Perspektif
Konvensional Keluarga Korban NAPZA
Zukhri ; Pemerhati
Sosial
|
HALUAN,
08 November 2014
Era moderenisasi dan teknologi berbanding lurus dengan dinamisasi
aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya aspek sosial. Semakin maju
sebuah peradaban akan meninggalkan sesuatu yang opposite (bertentangan) yakni “ketidakberadaban”.
Masalah penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau sering diringkas NAPZA
merupakan salah satu bagian dari peninggalan peradaban di atas semakin
pesatnya peningkatan dan perkembangan ilmu teknologi, ilmu kesehatan (medical science), serta termakologi
untuk membantu manusia dalam proses penyembuhan dari penyakit, semakin besar
pula kesempatan manusia untuk menggunakan dan menyalahgunakan hasil
perkembangan tersebut.
Namun, seiring dengan
perkembangan peradaban itu muncullah perilaku masyarakat yang mencoba menikmati
dan menyalahgunakan NAPZA tersebut, bukan lagi untuk kebutuhan medis namun
sudah menjadi suatu kebutuhan komersial, dan kebutuhan biologis semata.
Penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) di Provinsi Sumatera Barat
khususnya dan atau Indonesia pada umumnya dalam beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan peningkatan grafik yang sangat signifikan baik kualitas maupun
kuantitas. Banyak pengguna atau pemakai NAPZA mulai kalangan anak-anak
sampai orang dewasa yang masih dikatakan usia produktif.
Hal ini juga bukan hanya
berdampak negatif terhadap diri korban/pengguna, tetapi lebih luas lagi
berdampak negatif pada kehidupan berkeluarga, masyarakat dan kesehatan,
lebih jauh lagi berakibat terjadinya biaya sosial yang lebih tinggi (social high cost) dan generasi yang diharapkan
sebagai penerus menjadi terbuang. Permasalahan ini sangat mempengaruhi keberfungsian
fisik, psikologi maupun sosial.
Timbulnya masalah penyalahgunaan
NAPZA sangat kompleks dan bersifat multi dimensi dengan meluasnya angka
penularan HIV/AIDS dari kalangan penyalahgunaan NAPZA jarum suntik. Sebanyak
3.829 kasus baru HIV dan 1.673 kasus baru AIDS terjadi di Indonesia selama
April hingga Juni 2013. Data itu ditulis oleh Kementerian Sosial.
Implikasi lain dari
penyalahgunaan NAPZA ini korban dalam kuantitas pemakai yang panjang mengakibatkan
kerusakan system syaraf otak yang akan berujung kepada gangguan kerja otak
sampai kepada gangguan kejiwaan (psikis), gangguan pencernaan, gangguan
pernafasan, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan fisik, dan
lain-lain. Dari daftar di atas hanya menunjukkan implikasi aspek fisik yang
akan didapat korban penyalahgunaan NAPZA.
Belum lagi aspek social seperti
konflik sosial, disharmonisasi hubungan interpersonal dan ekstra personal,
aspek hukum. Semua perbuatan menyalahgunakan NAPZA sudah diatur dalam
Undang-Undang.
Sudah sedemikian peliknya
permasalahan penyalahgunaan NAPZA ini sehingga dituntut kepedulian semua
pihak dalam memerangi dan memberantas penyalahgunaan NAPZA baik pemerintah,
pihak swasta, organisasi sosial, masyarakat dan keluarga. Sebagaimana
diketahui keluarga merupakan satuan terkecil dari masyarakat.
Perspektif Konvensional
Menurut penelitian data dari
BPS dan BNN tahun 2014 di LP dan rutan bagi Napikasus NAPZA yang ada
di Sumatera Barat ini sekitar 75 orang penyalahgunaan NAPZA mayoritas
menggunakan NAPZA karena ditawari teman, sehingga timbul rasa penasaran dan
ingin coba-coba kemudian ketagihan. Selain hal di atas, beberapa hal di bawah
ini yang dilakukan orang tua merupakan faktor yang langsung ataupun tidak
langsung menyebabkan anak/anggota keluarga rentan dalam penyalahgunaan NAPZA
antara lain: kurang memberikan perhatian, terlalu mengekang (otoritas),
menuntun hal yang kurang realitas, membeda-bedakan kasih sayang, memberikan
panutan yang negatif, membuta aturan yang kurang realitas, takut kepada anak,
dan mungkin juga ada orang tua yang suka menbandingkan anaknya dengan anak
orang lain.
Keluarga merupakan satuan
terkecil dari masyarakat. Kumpulan dari keluarga ini akan membentuk sebuah
komunitas, kemudian kumpulan dari komunitas ini akan membentuk sebuah masyarakat
dalam lingkungan tertentu. Korban yang ketergantungan NAPZA atau dengan kata
lain disebut addict (pecandu), hidup dalam sebuah keluarga inti. Pada banyak keluarga
hidup bersama dengan pecandu aktif bagaikan hidup dalam ketegangan yang
tidak ada habisnya, anggota keluarga dalam keluarga tersebut akan selalu
mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga. Suasana keluarga yang penuh
ketegangan akan memberikan tekanan, kebutuhan dan keributan menimbulkan
ketergantungan (codependent). Keharmonisan dan kebahagiaan keluarga akan
tergantung bahkan dalam kasus-kasus tertentu mengakibatkan kehancuran.
Bila salah satu anggota
masyarakat terbelenggu jeratan lingkaran setan narkotika, psikotropika dan
zat lainnya maka seluruh anggota keluarga ikut menderita karena dampaknya.
Reaksi umum anggota keluarga biasanya bingung, panik, kecewa, marah, merasa
bersalah, merasa malu, saling curiga, saling menyalahkan, hingga putus asa.
Kondisi “kacau” ini sering dijadikan pecandu sebagai pembenaran untuk
melanjutkan gaya hidupnya (Addict’s
life style).
Pada awalnya anggota keluarga
akan sangat sulit menerima kenyataan bahwa salah satu dari anggota keluarganya
menjadi seorang pecandu. Setelah mengetahui akan hal tersebut, pada banyak
keluarga mereka akan menyembunyikannya dengan ekspektasi (harapan) korban
akan sembuh sebelum diketahui olehbanyak orang. Perspektif (pandangan)
keluarga seperti ini timbul karena menganggap korban membuat aib bagi
keluarga. Ketika ekspektasi di awal tadi meleset atau tidak terjadi akan
muncul sikap penolakan (denial) memaksa keluarga untuk mengizinkan korban
untuk memakai di dalam rumah atau bahkan membelikan drugs
(obat-obatan/minuman terlarang) kembali untuk memberikannya kepada pecandu,
akibat ketidaktahanan keluarga melihat penderitaan yang dialami korban akibat
gejala dari toleransi tambahan dari drugs tersebut bagi tubuh korban. Tanpa
disadari terdapat dampak emosional yang sangat mengganggu di dalam keluarga
seperti rasa bersalah, murung, bingung, panik, amarah, malu dan sebagainya.
Kemudian barulah keluarga
berjuang untuk membawa si pecandu untuk “menjelajah” dari satu deteksifikasi
(menemukan) satu kedeteksifikasi yang lainnya ke rumah sakit, pesantren,
sinsei, dukun bahkan wisata rohani ke Mekkah bagi umat muslim, ke Jarusalem
bagi umat nasrani dan sebagainya. Sampai pada titik keluarga merasa jenuh
dan lelah, semakin bingung dan putus asa. Pada kebanyakan keluarga upaya
yang keras berusaha hingga menemukan solusi mendaftarkan anaknya untuk
menjalani rehabilitasi sosial, medis, atau gabungan dari keduanya.
Usaha preventif (pencegah) ini
harusnya sudah dilakukan keluarga diawal tadi atau jauh setelah mengetahui
bahwa ada anggota keluarga yang menjadi pecandu, yaitu dengan membawa
sikorban ke tempat rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan NAPZA untuk
mengikuti rehabilitasi sosial, rehabilitasi medis atau gabungan keduanya
untuk memutus zat atau melepaskan korban dari masa sulit di awal. Dan
membantu proses pemulihan si korban dari ketergantungan NAPZA dengan terus
mendapat dukungan dari keluarga, pekerja sosial, konselor, para medis serta
teman-teman korban dalam program rehabilitasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar