Melawan
Asap
Longgena Ginting ; Kepala
Greenpeace Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 30 Oktober 2014
Salah satu persoalan lingkungan hidup nyata yang terus mengancam
lingkungan, keselamatan warga lokal, dan iklim dunia adalah bencana asap
akibat terbakarnya hutan dan lahan gambut. Di Riau saja, kebakaran hutan ini
telah terjadi setiap tahun dan telah berlangsung selama 17 tahun.
Bulan lalu, di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia
telah meratifikasi Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap
Lintas Batas). Namun, sejak perjanjian itu diratifikasi, ribuan siswa di Kota
Palembang, Inderalaya, Kayuagung, dan Muara Enim justru direkomendasikan
untuk tidak ke sekolah lantaran kualitas udara yang berbahaya akibat asap
dari kebakaran hutan. Apa yang salah?
Pendekatan pemerintah mengatasi kebakaran hutan bukanlah
pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Pemerintah lebih berpegang pada
pepatah "ada asap ada api" hingga akhirnya terobsesi pada proses
pengejaran api, alih-alih pencegahan api.
Pendekatan yang tidak mengatasi akar masalah kebakaran hutan ini
tidaklah efektif. Hal ini terbukti dari hitung-hitungan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah menghabiskan Rp 164 miliar untuk
penanggulangan asap di Riau saja. Bahkan total dari dana yang disiapkan telah
mencapai Rp 500 miliar.
Biaya Rp 164 miliar untuk pemadaman tersebut belum termasuk
penghitungan total kerugian di Provinsi Riau (saja) yang mencapai Rp 10
triliun per bulan. Padahal kerugian nyata yang terjadi jelas lebih besar.
Selama periode tiga bulan awal kebakaran hutan (Februari, Maret, dan April
2014) saja, Indonesia telah kehilangan 21.900 hektare hutan, belum lagi
kerugian akibat kekacauan jadwal penerbangan dari dan ke Sumatera, yang tak
hanya merugikan maskapai penerbangan, tapi juga para pelaku usaha. Hal
tersebut belum menghitung kerugian masyarakat yang terkena dampak kesehatan
akibat asap, serta keterbatasan beraktivitas, termasuk siswa yang tak bisa
berangkat ke sekolah.
Kebakaran hutan dan lahan gambut besar telah terjadi sejak 1997,
dengan puluhan kali siswa diliburkan, ratusan atau mungkin ribuan penerbangan
telah dibatalkan sejak 17 tahun yang lalu. Ribuan kontrak usaha gagal,
ratusan kali pejabat negara terbang ke luar negeri menghadiri pembahasan
asap, tapi asap tetap tidak bisa dikendalikan. Seperti menggantang asap,
kebijakan pemerintah seperti ini hanya membuang-buang anggaran.
Pemerintah mungkin sudah pernah mendengar penjelasan ini
berkali-kali. Namun ada baiknya diulang: kunci pencegahan kebakaran hutan
adalah perlindungan total ekosistem gambut, termasuk perpanjangan serta
penguatan moratorium pembukaan hutan alam yang akan berakhir pada Mei 2015.
Kebijakan penanggulangan kebakaran hutan yang tak memasukkan
hal-hal tersebut adalah tindakan mengobati gejala, bukan penyakit, dan bukan
tidak mungkin menjadi sia-sia belaka. Sudah saatnya Joko Widodo sebagai presiden
baru pilihan rakyat mendengar keluhan ini, sekaligus membuat kebijakan yang
prorakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar