Kedaulatan
Petani dan Agenda Presiden Baru
Joko Tri Haryanto ; Peneliti
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
|
SINAR
HARAPAN, 24 Oktober 2014
Hari Tani Nasional (HTN) diperingati setiap tanggal 24
September. HTN 2014 mengambil tema “Melaksanakan Kedaulatan Pangan dan
Pembaruan Agraria”. Tema itu cukup menarik jika dikaitkan dengan pemerintahan
transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Sebagaimana disebutkan dalam agenda “Jalan Perubahan Jokowi-JK
untuk Rakyat Indonesia”, ada tiga pilar utama yang menjadi pokok perhatian;
menghadirkan negara yang bekerja, kemandirian yang menyejahterakan, serta
revolusi mental. Dalam pilar “kemandirian yang menyejahterakan”, ada tiga hal
yang menjadi fokus perhatian; yaitu daulat pangan berbasis agribisnis
kerakyatan, daulat energi berbasis kepentingan nasional, dan restorasi
ekonomi maritim Indonesia.
Terkait daulat pangan berbasis agribisnis kerakyatan ini, dalam
beberapa kesempatan Jokowi senantiasa mengingatkan gagasan perlunya
pembentukan bank pertanian, Usaha Menengah dan Kecil Mikro (UMKM), koperasi,
serta perbaikan infrastruktur khususnya irigasi.
Dukungan untuk mengimplementasikan hal tersebut sangat kuat.
Pemerintah tahun lalu mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 19/2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3). Oleh beberapa pengamat, UU
tersebut mendapat apresiasi begitu besar. Ini mengingat banyaknya terobosan
kebijakan yang akan diinisiasi pemerintah, salah satunya kewajiban
melaksanakan asuransi pertanian serta pendirian bank petani.
Oleh karena itu, mumpung dukungan politik dari pemerintahan baru
sangat luar biasa, kebijakan yang dijalankan nantinya seyogianya betul-betul
mencerminkan solusi yang implementatif.
Sektor pertanian sebetulnya sudah mendapatkan alokasi subsidi
dari APBN setiap tahunnya. Pada 2006, APBN mengalokasikan subsidi pertanian
yang terdiri dari subsidi pupuk, benih, kredit program, dan pangan senilai Rp
8,9 triliun. Ini meningkat menjadi Rp 33,9 triliun pada 2009 serta Rp 36,3
triliun pada 2012. Dalam APBN-P 2013, pemerintah menganggarkan subsidi
pertanian senilai Rp 42,1 triliun, meningkat lagi menjadi Rp 44,6 triliun
pada 2014.
Namun, beberapa pihak justru menyayangkan tidak adanya koherensi
antara subsidi pertanian dalam APBN dengan penguatan kedaulatan petani.
Akibatnya, sektor pertanian terus terdominasi menjadi sektor inferior
dibandingkan sektor-sektor lainnya. Di mata pencari kerja, petani mungkin
dianggap sebagai profesi yang paling tidak menarik. Tragisnya, fenomena ini
tidak hanya menggejala di kota. Di desa pun, profesi petani semakin hari kian
ditinggalkan.
Kondisi tersebut tentu membutuhkan pembaruan. Ada banyak hal
positif yang diharapkan mampu mendukung era pemberdayaan petani di masa
depan. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah terkait pembiayaan
perlindungan dan pemberdayaan petani, melalui pelaksanaan asuransi pertanian
dan pendirian bank bagi petani.
Pemerintah pun telah menyiapkan skema asuransi pertanian baik
yang bersifat teknis maupun nonteknis. Dalam tahap awal, luas areal sawah
yang nantinya akan diasuransikan sebesar 2,3 juta ha, dengan usulan pendanaan
senilai Rp 345 miliar.
Lokasi yang akan di-cover
harus memiliki kriteria provinsi sentra produksi padi, wilayah pertanaman
padi di lahan sawah non-SL-PTT, serta wilayah program GP3K. Calon petani
diharapkan petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani aktif, serta
bersedia mengikuti anjuran teknis maupun syarat ketentuan yang berlaku.
Tanaman padi menjadi objek pertanggungan asuransi tahap awal.
Jangka waktu asuransi diperkirakan sekitar empat bulan mengikuti periodisasi
masa tanam. Harga pertanggungan asuransi senilai Rp 6 juta per ha, dengan
suku premi asuransi 3 persen dari rata-rata ongkos produksi, atau Rp 180.000
per ha. Dari besaran suku premi tersebut, pemerintah akan menanggung 80
persen atau sekitar Rp 144.000 per ha. Sebanyak 20 persen sisanya akan
ditanggung petani (Rp 36.000).
Pertanggungan premi oleh pemerintah akan dilakukan sampai petani
dinilai mampu membayar preminya dengan mendasarkan pada skala ekonomi petani,
yaitu nilai komersial minimum. Risiko yang akan dijamin terdiri atas risiko
banjir, kekeringan, dan OPT tertentu baik hama tikus, wereng, walang sangit,
penggerek batang, ulat grayak serta penyakit blast, tungro, bercak cokelat,
busuk batang maupun kerdil hampa. Pembayaran klaim akan dibayarkan 14 hari
sesudah persetujuan melalui rekening Kelompok Tani (Poktan).
Hal penting lainnya adalah pendirian Bank Petani. Ide dan wacana
ini di Indonesia sebetulnya isu lama yang belum terealisasikan hingga kini.
Berbagai peraturan dan regulasi yang ada di industri perbankan nasional
dianggap menjadi kendala utama, meskipun oleh beberapa pihak, ketidakseriusan
pemerintah justru dianggap menjadi inti permasalahannya. Padahal, lemahnya
akses petani terhadap lembaga perbankan terbukti menjadi salah satu penyebab
kemiskinan dalam sektor pertanian.
Dilihat dari sisi best practise, beberapa negara di dunia
terbukti sukses menjalankan mekanisme bank petani. Tiongkok dikenal sebagai
negara pelopor bank petani sejak 1979, melalui pembentukan Agricultural Bank of China (ABC). Hal
yang sama terjadi di Thailand dan Vietnam, melalui fasilitas UU yang memaksa
bank-bank menyediakan kredit murah kepada sektor pertanian.
Di Jepang, Norinchukin Bank juga melakukan praktik yang sama,
mampu berkembang pesat hingga mendirikan banyak kantor cabang di lokasi
tempat petani tinggal.
Mengingat besarnya manfaat yang akan diberikan, gagasan
melaksanakan asuransi pertanian dan mendirikan Bank Petani, seyogianya wajib
segera diimplementasikan. Seluruh pihak yang terlibat pun wajib memberikan
dukungan demi terciptanya kedaulatan petani di Indonesia.
Jangan sampai negara Indonesia yang diklaim sebagai salah satu
negara dengan luasan lahan pertanian terbesar di dunia, justru tertinggal
dibandingkan negara-negara lain yang sebelumnya belajar pertanian di
Indonesia. Cukup menarik jika dikutip kalimat bijak Jawaharlal Nehru dan
tertulis diperpustakaan Indian
Agricultural Research Institute (IARI), Campus Pusat New Delhi; “All can wait, unless agriculture.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar