Antisipasi
Ebola
Tjandra Yoga Aditama ; Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan
|
KORAN
TEMPO, 08 November 2014
Baru-baru ini perhatian kita tertuju kepada dua warga Jawa Timur
yang baru pulang dari Liberia dan kemudian mengalami demam. Walaupun demam
banyak penyebabnya (malaria, DBD, flu, dan lainnya), karena pasien tersebut
baru pulang dari Liberia, dugaan ebola juga dipertimbangkan. Kita bersyukur
bahwa hasil laboratorium dalam kedua kasus ini ternyata negatif.
Sampai awal November 2014, sudah lebih dari 13.000 kasus ebola
terjadi di delapan negara (di Afrika, Eropa, dan Amerika) dan sekitar 5.000
orang meninggal dunia. Sejauh ini sudah terjadi 250 mutasi pada virus
penyebab ebola ini, dan belum ada vaksin serta antivirus yang benar-benar
teruji.
Melihat tingkat penyebarannya, negara-negara di dunia dapat
dibagi menjadi empat kategori. Yang pertama adalah negara episentrum ebola
2014, yaitu Liberia, Guinea, dan Sierra Leonne, yang sudah mengalami
penularan luas dalam masyarakatnya. Kategori kedua adalah negara-negara yang
berbatasan darat dengan negara episentrum. Contoh kategori kedua adalah Mali,
yang pada pertengahan Oktober menjadi negara tertular ebola karena ada
seorang anak naik bus dari negara terjangkit dan datang di Mali dengan gejala
mimisan dan lainnya. Ini kasus ebola pertama di Mali.
Kategori ketiga adalah negara yang punya hubungan penerbangan
langsung dengan negara terjangkit. Selama ini ada 39 penerbangan langsung
dari tiga negara terjangkit, dan penerbangan langsung itu hanya ke negara
Afrika lain, Eropa, dan Amerika Serikat. Dengan penerbangan langsung inilah
dua warga Amerika Serikat itu terbang, lalu sesudah beberapa hari di Amerika
Serikat baru gejala ebolanya muncul. Bahkan perawat yang menangani salah
seorangnya tertular.
Kategori keempat adalah negara-negara lain yang tidak berbatasan
langsung dan tidak ada penerbangan langsung dari tiga negara terjangkit.
Asia, termasuk Indonesia, termasuk dalam kategori ini.
Risiko tertular tentu jauh lebih tinggi pada kelompok
negara-negara kategori kedua dan ketiga. Dan, pada kenyataannya, mereka
(Amerika Serikat dan Spanyol) memang sudah tertular. Kita masih akan
mengikuti bagaimana perkembangan situasi epidemiologi dan penyebaran ebola
dari waktu ke waktu. Namun kesiapan antisipasi setiap negara yang sesuai
dengan proporsinya sangatlah penting.
Di negara-negara yang menjadi episentrum penyakit, koordinator
nasional bahkan dipimpin oleh kepala negara, atau pejabat tinggi tertentu
yang mampu melakukan koordinasi lintas sektor dengan baik. Menghadapi wabah
yang meluas di suatu negara, sektor kesehatan harus didukung oleh sektor lain
di pemerintahan dan swasta. Untuk Indonesia, skenario hampir serupa pernah
dilakukan pada pembentukan Komite Nasional Pengendalian Flu Burung beberapa
tahun lalu, serta Komando Pembasmian Malaria yang diluncurkan Presiden
Sukarno dulu.
Sementara itu, kelompok kerja atau pos komando harus dikendalikan
oleh tim kesehatan masyarakat yang punya pengetahuan dan kepemimpinan
penanggulangan penyakit menular yang luas. Tim ini akan melakukan kegiatan
sehari-hari di lapangan, terkoordinasi dengan baik dari tingkat nasional
sampai daerah.
Di lapangan, setidaknya harus ada lima kegiatan penting. Pertama
adalah mekanisme di bandara atau pintu masuk negara, seperti yang sudah
dilakukan bandara kita. Beberapa negara malah merapkan pembatasan atau
pelarangan visa dari negara terjangkit ebola, seperti yang pernah dilakukan
pemerintah Arab Saudi pada musim haji lalu, atau juga pada minggu-minggu ini
yang dilakukan pemerintah Kanada dan Australia. Contoh yang agak ekstrem
dilakukan pemerintah Korea Utara, yang pada akhir Oktober menyebutkan akan
mengkarantina semua penumpang (dari negara mana pun) selama 21 hari sejak
mendarat di negara itu.
Di Indonesia sudah ada sekitar 100 rumah sakit yang tadinya
disiapkan untuk flu burung, yang kini juga dapat digunakan untuk penyakit
seperti ebola ini. Ada tiga aspek yang harus dijamin dalam pelayanan di rumah
sakit, yaitu petugas yang berdedikasi (karena penyakit amat menular) dan
terlatih, gedung dan alat yang memadai (termasuk alat pelindung diri APD),
dan standar kerja (SOP), termasuk mekanisme pengumpulan dan pembuangan bahan
menular berbahaya yang sudah dibuat dengan jelas, rinci, dan dikuasai semua
pihak terkait.
Kegiatan ketiga yang penting adalah laboratorium yang akan
memastikan ada-tidaknya virus ebola. Selain kemampuan staf, alat dan aspek
sarana biocontainment, biosafety, dan biosecurity harus terjamin. Harus
disiapkan pula mekanisme pengiriman sampel dari rumah sakit ke laboratorium
pemeriksa.
Selanjutnya, surveilans epidemiologi dan penelusuran kontak,
atau pelacakan siapa saja yang pernah bersama pasien selama dia sakit
sehingga mungkin sudah tertular. Kegiatan ini memerlukan ketekunan dan
kecermatan seperti seorang detektif, agar semua potensi penularan penyakit
dalam masyarakat ditemukan.
Last but not least, penjelasan intensif ke masyarakat. Pemahaman masyarakat akan
membuat kita semua waspada tanpa perlu takut berlebihan. Pada situasi krisis
kesehatan, media biasanya memerlukan sumber berita resmi yang selalu memberi
informasi sahih dan tepat waktu, serta memiliki strategi risiko komunikasi
yang memadai.
Kita semua tentu perlu waspada! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar