Menuju
Ekonomi Biru
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti dari Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 04 November 2014
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berjanji
mengembalikan Indonesia menjadi bangsa maritim. Potensi-potensi ekonomi yang
bersumber dari dunia kemaritiman atau disebut “ekonomi biru” tentu akan
dikembangkan seperti di negara-negara lain, sebut saja Jepang, Tiongkok,
Korea Selatan (Korsel), Australia, dan di negara-negara Eropa.
Dalam Kabinet Kerja, diberikan tempat khusus satu kementerian,
yakni Kementerian Maritim yang diemban Indroyono Soesilo. Sang menteri
berkata dengan tandas, “Samudra dan laut harus diberikan teknologi. Jika
tidak, ia akan biru begitu saja.” Bahkan dalam pidato pelantikannya, Jokowi
secara tegas tidak akan lagi memunggungi laut, samudra, teluk, dan selat.
Presiden menegaskan kembali semboyan jalesviva jayamahe (di laut kita jaya).
Selama ini, memang sungguh sangat ironis, Indonesia yang dikenal
sebagai negara kepulauan (archipelago
state) kerap tidak memberdayakan potensi-potensi ekonomi kelautan atau
kemaritiman atau “ekonomi biru”. Dibentuknya Kementerian Maritim semoga
menjadi tonggak, sekaligus meneguhkan kembali identitas Indonesia sebagai
archipelagio state.
Sebuah negara yang meskipun terpecah-pecah dengan ribuan pulau,
tetap menjadi negara kesatuan. Jika dicermati, sebagai konsekuensi dari
jumlah ribuan pulau tersebut, dalam hal struktur sosial dan budaya pun,
Indonesia mengalami heterogenitas dan multikulturalitas. Bangsa ini sangat
pluralistik dan multikulturalistik, yang dimukimi beragam etnis, bahasa,
agama, dan ideologi yang berbeda.
Itu semua sebagai konsekuensi logis dari letak geografis negara
ini yang dipisahkan ribuan pulau. Sampai-sampai seorang peneliti Eropa suatu
ketika pernah merasa heran, seperti ditulis Robert Cribb (Indonesia Beyond Soeharto, 2001),
mestinya ada banyak negara pula, tetapi kenyataannya hanya ada satu negara,
yaitu Indonesia.
Apa keuntungan bagi Indonesia karena dikenal sebagai negara
maritim atau archipelago state? Selama ini, orientasi pembangunan terlalu
ditujukan ke arah daratan, terutama ketika rezim Orde Baru. Hal itu telah
menyebabkan banyak ketimpangan dan kerusakan lingkungan.
Sebagai contoh di Pulau Jawa, di wilayahnya areal persawahan dan
perkebunan semakin menyempit karena dijadikan permukiman dan real estate,
pabrik, industri, dan perkantoran.
Contoh lain, banyak terjadi penggundulan hutan karena
eksploitasi kayu yang melewati ambang batas. Banyak pula pencemaran
lingkungan, seperti terjadi di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Amburadulnya pengelolaan tata ruang wilayah dan lemahnya sistem
pengawasan telah turut andil mempercepat kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan di wilayah daratan (Keraf, 2003). Sementara itu, potensi sumber
daya yang cukup besar dan belum dikelola dengan baik untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebenarnya adalah sumber daya kelautan. Untuk
mencapai pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan, perlu diterapkan
paling tidak dua prinsip pengelolaan, seperti pertimbangan ekologi dan
sosial-ekonomi.
Dari sisi ekologi, wilayah pesisir, laut, dan sumber daya ikan
mempunyai ambang batas dalam kontek pemanfaatan. Oleh karena itu, untuk
menghindari kerusakan, harus memberikan ruang dan proteksi bagi sumber daya
yang ada di dalamnya, seperti pembuatan hutan mangrove, padang lamun, terumbu
karang, dan sumber daya ikan agar tetap bisa berkembang dan lestari.
Dari sisi ekonomi-sosial, perlu ada tawaran mata pencaharian
lain kepada masyarakat yang selama ini mengandalkan mata pencaharian dari
laut, yaitu memberi mata pencaharian alternatif. Salah satu cara atau solusi
yang bisa ditawarkan kepada masyarakat pesisir yang terbiasa melakukan
tindakan eksploitasi, sehingga mereka tidak merasa dikalahkan dan
dipinggirkan, adalah kegiatan usaha nyata yang bisa diterapkan kepada
masyarakat pesisir agar meninggalkan kegiatan buruk itu; antara lain tawaran
beralih profesi menjadi nelayan dengan alat tangkap ikan yang diperbolehkan
sesuai undang-undang yang ada, menjadi pembudi daya, pengolah, maupun
pedagang ikan. Masih banyak pilihan lain yang cukup prospektif.
Produk hasil perikanan yang diminati pasar internasional dan
dapat memberikan dampak percepatan pertumbuhan ekonomi adalah jenis crustacea (udang windu, udang vaname,
udang putih, lobster, kepiting bakau), ikan hidup dan ikan segar (kerapu,
kakap, bawal, nila, ikan mas, patin, dan lele), serta beraneka produk olahan
berbahan baku ikan lain. Kunci sukses dari semua usaha sektor laut dan
perikanan ini hanya dengan tetap menjaga kualitas produk dan lingkungan,
meningkatkan pelayanan, promosi, dan jaminan keamanan.
Selain itu, peluang pengembangan usaha sektor wisata bahari, sun
bathing di pantai, olahraga memancing (sport fishing), diving, juga wisata
boga serbaikan yang mengedepankan faktor kenyamanan dan keindahan pesisir
perlu ditingkatkan. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah
upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di
kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, serta
keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan
hias.
Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia, seperti
populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang,
padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya
membentuk suatu pemandangan alami yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut
menjadi daya tarik yang sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas dijadikan
sebagai objek wisata bahari.
Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami, di
antaranya pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu, Nusa Dua Bali, dan pantai
terjal berbatu di selatan Pulau Lombok juga Manado.
Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang
indah, tempat pemandian yang bersih, juga tempat melakukan kegiatan
berselancar air atau surfing. Itu
terutama di pantai yang landai serta berombak besar dan berkesinambungan.
Melihat itu semua, saatnya bagi negara ini tak hanya
mengandalkan sektor pembangunan yang berbasis darat. Sektor pembangunan
kelautan malah cenderung dipinggirkan. Padahal telah nyata, dari sektor
kelautanlah sesungguhnya potensi pembangunan ekonomi untuk masyarakat bisa
dimaksimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar