GBK
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 08 November 2014
Sayang, final sepak bola kemarin, antara Bandung melawan
Persipura, tidak dilangsungkan di Senayan, Jakarta. Tapi tak berarti kompleks
GBK sepi. Ini perlu penjelasan sendiri bahwa tiga huruf, ge-be-ka, merupakan singkatan dari Gelora Bung Karno, sedangkan
kata gelora meskipun mempunyai makna juga singkatan dari gelanggang olah
raga.
Bung Karno, panggilan akrab merakyat presiden pertama dan
Proklamator RI. Namanya diabadikan karena beliau pencetusnya. Dibangun mulai
tahun 1958, dengan bantuan Uni Soviet, mulai dipergunakan tahun 1962, untuk
Asean Games tahun itu. Kisahnya panjang dan menjadi catatan tersendiri.
Gegara takut nama Bung Karno, namanya pernah diubah menjadi Gelora Senayan.
Lalu setelah reformasi balik lagi, sampai sekarang ini.
Kini stadion sepak bola bisa dipergunakan untuk kepentingan
lain. Upacara keagamaan, pentas musik, atau sejenisnya, kampanye partai
politik. Terbayang gelora dinamis 52 tahun lalu, stadion dengan kapasitas
100.000 orang , yang terbesar di dunia.
Konon sekarang setelah perbaikan jumlahnya tak mencapai segitu.
Toh tetap besar, mengagumkan, juga membanggakan. Saya termasuk generasi yang
naik kereta api 20 jam dari Solo untuk melihat stadion, hanya untuk menginjak
halaman GBK. Yang waktu itu terasa sangat jauuuuh
dari Jakarta, dan kendaraan juga masih harus berebut dalam artian yang
sebenarnya. Dan GBK mengkukuhkan diri sebagai tempat olah raga. Kesadaran
akan kesehatan, dan sebagainya dan sebagainya.
Jalan-jalan di sekitarnya baru mengikuti program itu belum
terlalu dengan mengadakan “car free
day”, atau mobil tak boleh melalui jalan utama tertentu. Jauh sebelum
adanya tempat fitness, jauh sebelum
ada istilah ngegym, bahkan sebutan
senam pagi, GBK telah berjaya. Ini yang ingin saya tekankan. GBK, terutama
sekeliling stadion, tak pernah sepi. Tanpa pertandingan sepak bola pun selalu
ada – dan banyak mereka yang berolah raga.
Sekadar berjalan mengelilingi stadion yang konon sesuai standar
internasional untuk jogging. Mereka yang menyempatkan diri berolah raga
bersama ini tidak selalu mereka yang profesional. Namun justru di sini daya
tarik utamanya. Mereka yang datang dengan anak-istrisuami, atau bahkan
kakeknenek, dengan cucu menantu , tetangga atau komunitas terentu, selalu
menghiasi pemandangan menakjubkan. Karena kebersamaan, karena guyub, karena
niat sehat telah menjabat keinginan.
Ini yang saya kira besar artinya. Secara memori, tempat
bersejarah yang membanggakan masih bisa dipergunakan dari sekarang. Banyak
stadion lain dibangun, banyaaaaak sekali tempat olah raga terbuka tercipta,
namun tak menyisihkan stadion di GBK ini.
Serentak dengan ini, ini maksud saya menuliskan, alangkah indah
dan idealnya sekitar dan selingkaran stadion ini hanya untuk olah raga.
Khususnya pejalan kaki. Bukan untuk peluncur sepatu roda, bukan
untuk peluncur papan, bukan apalagi mereka yang bersepeda, atau bersepeda
motor, apa lagi mobil.
Banyak jalur lain bisa digunakan, dan biarkan stadion
benar-benar bersih dari polusi, bersih dari berisik, dan kemungkinan yang
membahayakan. Pada saat yang sama segala stand, atau tenda, penjual makanan,
atau pakaian, juga sebaiknya berada di luar lingkaran.
Apa lagi kegiatan suatu komunitas, kelompok partisan, merayakan
ini dan itu dengan menempel segala jenis baliho dan poster.
Sudahlah, banyak tempat lain. Biarkan stadion ini menjadi bagian
yang bersih, merakyat, terasakan daya pikat yang sehat. Biarkan stadion
memiliki memori indah dan diwujudkan kembali dalam irama jalan kaki.
Irama zaman sekarang ini, seharusnya begitu. Sehingga kalau
pengelola tak mampu menciptakan itu dan malah menjadikan tempat tak
bertanggung jawab, seharusnya mereka malu lahir batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar