Penetapan
Upah secara Damai
Arif Minardi ; Ketua
Umum Federasi Serikat Pekerja LEM SPSI
|
KORAN
JAKARTA, 07 November 2014
Setiap akhir tahun
diwarnai unjuk rasa
besar-besaran terkait penetapan upah
buruh (UMP). Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri diharapkan
mampu membuat tradisi baru menetapkan
upah secara damai. Selama ini para pengusaha menjelang akhir tahun dibuat
pusing upah baru.
Bermacam persoalan buruh
dan pengusaha diharapkan teratasi jika
pemerintah berkomitmen kuat terhadap kesejahteraan kaum buruh dan
keberlangsungan perusahaan. Masalah laten penetapan upah, kemelut
outsourcing, dan amburadulnya jaminan sosial buruh jangan terus terulang.
Semua bisa dikompromikan pemerintah, pengusaha, dan buruh.
Menjelang kenaikan harga BBM
kaum buruh perlu mendapat insentif
transportasi dan kemudahan memiliki rumah. Penetapan upah harus saling
menguntungkan buruh dan pengusaha.
Jika ada kemandekan negosiasi, pemerintah turun tangan membantu berbagai
kepentingan buruh seperti kredit
lunak.
Ke depan juga perlu diterjemahkan makna “layak” yang sering
diperdebatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah terkait komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dalam
merumuskan upah. Menteri Tenaga Kerja
secara klise menyatakan, telah ada perbaikan komponen KHL secara
signifikan pada sistem pengupahan buruh. Padahal tidak demikian. Buruh
semakin terhimpit harga kebutuhan
pokok dan tidak berdaya meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pemerintah menutup mata bahwa besaran biaya upah buruh dan
segala turunannya ternyata hanya berkisar antara l0 dan 22 persen dari total harga pokok produksi.
Di sisi lain biaya “siluman” mencapai
35 persen. Belum lagi
ketentuan bahwa kenaikan upah
minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi yang sering bawah inflasi. Upah riil buruh
makin tergerus.
Idealnya, KHL buruh mencakup 163 komponen. Sedangkan,
yang diatur pemerintah dalam Kepmenakertrans No 17 Tahun 2005 hanya 46. Dewan Pengupahan Daerah perlu
dievaluasi agar lebih luas.
Substansi pengupahan dan jaminan sosial kaum buruh dibanding negara lain jauh berbeda.
Komponen KHL menyebabkan sistem
pengupahan tidak linier dengan kompetensi kerja yang terukur secara baik.
Posisi tawar buruh yang rendah disertai dengan ketidakmampuan pemerintah memperluas lapangan kerja semakin
memperpuruk sistem pengupahan.
Definisi Pengupahan menurut UU No 13 Th 2003, tentang
Ketenagakerjaan “adalah hak pekerja
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan
dilakukan (Pasal 1 angka 30 ).” Untuk mewujudkan penghasilan yang
memenuhi kehidupan layak kemanusiaan, pemerintah berkewajiban
menetapkan kebijakan pengupahan guna
melindungi pekerja.
Penghasilan yang memenuhi penghidupan layak adalah jumlah penerimaan pekerja
supaya dapat memenuhi kebutuhan hidup
bersama keluarga secara wajar.
Ini meliputi makanan, sandang,
perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Namun
antara semangat Undang-Undang Ketenagakerjaan dan kebijakan pemerintah kerap tidak sejalan.
Sulit
Dalam menentukan kompomen KHL pemerintahan lebih mengutamakan
kepentingan investasi. Sedangkan buruh
terfokus pada produktivitas dan kesejahteraan yang
berbasis daya beli aktual.
Maka, keduanya sulit tercapai
kompromi. Rumusan UMK semakin membuat para buruh kehilangan daya beli,
sehingga sering kekurangan gizi karena
kebutuhan makanan tidak terpenuhi nutrisi yang baik. Mereka tak mampu
mencapai 3.000 kalori. Buruh
hanya makan asal kenyang untuk mengganjal perut dengan jajanan kaki
lima rendah kalori dan kurang gizi.
Penetapan besaran KHL
yang dijadikan patokan UMK sering
sumir dan tidak logis. Padahal komponen, jenis, bobot dan volume KHL merupakan kebutuhan seorang pekerja dan
keluarganya. Nilainya harus terukur berdasarkan hasil survei yang jujur
terhadap harga kebutuhan pokok.
Dewan Pengupahan yang bertugas menetapkan komponen KHL kurang
obyektif dan terkesan asal-asalan.
Akibatnya perhitungan KHL versi organisasi buruh berbeda jauh dengan milik
pemerintah.
Selanjutnya perumusan KHL sebaiknya melibatkan unsur independen seperti perguruan tinggi atau lembaga ilmiah.
Komponen KHL yang berdampak negatif bagi penentuan UMK harus segera diatasi
agar tidak menimbulkan gejolak tahunan. Sudah waktunya merombak postur dan
kinerja dewan pengupahan daerah sehingga bisa lebih independen dan obyektif
dalam merumuskan sistem dan besaran pengupahan buruh.
Kini masalah ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut hak-hak
normatif karyawan seperti upah, jaminan sosial, hak berserikat dan lain-lain.
Tetapi lebih dari itu ada hal yang sangat substansial terkait kesulitan perusahaan yang bisa berakibat
kepailitan dan efek ikutannya. Jadi,
menjelang kenaikan harga BBM
agar subsidi lebih tepat sasaran, sebaiknya dijadikan introspeksi kalangan serikat pekerja. Mereka harus
turut memikirkan dan bertanggung jawab
terhadap masa depan perusahaan yang menjadi sumur kehidupannya.
Dalam situasi dunia yang sulit diprediksi dan persaingan sengit, kondisi perusahaan bisa
terancam pailit alias bangkrut sewaktu-waktu baik swasta ataupun BUMN. Semua berpotensi
mengalami kepailitan yang berefek jauh
lebih pahit bagi karyawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar