Tantangan
Politik Luar Negeri Jokowi
Baiq Wardhani dan Asrudin ; Baiq
Wardhani, Dosen
Hubungan Internasional dari FISIP Universitas Airlangga; Asrudin, Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia
Grup
|
SINAR
HARAPAN, 23 Oktober 2014
Sah sudah Jokowi dilantik menjadi Presiden Ketujuh Indonesia
pada Senin (20/10). Pelantikan Jokowi ini terbilang sensasional dari segi
pemberitaan karena tidak hanya media massa Indonesia yang meliput. Sejumlah
media massa asing pun ikut mengabadikan jalannya pelantikan tersebut, seperti
ABCNews, The Washington Post, Time
Magazine, The Strategist, dan banyak lagi.
Di antara sejumlah isu, yang paling menarik perhatian media
massa asing adalah mengenai pengumuman susunan kabinet yang dipilih Jokowi
setelah dilantik, khususnya untuk pos menteri luar negeri (menlu). Media
massa Australia,The Strategist, pada Senin misalnya, menyoroti kapabilitas
Jokowi dalam urusan luar negeri, mengingat masih minimnya pengalaman Jokowi
di bidang tersebut.
Oleh sebab itu, The Strategist
menyarankan Jokowi memilih menlu dari kalangan profesional ketimbang partai
politik (parpol). Ini karena isu-isu internasional akan menjadi tantangan
berat yang dihadapi Jokowi ke depan.
Dalam kolom ini, penulis bermaksud mengevaluasi kembali visi
politik luar negeri Jokowi yang sudah disampaikannya sebelum ia dilantik.
Dari evaluasi itu, penulis melengkapi kekurangan dari visinya agar bisa
menjawab tantangan-tantangan berat dalam politik luar negeri Indonesia.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi dengan tegas
mengatakan, di bawah pemerintahannya, Indonesia sebagai negara demokrasi
terbesar ketiga dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga sebagai negara
kepulauan dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus
menjalankan politik luar negeri bebasaktif yang diabdikan untuk kepentingan
nasional.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi berulang-ulang mengatakan,
politik luar negeri bebas aktif Indonesia perlu didukung ketahanan nasional
yang kuat. Ia, misalnya, menyinggung pentingnya meningkatkan kesejahteraan
prajurit, modernisasi alat-alat pertahanan termasuk pertahanan cyber dan
hybrid, serta modernisasi dan industri pertahanan yang mesti terus diperkuat.
Jokowi mencontohkan, modernisasi alat bisa dengan drone.
Menurutnya, drone bisa memberikan manfaat, baik dari sisi ekonomi maupun
ketahanan nasional. Drone akan dipasang di empat kawasan, yaitu di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan drone, bisa dilihat ada kekayaan
ekonomi maritim kita yang diambil atau tidak.
Drone akan sangat berguna bagi pertahanan. Ini bisa mencegah
illegal fishing dan illegal logging. Apalagi, Jokowi memaparkan, kekayaan
laut senilai Rp 300 triliun hilang karena illegal fishing. Ia juga
menegaskan, geopolitik kini sedang bergerak ke timur. Indonesia berada di
tengah pergeseran tersebut. Dengan membangun kekuatan maritim, Indonesia akan
menang di laut, berwibawa, dan dihormati.
Jika diamati pemaparan Jokowi di atas, visi politik luar
negerinya itu tidak lepas dari unsur-unsur kekuatan nasional yang dijabarkan
para penulis hubungan Internasional, seperti HJ Morgenthau, Organski,
Couloumbis, dan Wolfe; yaitu unsur-unsur kasat mata/tangible (geografi,
sumber daya alam (SDA), kemampuan industri, kesiagaan militer, dan penduduk)
dan tak kasat mata/intangible (kualitas diplomasi dan moral nasional).
Beberapa unsur kasat mata yang dimiliki Indonesia telah dibahas
cukup luas oleh Jokowi. Itu seperti letak geografis yang strategis dengan
luas wilayah yang masif, sumber daya alam yang melimpah, potensi kemampuan
industri, militer yang berpotensi kuat dengan pelatihan dan alutsista modern,
serta jumlah penduduk yang besar. Sekalipun demikian, terdapat banyak titik
lemah. Indonesia baru sekadar memiliki (possessing)
kekuatan yang kasat mata, namun belum dan kurang dalam
mengolah/mendayagunakan (converting)
yang tak kasat mata.
Padahal sebagaimana dikatakan Morgenthau, dari segenap faktor
yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting, walau tidak stabil,
adalah kualitas diplomasi. Mengingat cara melaksanakan hubungan luar negeri
suatu negara oleh para diplomatnya dalam masa damai, sama seperti siasat dan
taktik militer oleh para pemimpin militernya dalam masa perang, kualitas
diplomasi bisa menjadi otak kekuatan nasional.
Dalam konteks itu, Indonesia sesungguhnya telah memiliki otak
dalam politik luar negeri yang sesuai kepentingan nasional sejak awal
kemerdekaan, yakni bebas aktif. Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini
pernah terbukti berhasil dalam penerapannya ketika masa Perang Dingin. Karena
itu, Presiden Jokowi perlu merevisi doktrin thousand friends, zero enemy yang menjadi landasan politik luar
negeri pemerintahan sebelumnya (SBY). Hal ini penting dilakukan agar
diplomasi Indonesia tidak lagi kedodoran dalam menghadapi negara-negara lain
dan kejadian-kejadian, seperti dipancungnya tenaga kerja Indonesia (TKI),
Ruyati, di Saudi Arabia; pelanggaran kedaulatan yang sering dilakukan
Malaysia; serta aksi spionase yang dilakukan pemerintah Australia tidak
terulang. Tentunya, revisi itu perlu dibarengi dengan mengirim
diplomat-diplomat terbaik yang terseleksi secara ketat ke luar negeri.
Agar politik luar negeri Indonesia lebih bertaji, Jokowi perlu
mengembangkan doktrin yang lebih berwibawa. Tanpa bermaksud melupakan
beberapa “prestasi generik” diplomasi SBY, yang secara peyoratif disebut
“unik” oleh beberapa kalangan, doktrin SBY tidak membantu menjadikan
Indonesia sebagai negara yang disegani, bahkan dalam kancah regional
sekalipun.
Pengembangan doktrin itu bisa dilakukan Jokowi dengan menyatukan
kualitas diplomasi yang menjadi otak kekuatan nasional dan moral nasional
yang menjadi jiwanya. Moral nasional adalah spirit yang ditunjukkan oleh
warga negara dan secara keseluruhan merupakan tingkat kebulatan tekad suatu
bangsa untuk mendukung keberhasilan diplomasi pemerintahnya, baik dalam waktu
damai ataupun perang.
Terkait dengan itu, renungan Morgenthau berikut ini perlu
diperhatikan oleh Jokowi bahwa dalam sejarah, Goliat yang tanpa otak atau
jiwa dihantam dan dibunuh oleh David yang memiliki keduanya. Tanpa kedua
unsur tak kasat mata, unsur-unsur kasat mata yang dimiliki Indonesia dalam
jangka panjang akan menjadi tidak berarti. Oleh karena itu, tantangan politik
luar negeri bebas aktif Jokowi yang terbesar adalah bagaimana agar menlu yang
akan dipilihnya nanti bisa membuat unsur kekuatan yang kasat mata dapat
bersinergi dengan unsur kekuatan yang tak kasat mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar