayakan agar dalam prosesnya mereka tetap dilibatkan. Sudah menjadi
rahasia umum jika banyak bupati dan wali kota menikmati manfaat dari
kewenangan penetapan WIUP tersebut, meski tidak berkorelasi dengan tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
Persoalan menjadi makin runyam ketika regulasi tersebut ternyata
belum diselaraskan dengan peraturan teknis di sektor pertambangan sendiri,
khususnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Dalam UU Minerba, kewenangan penetapan WIUP masih ada di tangan bupati dan
wali kota. Di satu sisi, fakta ini jelas menjadi pintu masuk bagi bupati dan
wali kota untuk mengajukan gugatan secara hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di sisi lain, kenyataan ini kembali mempertontonkan persoalan
klasik di tubuh pemerintah soal kurangnya koordinasi dalam penyusunan
regulasi di masing-masing sektor. Tumpang-tindih di sektor pertambangan
sebetulnya bukan hanya terjadi kali ini. Pada 2013, penulis mencatat terjadi
tumpang-tindih dalam hal penetapan tarif pungutan pertambangan di Provinsi
NAD. Sebagai informasi, berdasarkan rapat paripurna DPR Aceh tanggal 27
Desember 2013, telah disahkan qanun pungutan tambang di Provinsi NAD sebesar
2,5-6 persen.
Kebijakan tersebut kontan disambut berbagai keberatan, khususnya
dari kalangan pengusaha. Mereka memandang qanun tersebut justru menimbulkan
prosedur pajak berganda sekaligus menambah beban pungutan. Ditambah dengan
pungutan pelabuhan, royalti, dan beberapa jenis tarif lainnya, dalam
kalkulasi mereka setoran yang harus diberikan mencapai 12 persen dari harga
jual. Kondisi ini tentu sangat disesalkan serta berpotensi menurunkan minat
investor khususnya di sektor pertambangan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) segera merespons kondisi tersebut. Awalnya direncanakan
dilakukan koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) selaku pembina pemda untuk mendiskusikan ulang kelayakan
pungutan pertambangan tersebut dari segala aspek. Terkait dengan kepatutan
dan kelayakan pungutan, beberapa pihak mendasarkan kepada Undang-Undang (UU)
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang memberikan keistimewaan
kepada Provinsi NAD berdasarkan pertimbangan karakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Sebaliknya, pihak yang kontra mengajukan pertimbangan UU Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah-dalam undang-undang
ini istilah pungutan daerah sudah tidak dikenal. Pemerintah hanya boleh
mengenakan pungutan dalam bentuk pajak atau retribusi daerah.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 7 ayat 1 bab IV Kewenangan
Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat.
Dari sisi regulasi, segala kebijakan pemda NAD, khususnya yang
berkaitan dengan sisi fiskal, seharusnya tetap menyesuaikan dengan aturan di
atasnya yang berlaku secara nasional. Dalam kasus ini, tentu wajib menginduk
ke UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Prasyarat ini juga diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Namun penulis memaklumi dasar penetapan pungutan tambang ini, jika
memang ditujukan bagi upaya menjaga kelestarian alam dan lingkungan sekaligus
dimanfaatkan sebagai tambahan dana percepatan pembangunan berbagai
infrastruktur di Provinsi NAD, bukan sekadar menambah pundi-pundi pejabat di
daerah dan digunakan secara tidak bijaksana.
Belajar dari seluruh kerumitan tersebut, ke depannya kata sakti
"koordinasi" sepertinya masih menjadi obat mujarab yang harus
selalu dikedepankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar